Skip to content
Arwah Sakura – Relift Media

Arwah Sakura Bacaan non-fiksi folklor

author _Algernon Freeman-Mitford_; date _1871_ genre _Folklor_; category _Biografi_; type _Nonfiksi_ Sebagai tanda, ketika aku mati, kepalaku akan berputar dan menghadap ke arah kastil. Ketika kalian lihat ini, jangan ragu bahwa kata-kataku akan menjadi kenyataan. Kemalangan dan kematian petani Sôgorô, persoalan historis masyhur yang akrab di telinga setiap orang Jepang—meski penampakan-penampakan supranatural sesudahnya dapat memancing senyum—menyediakan gambaran paksa mengenai hubungan yang eksis di antara petani penyewa dan tuan tanah, dan kekuasaan tak berbatas untuk kebaikan atau keburukan yang dijalankan oleh tuan tanah. Agak luar biasa bahwa di sebuah negara di mana buruh tani—ditempatkan di sebelah tentara, dan sebelum tukang dan pedagang, dalam keempat kelas yang membagi masyarakat—menikmati perhatian yang tidak kecil, dan di mana agrikultur dilindungi oleh undang-undang dari serangan tumbuh-tumbuhan liar, bahkan hingga pemo­tongan dahan-dahan yang membayangi dan penebangan pohon pagar, tuan tanah manor praktisnya dibiarkan tanpa pengawasan dalam urusannya dengan rakyatnya. Pajak tanah, atau lebih tepatnya uang sewa tahunan yang dibayarkan oleh petani penyewa, biasanya ditaksir sebesar empat puluh persen dari hasil bumi; tapi tidak ada azas yang membatasinya dengan jelas; dan seringkali pemilik tanah dan peladang membagi hasil panen dalam jatah setara. Sawah dibagi ke dalam tiga golongan; dan, berdasarkan golongan-golongan ini, dihitung bahwa satu tan (1.800 kaki persegi) dari sawah terbaik harus menghasilkan pendapatan lima karung beras per tahun untuk si pemilik; masing-masing karung ini memuat empat (satu tô adalah kurang dari setengah gantang kerajaan), dan saat ini (1868) senilai tiga riyo, atau kira-kira enam belas shilling; sawah golongan menengah harus menghasilkan pendapatan tiga atau empat karung. Uang sewa dibayarkan dalam bentuk beras ataupun uang, berdasarkan harga aktual butir padi, yang sangat berubah-ubah. Itu jatuh tempo pada bulan kesebelas, ketika semua palawija sudah dikumpulkan, dan harga pasarnya sudah ditetapkan. Uang sewa tanah yang menghasilkan palawija selain beras, seperti kapas, buncis, akar-akaran, dan sebagainya, dapat dibayarkan dalam bentuk uang pada bulan kedua belas. Pemilihan bentuk palawija yang hendak ditanam tampaknya diserahkan kepada petani penyewa. Tuan tanah Jepang, ketika terdesak kemiskinan, tidak sebatas menaikkan uang sewa yang sah: dia bisa selalu memaksa dari para penyewa miskinnya persekot uang sewa setahun, atau pinjaman uang sebanyak yang diperlukan untuk memenuhi keperluannya. Bila tuan tanahnya adil, buruh tani dilunasi secara angsuran, berikut bunga, sampai sepuluh atau dua belas tahun. Tapi terlalu sering para tuan tanah yang tak adil dan tak kenal ampun tidak melunasi pinjaman semacam itu, justru mendesak persekot tambah­an. Maka para petani—berpakaian jas hujan dari rumput, dan menenteng arit dan tiang bambu—berkumpul di depan gerbang istana tuan mereka di ibukota, dan menyatakan keluhan-keluhan mereka, memohon campur tangan para bujang, dan bahkan kaum wanita yang kebetulan keluar. Kadang mereka membayar keberanian mereka dengan nyawa; tapi yang penting mereka puas mendatangkan aib pada penganiaya mereka di mata tetangganya dan khalayak ramai. Laporan resmi perjalanan-perjalanan baru-baru ini di pedalaman Jepang sepenuhnya membuktikan nasib sulit yang harus dipikul kaum tani selama pemerintahan para Taipan, dan khususnya di bawah keluarga Hatamoto, kaum bangsawan dinasti yang dibuat-buat. Di satu provinsi, di mana para kepala desa tampaknya menyokong pemerasan oleh tuan mereka, mereka terpaksa melarikan diri sebelum penduduk yang kesal, yang memanfaatkan revolusi dan memporak-porandakan dan menjarah rumah mereka, dengan lantang meminta penaksiran baru dan adil atas tanah; sementara, di seluruh pelosok negeri, para petani menyambut gembira kembalinya kekuasaan berdaulat keluarga Mikado, dan hapusnya kaum bangsawan rendah, yang mengagungkan diri sendiri di atas kesengsaraan para tanggungan mereka. Berjemur di bawah sinar matahari istana di Yedo, keluarga Hatamoto bertambah gemuk dan berasyik-masyuk, dan tidak terlalu peduli siapa yang mengerang atau kelaparan. Uang harus ditemukan, dan itu ditemukan. Perlu ditambahkan di sini sepatah kata terkait kedudukan para ketua desa, yang memainkan peran begitu penting dalam kisah ini. Buruh tani Jepang diperintah oleh tiga kelas pejabat: Nanushi, atau kepala desa; Kumigashira, atau ketua persero­an; dan Hiyakushôdai, atau perwakilan petani. Desa, yang diperintah oleh Nanushi atau kepala desa, dibagi ke dalam perseroan-perseroan, yang masing-masing terdiri dari lima keluarga dan dipimpin oleh seorang Kumigashira; persero­an-perseroan ini dibagi lagi ke dalam kelompok-kelompok berisi lima orang masing-masingnya, yang memilih salah satu dari mereka untuk mewakili mereka bilamana mereka punya petisi yang hendak disampaikan, atau urusan yang harus diselesaikan dengan para atasan mereka. Pejabat ini adalah Hiyakushôdai. Kepala desa, ketua perseroan, dan perwakilan mencatat keluarga-keluarga dan orang-orang di bawah penilikan mereka, dan bertanggungjawab atas peri­laku baik dan tertib mereka. Mereka membayar pajak seperti para petani lain, tapi menerima gaji, yang jumlahnya ter­gantung pada ukuran dan kekayaan desa. Lima persen dari pajak tanah tahunan adalah gaji kepala desa, dan para pejabat lain masing-masing menerima lima persen dari pajak yang dibayarkan oleh badan-badan kecil yang mereka perintah. Luas rata-rata tanah untuk diolah oleh satu keluarga adalah kira-kira satu chô, atau 9.000 yard persegi; tapi terdapat petani-petani yang mewarisi sebanyaknya lima atau bahkan enam chô dari leluhur mereka. Ada pula segolongan petani, dinamakan “petani peminum air” karena kemiskinan mereka, yang tidak mempunyai tanah sendiri, tapi menyewa tanah milik petani yang kelebihan tanah dan tak bisa mereka urus sendiri. Uang sewa yang dibayarkan berbeda-beda; tapi sawah bagus akan menghasilkan uang sewa setingginya £1 18 shilling hingga £2 6 shilling per tan (1.800 kaki persegi). Para buruh tani dibayar mulai dari enam atau tujuh riyo per tahun hingga sebanyaknya tiga puluh riyo (riyo senilai kurang-lebih 5 shilling 4 péni); di samping ini, mereka diberi pakaian dan makan, tidak lezat memang, tapi berlimpah. Beras yang mereka tanam adalah kemewahan yang nyaris tak dikenal bagi mereka; milet adalah makanan pokok mereka, dan pada hari-hari-hari besar dan hari libur mereka menerima berpiring-piring jelai atau soba. Di mana pohon mulberi dipelihara, dan ulat sutera “dididik”, di situ buruh menerima upah tertinggi. Panen beras di sawah bagus akan menghasilkan dua belas setengah kali lipat, dan di sawah biasa enam hingga tujuh kali lipat saja. Tanah cocok tanam biasa nilainya hanya setengah dari tanah sawah, yang tidak bisa dibeli kurang dari empat puluh riyo per tan (1.800 kaki persegi). Bukit umum atau daerah berhutan lebih murah lagi dari tanah cocok tanam; tapi kebun buah dan belukar Pawlonia nilainya lima puluh hingga enam puluh riyo per tan. Perihal hukuman penyaliban, yang dengannya Sôgorô dihukum mati, itu dijatuhkan atas pelanggaran-pelanggaran berikut: parisida (meliputi pembunuhan atau pemukulan orangtua, paman, bibi, kakak, majikan, atau guru), membuat uang palsu, dan melintasi pembatas teritori Taipan tanpa izin. Si penjahat diikatkan pada tiang tegak lurus berpalang dua, yang padanya kedua lengan dan kakinya diikatkan dengan tali. Dia lalu ditancapkan dengan tombak oleh orang-orang dari Eta atau kelas Paria. Aku pernah melintasi lapang eksekusi itu dekat Yedo, ketika sebuah tubuh diikatkan pada kayu salib tersebut. Orang mati itu habis membunuh majikannya, dan setelah dijatuhi hukuman mati dengan penyaliban dia tewas di penjara sebelum hukuman sempat dilaksanakan. Maka dia dimasukkan, dalam posisi jongkok, ke dalam sebuah kendi tembikar merah besar, yang, setelah diisi padat dengan garam, disegel rapat-rapat. Pada hari peringatan perbuatan kejahatannya, kendi dibawa ke lapang eksekusi dan dipecahkan, dan jasad dikeluarkan dan diikat pada kayu salib, tulang-tulang sendi lutut dan lengan sudah diputus, agar tungkai-tungkai yang kaku dan susut dapat dipanjangkan; itu kemudian ditancapkan dengan tombak-tombak, dan dibiarkan tetap tertampak selama tiga hari. Sebuah kuburan terbuka, yang tanah terangkatnya tampak hampir seluruhnya tersusun dari jenazah orang-orang mati, menunggu untuk menerima si mayat tercela, yang di atasnya tiga atau empat orang Eta—makhluk-makhluk jorok dan rendah—mengadakan penjagaan, mengisap pipa mereka dengan api arang tipis, dan mendesas-desuskan senda-gurau cabul. Itu peringatan mengerikan dan menakutkan, andai ada yang mau membaca pelajaran; tapi orang-orang yang lewat di jalan utama itu kurang atau tidak mem­perhatikan pemandangan itu, dan sekelompok anak kecil gemuk dan gembira bermain tidak sampai sepuluh yard dari jasad tersebut, seolah-olah tak ada hal aneh atau luar biasa di dekat mereka.
Judul asli : The Ghost of Sakura<i=1e1sQI5qJ4wtyJTF5kAyHCAL9snnahQ_D 420KB>The Ghost of Sakura
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Maret 2021
Genre :
Kategori : ,

Unduh