Skip to content
Bukti-bukti Kepurbakalaan Manusia – Relift Media

Bukti-bukti Kepurbakalaan Manusia Bacaan non-fiksi sains

author _James Herman Whitmore_; date _1874_ genre _Sains_; category _Makalah_; type _Nonfiksi_ “Berdasarkan semua riset, dan berdasarkan fakta-fakta Arkeologis yang tidak kurang terbuktikan, kita perlu mundur sangat lebih jauh daripada yang biasa kita tempuh, untuk mencari kedatangan manusia di muka bumi. Biar kukutipkan untuk kalian satu saja di antara bukti-bukti ini.” Dalam makalah ini aku bermaksud menyajikan bebe­rapa bukti yang diandalkan oleh para Arkeolog untuk membuktikan kepurbakalaan manusia yang lebih panjang daripada angka 6.000 tahun yang umumnya diakui. Sejarah sakral tidak memberi kita informasi yang dihen­daki perihal kepurbakalaan ras [manusia]. Barangkali kara­ngan historis tertua yang ada dijumpai di antara kitab-kitab Perjanjian Lama. Tapi cakupan mereka sempit, terutama terbatas pada sejarah satu bangsa—Yahudi. Kebetulan, dan hanya yang terkait dengan sejarah kaum tersebut, kitab-kitab itu memberi penggalan-penggalan sejarah yang sezaman dengan Babilonia, Asyur, dan Mesir. Mereka tidak menyebut­kan peradaban sudah eksis di Mesir sebelum kedatangan Abraham ke negeri itu sekitar 2.000 SM; pun mereka tidak menyinggung Piramida satu kalipun, meski sekarang kita yakin monumen-monumen masyhur ini dibangun berabad-abad sebelum Ezra menghimpun kitab-kitab yang dikenal sebagai Kitab-kitab Perjanjian Lama. Dalam sejarah Alkitab kita sama sekali tidak menemukan isyarat peradaban China, meski sekarang kita tahu China adalah kekaisaran padat penduduk di zaman Nebukadnezar, dan Konfusius sezaman dengan Daniel sang Nabi Ibrani. Profesor Max Müller mengatakan Kidung-kidung Vedik dianggap kuno 600 tahun sebelum masehi, tapi Alkitab sama sekali tidak menyebutkan keadaan peradaban Arya ataupun eksistensi literatur Arya. Dalam semua ini Alkitab tidak bersalah. Ia tidak mengklaim memberikan sejarah universal atau kronologi universal ras [manusia]. Yang bersalah hanya­lah mereka yang mencoba menjadikannya narasumber untuk semua topik—sejarah dan sains di samping agama. Betul, Alkitab, yang dianggap semata-mata sebagai seja­rah, memuat segudang informasi yang tidak bisa digantikan oleh semua literatur lain. Asal-muasal Ilahi-nya, konsepsi luhurnya akan tugas dan tanggungjawab manusia, dan peng­ungkapannya tentang kehidupan masa depan, menjadikan­nya kitab paling masyhur. Kita memberi rasa hormat kepada­nya yang tidak kita berikan kepada kitab lain manapun. Tuntutan-tuntutannya pada kita lebih tinggi dan lebih kuat daripada tuntutan semua jilid lain. Aku membuat pernya­taan-pernyataan basi ini tentang Alkitab agar tidak ada salah paham. Ketika aku menyebut Kitab-kitab [Perjanjian Lama] tidak memberi sejarah dan kronologi ras manusia secara lengkap dan berurutan, aku tak bermaksud meremehkan nilai penting mereka lebih daripada ketika aku menyebut mereka tidak mengajarkan ilmu astronomi, geologi, atau kimia. Alkitab memiliki bidang amat penting dan khusus di mana kenarasumberannya adalah yang tertinggi. Tapi itu bukan buku teks sejarah atau kronologi universal. Jika selanjutnya kita bertanya kepada sejarah sekuler kuno tentang kepurbakalaan manusia, kita tidak mendapat jawaban memuaskan. Herodotus, yang menulis sekitar 450 SM, menemukan di Mesir sebuah peradaban tua dan sedang melapuk. Piramida-piramida di masanya dipandang sebagai kuno, dan sejarah mereka hilang dalam cahaya redup abad-abad yang berlalu. Untuk pertanyaan, “Sudah berapa lama manusia ada di bumi? Di mana dan kapan dia pertama kali muncul?”, sejarah tertulis tidak memberi jawaban. Jika kemudian kita meneruskan penyelidikan lebih jauh, kita harus meminta tolong pada bukti-bukti yang disediakan oleh karya-karya manusia di zaman pra-sejarah. Untungnya permintaan tolong kita tidak sia-sia. Arkeologi adalah ilmu kepurbakalaan. Itu berurusan dengan bekas-bekas tindakan manusia di zaman prasejarah, menyingkap sisa-sisa karya-karya khalayak, dan mencurahkan perhatian besar pada relik-relik masa lalu paling remeh yang mungkin memberi infor­masi apapun tentang kepurbakalaan manusia. Ketika Champollion mengurai prasasti tri-bahasa pada Rosetta Stone, dia menemukan sebuah kunci yang dengan­nya dia dan yang lain bisa membaca banyak pelajaran edu­katif menyangkut kepurbakalaan Mesir. Jerih-payah sukses Baron Bunsen, Lepsius, Wilkinson, Layard, Rawlinson, Mari­ette, dan lain-lain telah banyak menerangkan subjek kepurba­kalaan pra-sejarah. Aku punya ruang untuk beberapa kesaksian saja, di banyak kesaksian yang kukumpulkan, mengenai zaman monumen-monumen Mesir. E. B. Tylor dalam karya masyhurnya “Primitive Culture”, vol. 1 hal. 54, mengatakan, “Kronologi, meski menganggap skema-skema dinastik besar bangsa Mesir, bangsa India, dan bangsa China sebagai kurang-lebih fiktif, yang beralih men­jadi jumlahan-jumlahan buku sandi belaka dengan tahun sebagai satuan, tetap mengakui bahwa monumen-monumen yang ada membawa jejak-jejak peradaban relatif tinggi ke jarak lebih dari 5.000 tahun ke belakang.” Kalkulasi dinasti-dinasti Mesir dalam angka ribuan tahun oleh Baron Bunsen dapat diperdebatkan dan memang diperdebatkan, tapi mereka didasarkan pada fakta-fakta yang bagaimanapun juga membenarkan kita untuk menerima sebuah kronologi panjang. Cukup dengan mengidentifikasi dua atau tiga nama-nama Mesir yang disebutkan dalam sejarah Alkitab dan Klasik, kita memperoleh kesan kuat akan kepurbakalaan jauh. Nama-nama tersebut adalah Shishak dari silsilah Psamtik, yang obelisk-obelisknya dapat dijumpai di Roma; Tirhakah, Raja Etiopia, yang peti perawatnya ada di Florence Museum; kota Ramses yang jelas-jelas terhubung dengan silsilah besar Ramesside yang para Egiptolog sebut Dinasti ke-19. Di sini, sebelum kebudayaan klasik muncul, kebuda­yaan Mesir memuncak, dan di belakang waktu ini terdapat zaman Raja-raja Piramida yang agak kurang maju, dan di belakang ini lagi terdapat selang waktu tak terbatas yang diperlukan untuk menghasilkan peradaban semacam itu. Lagi, meski tak satupun bagian Perjanjian Lama bisa mem­buktikan kepurbakalaan penulisannya sendiri yang mende­kati kepurbakalaan prasasti-prasasti hieroglif Mesir terawal, semua kritikus tetap harus mengakui bahwa kitab-kitab sejarah tua ini memberikan, di satu sisi, dokumen-dokumen sezaman yang menunjukkan kebudayaan cukup besar di dunia Semitik di tahun yang kuno (jika dibandingkan dengan sejarah klasik), sementara di sisi lain kitab-kitab ini menye­diakan bukti untuk tujuan kronologi, yang membawa catatan sebuah peradaban barbar yang agak maju berabad-abad lebih jauh ke belakang.” Kesaksian ini bernilai dua kali lipat lantaran keterus-terangan dan pengetahuan luas sang saksi. Dia tidak sedang mengemukakan sebuah argumen, tidak pula mendorong fakta-fakta tertentu ini sebagai basis untuk suatu teori kesayangannya sendiri. Dia mencatat mereka hanya sebagai kebenaran yang terbuktikan. Kesaksian eksplisit Dr. Tylor dikuatkan oleh kesaksian yang baru-baru ini diberikan oleh Profesor ternama Sejarah Alam Manusia di French Museum, A. De. Quatrefages. Di akhir lekturnya, “Kepurbakalaan Manusia”, yang disampai­kan di Vincennes, sang Profesor terpelajar berkata, “Maka, kita tidak bisa memberi angka-angka tepat. Tapi, berdasar­kan semua riset, dan berdasarkan fakta-fakta Arkeologis yang tidak kurang terbuktikan, kita perlu mundur sangat lebih jauh daripada yang biasa kita tempuh, untuk mencari kedatangan manusia di muka bumi. Biar kukutipkan untuk kalian satu saja di antara bukti-bukti ini. “Kalian pernah datang ke Pameran Dunia—kemungkinan besar kalian memasuki Kuil Mesir. Di dasar aula, menghadap pintu masuk, kalian melihat sebuah patung—patung Raja Khafra. Patung ini berasal dari kira-kira 4.000 tahun sebe­lum era kita. Berarti itu dipahat sekitar 6.000 tahun lampau. Nah, kalian mungkin tahu karya itu sangat sulit, sebab bahan batunya sangat keras. Patung itu luar biasa sempurna. Dari ini, di samping dari data lain, kita jadi tahu bahwa di Mesir, 6.000 tahun lampau, peradaban sudah sangat maju. Oleh karenanya, kita harus menetapkan awal-mula bangsa Mesir sebagai lebih dari 6.000 tahun lalu. Tapi sebentar lagi kita akan menyimak bahwa Mesir bukan negeri berpenghuni per­tama. Manusia pasti datang ke sana dari kampung halaman aslinya. Alhasil, kemunculan pertamanya di muka bumi akan didapati jauh lebih lampau.” Surat-surat anyar Bayard Taylor kepada New York Tribune mengandung maksud yang sama. Dalam sebuah surat ber­tanggal di Kairo, 25 Maret 1874, dan diterbitkan dalam Tribune 23 Mei, sang pelancong besar Amerika mengatakan: “Di depan kami, Piramida tampak mengejek semua kekuatan dunia belakangan. Bukan ‘40’ tapi 60 abad memandang kita di bawah dari puncak-puncak tak berubah itu. Mereka men­dahului semua catatan manusia lain, kecuali catatan dinasti yang mendahului dinasti pembangun mereka tak lama sebe­lumnya. Sejarah Ibrani, Sanskrit, dan China tampak sete­ngah modern ketika aku berdiri di kaki tumpukan yang ham­pir sama tuanya dengan Koloseum saat ini ketika Abraham dilahirkan. Selagi aku beristirahat dalam bayangan teduh, memandang ke puncak-puncak kelabu yang sangat diperpen­dek oleh kedekatan sehingga sebagian besar ketinggian aktual mereka hilang, tapi tetap luar biasa besar, aku hanya terpikir satu hal: kita harus punya kronologi manusia yang baru. Di sana, di hadapanku, perhitungan Ussher-Musaik tidak hanya didahului, tapi sebuah pertumbuhan durasi pan­jang tak pasti terdahulu menjadi jelas. Di sana, pada batu-batu yang berserakan di Gurun, terdapat prasasti-prasasti yang diukir jauh sebelum tradisi Ibrani, Sanskrit, Fenisia, atau Yunani—kata-kata gamblang dan terang, hampir sama terbacanya bagi kesarjanaan modern dengan kata-kata bahasa-bahasa yang masih hidup. Arus cahaya panjang tak terputus ke Masa Lalu jauh ini menerangi hantu-hantu historis gelap di segala sisi dan menyapu kita, dengan atau tanpa kemauan kita, ke sebuah titik pangkal di belakang yang baru dan luar biasa.”
Judul asli : Evidences of the Antiquity of Man<i=13wwDLbdO9yM5rZxY-q23eZ5E464cg_N0 788KB>Evidences of the Antiquity of Man
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Februari 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Bukti-bukti Kepurbakalaan Manusia

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)