Skip to content
Si Buta – Relift Media

Si Buta Cerita fiksi filsafat

author_ Guy de Maupassant _; genre_ Filsafat _; category_ Cerpen _; type_ Fiksi _; date_ 1882 _; Dia tak tahu harus bersembunyi di mana, dan dia tetap bertahan, dengan kedua lengan selalu terulur untuk berjaga-jaga dari orang-orang yang menghampirinya terlalu dekat. Bagaimana bisa sinar mentari memberi kita kenikmatan sedemikian rupa? Kenapa pancaran ini, saat mengenai bumi, memenuhi kita dengan nikmat hidup? Segenap langit membiru, ladang-ladang menghijau, rumah-rumah serba putih, dan mata tersihir kita meminum warna-warna cerah itu yang membawa kesenangan pada jiwa kita. Lalu timbul dalam hati kita sebuah keinginan untuk menari, berlari, menyanyi, sebuah keringanan pikiran yang bahagia, semacam kelapangan hati yang lembut; kita merasakan kerinduan untuk memeluk matahari. Orang-orang buta, saat mereka duduk di lawang pintu dan tak acuh dalam kegelapan abadi mereka, tetap tenang seperti biasa di tengah keriangan segar ini; tak paham apa yang sedang terjadi, mereka terus-menerus menahan anjing mereka yang coba bermain. Ketika di pengujung hari mereka pulang dalam papahan seorang adik laki-laki belia atau adik perempuan kecil, jika si anak berkata: “Hari ini cerah sekali!” yang lain menjawab: “Aku bisa rasakan. Loulou tak mau diam.” Aku kenal salah satu dari orang-orang ini yang hidupnya termasuk kemartiran paling kejam yang mungkin terbayang­kan. Dia buruh tani, putera seorang petani Norman. Selama ayah dan ibunya hidup, dia kurang-lebih diurus; dia tak banyak menderita kecuali akibat kelemahan fisiknya; tapi begitu para orang tua tiada, kehidupan sengsaranya dimulai. Bergantung pada adik perempuannya, setiap orang di rumah petani itu memperlakukannya sebagai pengemis yang memakan roti orang asing. Di setiap waktu makan, makanan yang dia telan dijadikan bahan omelan terhadapnya; dia dipanggil pemalas, pelawak, dan walaupun saudara iparnya sudah mengambil jatah warisan miliknya, dia dibantu makan sup dengan setengah hati, sekadar untuk menyelamatkannya dari kelaparan. Wajahnya sangat pucat, dua mata besar putihnya mirip wafer. Dia tak ambil pusing dengan segala hinaan yang dilon­tarkan padanya, sangat pendiam hingga tak bisa dipastikan apa dia merasakannya. Lebih dari itu, dia tak pernah mengenal kelembutan apapun, ibunya selalu memperlakukannya dengan kasar dan kurang peduli padanya; di pedesaan, orang-orang tak berguna dianggap menyusahkan, dan para buruh tani akan dengan senang hati membunuh orang lemah fisik dalam spesies mereka, seperti yang unggas lakukan.
Judul asli : The Blind Man
L’Aveugle
()
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juni 2019
Genre :
Kategori : ,

Unduh