Dia lihat kepala-kepala menyembul di sana-sini; satu orang menjerit nyaring dan menghilang. Persis itu—kecuali menjerit—yang ingin dilakukannya. Tapi dia tak sanggup. Memang tak ada salahnya ingin mati, tapi tubuh kuatnya mau bilang sesuatu.
“Kita akan mengapung selama sepuluh menit,” kata Opsir Dua.
Usai jeda si penumpang berkomentar:
“Aku senang, sungguh.”
“Kau bersyukur atas anugerah kecil,” ketus Opsir.
Si penumpang tidak menjelaskan. Dia tidak berharap Opsir Dua, atau yang lain, akan menaruh simpati pada sudut pandangnya, atau sama-sama merasakan apa yang membuatnya girang dengan musibah ini, bukan penangguhannya. Mereka yang tidak ikut sibuk menaikkan para wanita dan anak-anak ke dalam perahu-perahu, dan menjaga kapal tetap di atas permukaan air, mencaci maki kapal lain yang melesat tanpa menawarkan pertolongan, atau berpegangan dengan cemas pada siapapun yang bisa memberitahu bagaimana tabrakan itu terjadi dan apa harapan yang ada untuk selamat. Perahu-perahu dilepas dengan aman, diisi muatan hingga kapasitas maksimal; pelampung diedarkan. Begitu jumlahnya menipis, orang-orang pun berundi, dan yang kalah mengobrak-abrik geladak untuk mencari pengganti sementara. Si penumpang tak ikut serta dalam kompetisi atau penggeledahan ini. Dia berdiri dengan tangan di dalam saku dan senyum di bibir, menunggu sepuluh menit hingga mereka letih. Dendam tunggalnya terhadap takdir ada dalam sepuluh menit berlebihan itu.
Sendirian dia mulai berpikir, menyalakan rokok. Dia harus pakai korek api fusee, kasihan sekali, terutama untuk rokok terakhirnya, tapi angin bertiup kencang. Aneh juga, seberapa jauh seseorang bisa berbuat jahat tanpa menjadi orang jahat, dan kebuntuan seperti apa yang mungkin dijumpainya. Dia terus hanyut, dan keadaan memburuk sampai-sampai kaum wanita menangis dan anak-anak tercemar, gara-gara dirinya yang benci menyakiti siapapun dan seorang pak tua yang menutup wajah terhormat karena malu. Dia bahkan wajib berterimakasih kepada pria yang paling dibencinya di dunia ini, lantaran dirinya tidak ditempatkan di geladak. Ungkapan itu tersangkut di tenggorokannya lebih dari yang lain. Dia sudah siap membayar tembakannya dan masuk penjara—dia lebih sudi menjalani masa tahanan lima tahun ketimbang berutang terimakasih atas pelariannya—tapi karena kesantunannya, dia tak bisa bersikeras pergi; persidangan akan menewaskan pak tua ini. Maka mereka menyusun rencana—kesempatan hidup baru, kata mereka—dan mengangkutnya ke sisi lain dunia bersama lima puluh pound di dalam saku—pemberian sang musuh. Setidaknya dia bisa buang uang itu sekarang. Masih tersenyum, dia jatuhkan buku sakunya ke lambung kapal, ke dalam ombak besar yang bergulung-gulung. Dia selalu bermaksud melemparnya ke sana—amit-amit memakainya—tapi dia hampir tidak berharap untuk pergi dengannya. Kini dia akan segera mengikutinya. Pintu yang gagangnya enggan berputar telah terbuka dengan sendirinya dalam cara yang mudah, aneh bin ajaib. Terjun dari kapal adalah langkah mustahil; pak tua dan para wanita akan mendengarnya, dan dia betul-betul tak mau menambah penderitaan mereka. Tapi bencana ini—dari sudut pandang egois—luar biasa menguntungkan. Jalan keluar tersebut mempunyai nilai tak terelakkan, dan menyediakan hipotesis indah untuk gagasan “hidup baru”. Menurut hipotesis ini dia tidak ragu, banyak kesenangan akan dihirup oleh orang-orang tersayang, tercinta, sanak-saudara konyol di rumah. Dia akan menempuh banyak “hidup baru”! Tapi biarkan mereka berpikir begitu. Dan hore untuk tabrakan di perairan dalam!
Lima menit berlalu—dan mereka di perairan. Nakhoda ada di anjungan; para ahli mesin sudah naik dan, bersama awak dan para penumpang yang belum pergi dengan perahu, bersiap lompat sesuai aba-aba. Sebagian berdoa, sebagian berserapah, mayoritas membahas masalah dengan nada seperti saat berspekulasi tentang cuaca usai makan malam di geladak; tapi mereka semua memancangkan mata pada nakhoda.
Judul asli | : | The Opened Door<i=1ilkxgpnPHD5a1yBChfFC5vIg4bGsGDdn 191KB>The Opened Door (1907) |
Pengarang | : | Anthony Hope |
Penerbit | : | Relift Media, September 2016 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |