Cinta manusia akan kurang layak seandainya itu tidak siap dan tidak senang untuk membayar harga penderitaan yang terlibat dalam memikat orang lain kepada kebaikan tertingginya sendiri.
Kita sudah simak dalam artikel-artikel sebelumnya bahwa terdapat beberapa alasan awal penting untuk percaya pada solusi akhir persoalan kita, dan bahwa kepercayaan tersebut tidak terhalangi oleh fakta penderitaan binatang. Prasyarat-prasyarat mutlak sebuah dunia moral juga dipandang sebagai sedemikian rupa sehingga menghendaki kemungkinan dosa dan penderitaan—sebuah pertimbangan yang berat dan luas. Kalau tidak, kita akan memiliki dunia permainan belaka. Oleh sebab itu, kita dapat mengantisipasi kesulitan-kesulitan yang memang kita temukan. Selain itu, reaksi-reaksi umum ras manusia yang lebih dalam terhadap masalah kita dirasa mendatangkan pertolongan nyata. Kecilnya pandangan insani kita, sikap kepercayaan ras manusia pada keabadian, keterangan lanjutan dari tren evolusi, dan empat pandangan umum penderitaan, semuanya sama-sama memiliki penerangan. Banyak penderitaan sudah pasti disebabkan oleh dosa si penderita sendiri. Penderitaan lain sama mungkinnya disebabkan oleh kondisi-kondisi yang dihendaki untuk kedisiplinan utuh kita dalam hidup. Terutama benar bahwa pahala tidak boleh mengikuti terlalu dekat atau terlalu pasti sesudah amal saleh—bahwa orang baik harus sering menderita dan orang durjana sejahtera—jika hendak menghasilkan karakter yang benar-benar tak egois. Kita bahkan jadi bersyukur, dari sudutpandang ini, bahwa kita punya persoalan keburukan. Dan tidak salah lagi pada akhirnya kita harus berpaling pada pemikiran keagungan Tuhan. Visi Tuhan yang memadai, apapun itu, membuat kita merasakan lagi kecilnya pandangan kita, dan bijaknya dan perlunya—setelah upaya-upaya terbaik kita untuk memahami cara-cara Tuhan—menyerahkan seluruh persoalan ke tangannya, dengan rasa percaya pada sebuah solusi yang kita tidak bisa lihat secara penuh. Nah, apakah pandangan Kristen punya jawaban lanjutan untuk pertanyaan kita? Apakah Kristus sendiri punya pertolongan lebih besar lagi untuk diberikan? Ini merupakan penyelidikan kita saat ini.
Serangkaian pertimbangan membuat kita merasa belum mencapai jantung perkara. Pasalnya Kristen telah menjadikan kita jauh lebih sensitif terhadap implikasi-implikasi tertentu kodrat-kodrat kita, yang terhadapnya seluruh ras manusia tentu tidak buta, tapi yang telah menerima penekanan dan pengaturan yang tadinya tidak memungkinkan dari sudutpandang Kristen. Ajaran dan kehidupan dan kematian Kristus membuat beberapa tren besar eksistensi kita menjadi jelas terlihat, dan lebih memungkinkan serangan positif terhadap masalah kita.
Pertama-tama, kita terkesankan sekali lagi dari sudutpandang Kristen bahwa manusia memang diciptakan untuk aksi, untuk pencapaian heroik, untuk pelayanan dan pengorbanan—saking diciptakan untuk semua ini, dia tidak bisa dipuaskan
Dengan hidup terlalu mulus, mati dalam hati, Jinak di langsiran bumi sebagai hadiahnya.Keolahragaannya saja menunjukkan bahwa dia menikmati kesulitan-kesulitan demi kesulitan itu sendiri. Dia mencari petualangan dan kesenangan dalam rintangan. Ada sesuatu pada manusia yang jauh lebih dalam daripada keinginan akan kesenangan gampangan dan pemuasan diri yang pasif. Sampai-sampai seorang filsuf moral seperti Paulsen merasa terpaksa untuk berkata:
Siapa yang mau hidup tanpa tentangan dan perjuangan? Apakah manusia akan menghargai kebenaran itu sendiri seperti sekarang, andai itu diraih tanpa usaha dan dilestarikan tanpa pertempuran? Bertempur dan berkorban untuk perkara pilihan seseorang merupakan unsur niscaya dari kehidupan manusia. Carlyle menyatakan kebenaran ini dalam petikan indah dalam bukunya, Heroes and Hero-Worship: “Adalah fitnah jika dikatakan bahwa manusia dibangkitkan kepada aksi-aksi heroik oleh ketenteraman, harapan akan kesenangan, imbal jasa—plum manis jenis apapun di dunia ini atau akhirat. Pada makhluk paling hina sekalipun terdapat sesuatu yang lebih mulia. Tentara buruk penyerapah yang diupah untuk ditembak memiliki “kehormatan seorang tentara”, berbeda dari latihan, regulasi, dan shilling per hari. Bukan untuk mencicipi hal-hal manis, tapi untuk melakukan perbuatan mulia dan benar, dan membersihkan dirinya di bawah langit Tuhan sebagai manusia ciptaan Tuhan, untuk itulah anak terburuk Adam samar-samar berkeinginan. Tunjuki dia cara melakukannya, dan si pembanting tulang harian paling tumpul menyala menjadi seorang pahlawan. Orang-orang yang bilang manusia akan tergoda oleh ketenteraman, orang-orang itu menzalimi manusia. Kesulitan, abnegasi, kemartiran, kematian, merupakan pikatan-pikatan yang mempengaruhi hati manusia.”Oleh karena itu, kesulitan-kesulitan hidup memiliki kontribusinya sendiri bagi kehidupan, segera setelah kita memandang kehidupan, secara kira-kira sekalipun, dari sudutpandang Kristus. Ketika seorang manusia secara positif menghadapi keburukan-keburukan hidup, dia mendapati di dalamnya sebuah peluang—yang dia tidak akan lewatkan—sebagai medan untuk latihan dan untuk penaklukan, untuk disiplin diri dan pengembangan kemauan serbaguna yang dia tahu dia butuhkan. Makanya, dia bahkan girang dengan cobaan dan godaan banyak segi, agar ketabahan dan kesabaran dapat “memiliki pekerjaan sempurna”, dan agar dia sendiri dapat dikerahkan di segala segi, dan dijadikan “sempurna dan lengkap, tak kekurangan apapun”. Bahwa seseorang mampu tahan belaka dengan nasibnya, dan tidak turut “bahagia dalam nasibnya”, itu tetap kekalahan parsial.
Judul asli | : | The Problem of Suffering and Sin. III: Light from Christ<i=1MBcmKUGAa91Ddb0LGxg00jWr_1ND2FDI 337KB>The Problem of Suffering and Sin. III: Light from Christ (1915) |
Pengarang | : | Henry Churchill King |
Penerbit | : | Relift Media, Juni 2022 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |