Sang pemilik gendut duduk di belakang konter, si bocah lelaki usia remaja menyisir rak buku-buku komik dengan jempolnya, si ibu rumahtangga amburadul membeli sebungkus rokok...tak mungkin satu pun dari mereka adalah agen...
Si mata-mata menyeringai penuh kemenangan. “Ya,” pikirnya, “akhirnya aku lolos dari agen-agen kontra-spionase AS tolol yang selama ini menguntitku.” Terkekeh jahat sendirian, dia mengingat pengejaran terengah-engah melintasi jalan-jalan Washington, melompat masuk dan keluar taksi dan bus...sampai akhirnya dia lepas dari mereka. Ya, dia yakin tak satupun di antara orang-orang di toko permen kecil itu adalah agen dinas rahasia.
Meski begitu, si mata-mata melirik curiga ke sekelilingnya. Sang pemilik gendut duduk di belakang konter, si bocah lelaki usia remaja menyisir rak buku-buku komik dengan jempolnya, si ibu rumahtangga amburadul membeli sebungkus rokok...tak mungkin satu pun dari mereka adalah agen...mereka semua cuma orang-orang Amerika bodoh yang negaranya akan segera ditaklukkan.
Si mata-mata melirik arloji. “Masih lima menit sebelum aku harus menelepon sekongkolku,” pikirnya. “Dan karena ada dua kios telepon di toko ini, aku akan menunggu di sini.”
“Astaga!” seru si remaja tiba-tiba dari rak buku komik, “aku baru ingat aku harus telepon ibuku.”
Bocah itu berjalan ke konter dan membantingkan koin kwarter. “Beri aku receh,” katanya kepada pemilik gendut.
Sang pemilik mengerang. “Kau ingin aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke mesin kas hanya untuk merecehkan satu kwarter? Bernuranilah, nak...tidak mudah mengangkat dua ratus enam puluh pon dari sebuah kursi. Mungkin orang di sebelahmu punya receh.”
“Kau punya receh, tuan?” tanya bocah itu.
“Boleh jadi,” kata si mata-mata tegang. “Ya, ini dia...dua dime dan satu nikel.”
Tapi semenit kemudian, si bocah berteriak dari kios telepon, “Hei, telepon ini rusak...aku tak dapat sinyal!”
