Jangan takut untuk memotong tangan atau mencungkil mata jika mereka menyakiti roh batin, bencilah kehidupan inderawi dan cintailah kehidupan rohani; demikianlah “transvaluasi nilai-nilai” yang ditempa oleh pesimisme Yesus.
Dalam upaya bertahun-tahun untuk sepaham dengan karakter Yesus, adalah luar biasa bahwa sudut-sudut pandang telah begitu bervariasi. Ada satu Musa dan satu Santo Paulus, satu Dante dan satu Shakespeare, tapi sudah ada banyak Kristus. Setiap zaman mengambil teladannya sendiri, dan juga prasangkanya, dan kemudian menjelmakan mereka dalam oknum seseorang yang di dalam hatinya naif dan apa adanya. Yesus remaja penggembala dari Basilika adalah satu hal, Kristus letih pucat-pasi adalah hal lain; Angelo menjadikannya berotot, Raphael menjadikannya berdaging; seni modern menjadikan air mukanya terlihat lebih mengenakkan ketimbang meyakinkan. Sebagai Mesias tradisional, Yesus terasa melebihi pemenuhan nubuat; sebagai moralis dia tampak terlalu bagus untuk semua kategori etis; sebagai Tuhan, kepalanya naik di atas gereja; sebagai pemimpin sosial dan filantropis, atribut-atribut spiritualnya sedemikian rupa hingga menyiutkan penggemar yang coba mendorong Yesus-nya ke sudut gelap kehidupan kota. Agama maupun nir-agama telah mengangkat cangkir-cangkir kecil mereka yang bisa saja menampung begitu banyak, tapi intisari Yesus yang berlimpah-ruah telah menolak bibir-bibir [cangkir] dangkal mereka dan telah jatuh ke tanah. Di tengah salahpaham-salahpaham ini, yang diakibatkan oleh penerapan begitu banyak separuh-kebenaran pada sebuah karakter terpadu utuh, kita mencari-cari dalam kesadaran-kultur simpang-siur zaman kita sendiri, dengan harapan redup menemukan suatu ideal yang mungkin mengandung sosok mendominasi ini, suatu keistimewaan yang berlaku pada ajarannya. Apakah Kristus adalah kesempurnaan klasik atau apakah dia romantis dan dekaden? Apakah dia bermukim dalam tatanan sosial, atau apakah dia tinggal menyendiri dalam anti-sosial? Apakah dia tergolong kepada optimisme atau kepada pesimisme?
Adalah ciri khas karakter Yesus untuk mengejutkan bagi spesialis, untuk membingungkan bagi orang yang suka berkubang dalam definisi tegas. Yesus tidak di pihak militerisme ataupun industrialisme, sehingga kontras menyedihkan sang nabi antara pedang dan bajak, tombak dan gunting kebun, tidak memiliki arti bagi orang yang datang dengan pedang di satu tangan, panji perdamaian di tangan lain, yang mencari-dengar desas-desus perang seraya menjanjikan perdamaian dan ketenangan kepada umat manusia. Demikian pula, Manusia dari Nazareth itu menahan diri dari berpihak pada kaum intelektualis atau kaum moralis; dari sini menjadi mustahil untuk memanfaatkan pembedaan hambar mereka dan menempatkan dia di sini atau di sana. Satu kali seorang moralis, dia tiba-tiba muncul sebagai amoralis teoritis; kali lain seorang rasionalis, dia segera berpihak pada kaum irasionalis. Maka, kesempurnaan Yesus rasanya sama dengan mengatakan bahwa dia adalah senantiasa dirinya; dia mungkin bersimpati pada sistem-sistem remeh, tapi dia tak berniat ikut merasakan kesetengahhatian mereka. Dalam kesempurnaan, kita menemukan pesimisme luhur Yesus.
Pengunaan istilah semisal “pesimisme” di sebuah zaman yang berbau sentimen optimistik dan di sebuah negara yang terlalu sibuk untuk merenungkan makna kata-kata dan pemikiran, kemungkinan besar akan menimbulkan suatu kejengkelan; tapi terdapat kedalaman dan keinklusifan dari istilah ini yang menjadikannya sungguh dapat diterapkan pada karakter peramal Galilea tersebut. Orang yang terluka oleh usul bahwa Yesus anehnya tertarik oleh gagasan Orang Tak Berarti, Orang Tak Bahagia, Orang Jahat mungkin akan melakukan eksperimen berbahaya berupa mengatributkan pada karakter Yesus atribut-atribut optimistik pemikiran manusia, tapi kemudian dia akan menemukan bahwa ideal-idealnya Leibnitz dan Browning hanyalah anodyne jelek untuk hati orang yang mengenal dukacita dan peka terhadap semangat kontradiksi dalam kehidupan. Untuk optimistis, seseorang harus sangat tak kritis sampai-sampai menerima kehidupan dan semesta tanpa perlu dipertanyakan; nah, keinginan untuk menganggap semua hal benar adanya adalah jauh dari tujuan nyata Yesus seperti jauhnya penerimaan sebuah tetrarki Yudea di bawah kaisar Romawi. Maka, untuk menjadi seorang optimis, seseorang harus memperturutkan kebutaan borjuis tertentu terhadap eksistensi sesuatu yang jauh dan ideal, di mana hal-hal tak kasat mata dan tak berguna sedang mekar penuh, sebagaimana di taman gantung. Yesus sangat bermata biru dan berpandangan jauh sehingga melihat menembus optimitas-optimitas tatanan keadaan di alam dan umat manusia. Pendek kata, Yesus tak memiliki filosofi kesuksesan, tak memiliki kata pujian atau dorongan untuk orang yang berniat memecahkan persoalan hidup dengan suatu metode eksteriorisasi. Di sisi lain, Yesus terpesona ketika bertemu seorang anak umat manusia tulus yang, karena dosa atau duka, telah berpaling pada elemen-elemen kehidupan spiritual di dalam jiwanya sendiri. Oleh sebab itu, bukan “pebisnis capek”, melainkan orang yang jemu dunia di tengah kacaunya hiduplah yang berhak mengharapkan sesuatu dari Evangel.
Judul asli | : | The Pessimism of Jesus<i=1LBwd26n7gsPDuntXc7ecfjdMcqAatEZm 301KB>The Pessimism of Jesus (1916) |
Pengarang | : | Charles Gray Shaw |
Penerbit | : | Relift Media, Juni 2022 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |