Skip to content
Manusia, Citra Tuhan – Relift Media

Manusia, Citra Tuhan Bacaan non-fiksi religi

author _Joseph Chayyim Caro_; date _1847_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kendati semua manusia, tanpa dibeda-bedakan, dikasihi oleh Tuhan, tapi kasih khusus ditunjukkan kepada bani Israel, yang telah diistimewakan oleh Tuhan di atas semua bangsa lain dan telah menerima banyak tanda cinta-kasih-Nya. Rabbi Akiba berkata: Manusia dikasihi, sebab dia di­ciptakan dalam citra Tuhan, tapi kasih tersebut lebih besar lagi yang membuat dia tahu bahwa dirinya diciptakan dalam citra Tuhan, sebagaimana dikatakan, ‘Dalam citra Tuhan Dia menjadikan manusia.’ Israel dikasihi dalam arti mereka disebut anak-anak Tuhan; dan kasih tambahanlah yang membuat mereka tahu bahwa mereka betul-betul dise­but anak-anak Tuhan, sebagaimana dikatakan, ‘Kalian ada­lah anak-anak Allah, Tuhan kalian.’ (Ethics of the Fathers, bab iii, ayat 14) Tentu saja sang Rabbi terhormat tidak berniat meninggi-ninggikan kemegahdirian kita, ketika dia berulangkali me­nyebutkan keunggulan bani Israel di hadapan bangsa-bangsa lain; niat sejatinya barangkali tiada lain untuk menyampai­kan ini sebagai stimulus agar lebih tekun menunaikan kewajiban-kewajiban kita. Ringkasnya, apa yang dia maksud adalah ini: Orang yang dikaruniai kekayaan, dituntut banyak darinya. Efraim berkata, “Aku menjadi kaya, aku menemukan harta-benda, oleh karenanya usaha-usahaku tidak akan men­cukupi untuk menebus dosaku.” (Hosea xii. 8) Dengan demi­kian sang Rabbi berpendapat bahwa orang yang diutamakan dengan begitu banyak keunggulan dibebani kewajiban untuk awas terhadap perbuatan salah. Begitu perkataan sang Rabbi diselidiki secara mendalam, kita akan menemukan bahwa dia memandang posisi bani Israel dalam tiga hal berbeda:
  1. 1. Sebagai manusia tanpa memandang kaul keagamaan.
  2. 2. Sebagai bani Israel, menyangkut budidaya diri.
  3. 3. Sebagai bani Israel sehubungan dengan bangsa-bangsa lain.
(1) Dalam kata-kata, “Manusia dikasihi oleh Tuhan, sebab dia diciptakan dalam citra Tuhan,” Rabbi Akiba menarik per­hatian kita pada martabat manusia tanpa membeda-bedakan pandangan keagamaannya. Di antara berjuta-juta makhluk yang Yang Maha Kuasa tempatkan di bumi ini, manusia ada­lah kesayangan Tuhan, ciptaan-Nya yang paling sempurna. Meski dibentuk dari tanah seperti halnya hewan-hewan lain, manusia dianugerahi jiwa abadi, berkuasa di dalam dan me­merintah semua tindakannya melalui prinsip-prinsip suatu nalar superior. Semua kecenderungan manusia bukanlah impuls naluriah, melainkan dituntun oleh jiwanya, memuat keinginan akan kesempurnaan spiritual dan akan kemajuan segala sesuatu yang benar dan senantiasa bermanfaat; sebab jiwanya berasal dari Tuhan, pantulan kecerahan-Nya yang tak terhingga, sinar dari Matahari di antara matahari-mata­hari. “Roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” (Amsal xx. 27) Di dalam ini terdapat martabat manusia, untuk mengenali dan untuk mengapre­siasi yang mana kewajiban lebih kuno daripada yang dibeban­kan oleh wahyu. Pengetahuan ini adalah syarat pertama seluruh moralitas, kesalehan, dan kebajikan, dan itu diterima oleh manusia-manusia pertama. Bahkan sebelum hukum apapun diperkenalkan kepada masyarakat, orang yang menumpahkan darah manusia akan menderita kematian, sebab, diciptakan dalam citra Tuhan, dia telah melupakan martabatnya sedemikiran rupa sehingga memerosotkan dirinya sendiri ke kategori binatang buas yang marah. Atau apakah kau berpikir ini sebaliknya? Bahwa manusia hanyalah hewan yang diberi sedikit lebih banyak kebijaksanaan dan kehati-hatian daripada selebihnya, tapi dalam hal-hal lain sama jauhnya dari Tuhan sebagaimana makhluk hidup lain? Ini buah pikiran yang rancu! Kekuatan apa yang kadang menonjolkan ini dan kadang itu, yang memerintah di dalam fakulti-fakulti manusia? Kadang kita melihat seseorang mengamuk, marah, berani, mengerikan seperti singa; sesaat kemudian dia takut-takut, penurut, lembut seperti merpati; barusan dia malas, tak giat, dan apatis; dan tak lama kemu­dian dia rajin, giat, energik, bekerja keras, dan banting tulang. Siapa yang mengakibatkan perubahan-perubahan ini? Itu adalah ide yang terlintas dalam pikirannya. Tapi dari mana datangnya ide itu, siapa yang memulai dan mengembang­kannya, kecuali jika ada sebuah kekuatan superior bawaan lahir dalam diri manusia, menguasai tindakan-tindakannya, dan mempergunakan kadang fakulti