Skip to content
Hubungan Manusia Dengan Tuhan Menurut Yudaisme – Relift Media

Hubungan Manusia Dengan Tuhan Menurut Yudaisme Bacaan non-fiksi religi

author _Oswald John Simon_; date _1885_ genre _Religi_; category _Khotbah_; type _Nonfiksi_ Kalian familiar dengan ekspresi “pria serupa Tuhan”, atau wanita “serupa Tuhan”. Tentang beberapa pahlawan ras kita, dikatakan “dia berjalan dengan Tuhan”. Kita semua dapat membentuk hidup kita dengan cara serupa Tuhan. Seluruh beban ajaran moral dalam Kitab Suci kita adalah seruan menuju Keilahiahan ini.
“Maka Tuhan menciptakan manusia dalam citra-Nya.” (Kejadian i. 27)
Andai kita diminta untuk mengutip satu kalimat dari Alkitab yang menampilkan landasan esensial Agama kita, dan yang mengemukakan kejeniusan Akidah warisan kita dalam satu frasa, kita pasti mengutip pernyataan luar biasa dari seksi pertama Taurat kita ini, yang mengungkap­kan Sabbath saat ini. Semua yang menyusul dalam literatur suci kita adalah sebuah superstruktur di atas landasan hubu­ngan antara manusia dan Pencipta-nya ini. Sungguh benar, wahai saudara-saudaraku seiman, bahwa keesaan Tuhan adalah intisari Yudaisme; tapi, kalau bukan karena pertalian kita dengan Entitas Tertinggi, keesaan-Nya tidak bakal me­miliki daya tarik dan arti yang begitu mencolok bagi bani Israel. Dikatakan bahwa Agama Yahudi tidak terlalu menun­tut fakulti kepercayaan; bahwa, sementara sistem-sistem keagamaan lain dibedakan oleh kredo dan teologi mereka, sistem keagamaan kita adalah sistem undang-undang dan hukum, dan mengharuskan kita untuk tidak mempercayai apa-apa kecuali bahwa Tuhan itu esa. Dalil ini membiarkan masuk banjir ide-ide, melibatkan penyelidikan filosofis yang bisa-bisa merepotkan kalian, dan aku tak menghendaki itu. Persoalan kepercayaan, berbeda dari akidah, adalah perkara yang telah menarik banyak orang berpikir. Pembandingan dan analisa kedua ide dapat membentuk subjek lebih besar untuk dipertimbangkan daripada yang dimungkinkan atau dikehendaki dalam batas-batas sebuah khotbah. Namun, kita mesti camkan sebatas ini, ketika kita mempertimbangkan hubungan antara kita dengan Tuhan: Akidah, yang dengan­nya kita merasakan hubungan itu, begitu jauh berbeda dari kepercayaan, sehingga bagi bani Israel ini adalah kapasitas bawaan lahir untuk mengenali ikatan spiritualnya dengan Tuhan, dan tidak bergantung (seperti halnya kepercayaan) pada bukti yang dibutuhkan dalam salah satu pernyataan abstrak dan historis yang tidak mudah dipahami oleh jiwa. Bagi seorang Yahudi, ide kebapakan Tuhan adalah sama alaminya dengan kasih ibu kepada anak. Seorang anak tak harus melalui proses penalaran untuk menjadi yakin akan kasih ibunya—ia merasakan, ia mengetahui. Begitu pula bagi kita, ide bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan mun­cul tanpa usaha argumentasi atau imajinasi. Oleh karenanya dalam berceramah kepada jemaah Yahudi perihal hubungan manusia dengan Tuhan, aku dibenarkan dalam menganggap kalian sependapat denganku bahwa Tuhan memang Bapak kita, dan bahwa kita terikat kepadanya oleh ikatan spiritual. Dengan demikian, kalian mungkin bertanya—lantas apa lagi yang harus dikatakan? Jawabanku adalah: kita dapat ber­unding tentang mode berpikir dan cara berperilaku yang diimplikasikan dan diklaim oleh akidah tersebut. Kita akan menelusuri jalan kehidupan yang kita ingin tempuh jika kesa­daran akan ikatan kita dengan Tuhan hendak menghasilkan, pada hidup kita dan—melalui kita—pada masyarakat umum, buah-buah yang seharusnya mengikuti. Mari ambil beberapa contoh kehidupan yang begitu rapi sehingga mereka meng­ilustrasikan keserupaan dengan Tuhan. Dalam sejarah, dan dalam pengalaman pribadi kita, ada kehidupan-kehidupan yang tampaknya diilhami dan dituntun oleh sebuah motif yang begitu tinggi dan begitu agung sehingga kita bisa mendeteksi Citra Ilahi di dalamnya. Apa yang kita istilahkan “Roh Tuhan” terlihat pada beberapa karakter dengan cara yang begitu mencolok sehingga contoh/teladan mereka mem­pertontonkan cara untuk hidup sesuai asal-usul tinggi kema­nusiaan kita. Orang-orang yang hafal tentang kaum miskin di metropolis besar ini, dan tentang para buruh tani, akan bersentuhan dengan kehidupan yang sangat digelapkan oleh kondisi penghidupan mereka, sangat disisihkan dari sarana kesenangan duniawi biasa, sampai-sampai bangkitlah rasa takjub terhadap kecerahan dan kepuasan yang serasa mene­rangi ziarah gelap mereka. Apa alasan dari kecerahan dan kepuasan ini? Tentu saja tidak ada apa-apa dalam keadaan eksternal untuk menghasilkan wajah sumringah—keras berat, tekanan fisik, jam panjang dan, di London, atmosfer yang bikin depresi, upah kurang, rumah tanpa hiburan—tak mencukupi bahkan dalam keperluan dasar; semua ini diiringi tanggungjawab rumahtangga, dan tidak selalu dengan peli­pur rumahtangga! Tapi para korban dari nasib demikian terus bekerja keras dan bersabar dengan hati yang berani, meski masa depan mungkin lebih gelap daripada masa kini, sebab dalam kasus ribuan kehidupan yang dilalui dengan baik terdapat sedikit prospek istirahat, dan tak ada destinasi lebih baik di dunia ini daripada panti gelandangan. Dalam mem­buat gambaran kehidupan ini, harus ditinjau bahwa beban-beban kaum miskin tidak diperjuangkan; sebab sebetulnya secara luas beban-beban itu adalah kegagalan sistem sosial dan politik yang dapat diobati. Tapi keberanian dalam memi­kul beban—heroisme yang mengatasi dan menguasainya—semua ini mengindikasikan martabat fitrah manusia yang menunjukkan kekerabatan ilahi kita. Di dalam kehidupan-kehidupan itu terdapat sebuah penglihatan yang melihat ke luar dan ke atas lingkungan buruk, mereka tampaknya tahu bahwa mereka adalah bagian dari Tuhan dan bukan dunia—bahwa pertempuran mereka sementara tapi perdamaian mereka abadi. Lebih dekat dengan kita, perhatikan kasus salah seorang saudara kita sendiri yang paling miskin—seorang eksil dari Rusia atau Polandia, datang dari tanah per­sekusi ke tanah yang dia dengar merdeka. Dia tak membawa harta-benda, dia tak menguasai bahasanya, “seperti orang diam membisu”. Dia mendapati bahwa dirinya menambah satu lagi pasar buruh yang sudah kelebihan stok. Coba pertimbangkan kondisi moralnya, dan apa yang telah mem­bawanya ke keadaan memilukan ini! Pertama, di tanah air­nya, setia kepada Ras-nya, dia melepas kesempatan dan me­nyerahkan kemungkinan demi Tuhannya. Orang itu tinggal memainkan peran dan semua akan sudah berjalan mulus untuknya di dunia ini, tapi tidak! Dengan hati kuat seorang martir, dia menantang musuh, berpegang pada standarnya tanpa menghiraukan akibat-akibat, dan di hadapan bahaya-bahaya yang cukup untuk menakuti orang berani. Ketika dia tiba di negeri merdeka, dimulailah sebuah peperangan baru, dia harus mencari nafkah untuk keluarganya, dan hanya Tuhan yang tahu kesulitannya. Dibatasi oleh hati nurani, bidang-bidang industri terpagari baginya; kombinasi keadaan mengurangi sumber penghasilan buruh hingga titik mini­mum. Tapi, setelah waktu relatif pendek, orang ini dan sege­lintir lain seperti dirinya akan terbentuk menjadi “jemaah kudus”, yang di East End of London kita sebut “Chevrah”. Tujuan utama mereka sepanjang waktu adalah untuk setia kepada tugas turun-temurun mereka berdasarkan cahaya yang ada di dalam diri mereka. Aku hanya menyatakan hal yang sebenarnya ketika mengatributkan semua keberanian itu, semua pembaktian itu, ketidakegoisan dan kemurnian motif, kepada fakta bahwa Citra Tuhan adalah sebuah reali­tas sadar. Dalam kehidupan saudara eksil kita yang tertindas, kita melihat contoh beberapa kualitas agung yang cenderung membangun sebuah Negara kuat. Terdapat pengingkaran diri, semangat publik, kesetiaan, keberanian, dan ketahanan. Semua hal ini dalam kasus orang ini hampir pasti berproses dari hubungannya dengan Tuhan. Dia ada dalam perjanjian dengan Penciptanya; dia percaya dirinya ditugasi oleh-Nya sebuah misi besar kepada sesamanya, dan dengan keyakinan itu dia bertahan—meski barangkali dia belum pernah meng­artikulasikan motif-motif dan prinsip-prinsipnya kepada diri­nya sendiri. Saudara-saudariku! Tempat ini mengingatkanku bahwa di sini ada gambaran aksi Citra Tuhan terhadap perilaku manusia. Inilah perkumpulan orang-orang beriman yang telah bekerja dan berkorban demi perkara suci. Sedikit dalam jumlah, dan tidak hanya dalam benda-benda duniawi, di tengah-tengah kalian mengakar sebuah ambisi untuk me­nyumbangkan andil jasa kalian kepada tentara kuno Israel, dan kalian sudah melakukannya dengan setia. Kalian sudah menyediakan sekolah-sekolah untuk membesarkan anak-anak kalian dalam Akidah akbar yang kalian warisi dan yang sudah sepantasnya kalian anggap sebagai kewajiban dan privilese untuk mewariskannya. Kalian sudah mengorganisir satu lagi jemaah untuk kehormatan komunitas kita, dan telah menyediakan satu pusat “pertemuan suci” untuk banyak individu di distrik padat ini. Mengerjakan itu di tengah semua hambatan membutuhkan sifat akal dan kondisi hati yang bukan dari dunia ini. Terdapat kesadaran batin yang telah membangkitkan kalian, dan itu adalah keserupaan Tuhan di dalam diri kalian.
Judul asli : Man’s Relation to God<i=1hbOYLMc9bIMkYe6HlqcgwKt3aRV9aO8D 332KB>Man’s Relation to God
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Hubungan Manusia Dengan Tuhan Menurut Yudaisme

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)