ini dan kadang fakulti itu untuk memajukan tujuannya sesuai prinsip-prinsip yang masuk akal? Bagaimanapun, tujuan tertingginya adalah me­niru Tuhan dalam mempromosikan semua yang berkontri­busi pada kebahagiaan manusia, yang untuk mengusaha­kannya benih-benih ditanam dalam hati manusia. Bukankah impuls mulia kemurahan hati berdiam di dalam manusia paling kasar sekalipun? Bukankah rasa terimakasih kepada seorang dermawan, dan karenanya kepada Tuhan (Pencipta semua derma); bukankah cinta dan hormat kepada orang-orang yang memberi kita kehidupan dan mendidik kita; bukankah semua ini hukum alam? Bukankah manusia ber­simpati pada penderitaan sesama makhluk? Bukankah dia merasa kasihan kepada orang yang menderita, bersimpati kepada orang yang lemah? Bukankah dia bersukacita atas menangnya kemurnian, dan berdukacita ketika itu dikalah­kan oleh kedurjanaan? Bahkan, semua kualitas yang kesem­purnaannya kita puja dalam Ketuhanan, kita merasakannya dalam diri kita sampai derajat tertentu, tentu saja dalam proporsi makhluk terhadap Entitas maha. Tulisan Suci mengungkapkan ini dalam satu kata: “Manusia adalah citra Tuhan,” bayangan ketuhanan. Satu kata ini mengindikasi­kan pentingnya manusia; raganya tidak memiliki pertalian dengan Tuhan, dan bukan pula itu bayangan ilahi; tapi jiwanya adalah puteri mulia Tuhan, yang turun dari wilayah-wilayah superiornya ke dalam wujud tanah liat raga manusia, ke situ untuk menanamkan benih-benih kebajikan ilahi. Ia datang dengan lauh-lauh batu di hatinya, dan dengan keingi­nan penuh semangat untuk memenuhi kehendak Tuhan semampunya; seperti kata sang penulis Mazmur: “Lalu, aku berkata, ‘Lihat, aku telah datang; dalam gulungan kitab itu tertulis tentang aku: Aku senang melakukan kehendak-Mu, ya Allahku. Hukum-Mu ada di dalam hatiku.” (Mazmur xl. 7,8,9) Benar bahwa jiwa tidak selalu berhasil dalam bertin­dak sesuai kehendaknya sendiri. Itu menemui perlawanan kuat. Pengaruh berbahaya dari dunia badaniah merugikan bagi manusia, keasusilaan menjangkiti atmosfer bumi, “dosa sudah mengintai di depan pintu”; perjuangan untuk akal mulia itu susah-payah, tapi terlalu sering kita menyaksikan akal tunduk; tapi sangat jelas bahwa “Tuhan telah menjadi­kan manusia benar”, dan bahwa hanya dunia eksternal-lah, di mana pancainderanya terpengaruh, penyebab keberdosaan­nya. Dalam pandangan inilah Kitab Suci berkata: “Niat hati manusia itu jahat sejak masa mudanya.” (Kejadian viii. 21); dan para penulis Talmud berkata, dalam bahasa misterius mereka: “Sebelum anak lahir dari rahim ibunya, ia dikaruniai semua ajaran hukum, tapi begitu ia memasuki dunia, seorang malaikat datang dan menekan bibir anak itu, sehingga ia lupa segalanya.” Malaikat yang diutus oleh Tuhan untuk mengha­sut pergulatan di dalam diri manusia juga merupakan pesona keburukan, senantiasa siap untuk merampas martabatnya—bahagialah jiwa yang menang atas pergulatan itu! “Lebih besar kasih yang diberitahukan kepada manusia bahwa dia diciptakan dalam citra Tuhan,” lanjut Akiba. Sungguh, bahagialah manusia yang menyadari martabatnya, yang mengingat di setiap tindakan bahwa Tuhan telah mem­berkahinya dengan keunggulan khusus atas semua makhluk lain; bahwa sebuah jiwa ilahi hidup di dalam dirinya; bahwa, alhasil, tindakan-tindakannya harus sesuai dengan martabat ini; bahwa dia tak boleh memerosotkan dirinya menjadi hewan tak berakal; dan terakhir, bahwa semua manusia memiliki citra Tuhan terstempel pada mereka, sehingga ber­kerabat dengan dirinya. Tapi celakalah manusia yang bisa melupakan ini! “Jika manusia tidak hidup dalam kehormatan, dia seperti binatang yang binasa.” (Mazmur xlix. 12) Bahkan, tidak ada dosa yang lebih berat daripada melupakan keung­gulan manusia sendiri, dan meletakkan dirinya selevel de­ngan makhluk kasar. “Maka manusia hina ditundukkan dan orang mulia direndahkan—Jangan ampuni mereka!” (Yesaya ii. 9); sebab tentu saja ini akan membawa kepada perbuatan perampokan, pembunuhan, dan semua dosa besar. Oleh karenanya, hendaknya manusia tak pernah kehilangan harga diri sebagai manusia; tapi hendaknya dia selalu mengingat, Tuhan telah mengistimewakanku dengan keunggulan-keunggulan tersebut, aku akan menjadikan diriku pantas mengembannya, dan memanfaatkannya untuk meraih kasih Pencipta-ku yang dijanjikan.
Judul asli : Man—the Image of God<i=1Mg3HG5l6RBIpLu0tWxyUBZrnVP5OscC- 358KB>Man—the Image of God
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Manusia, Citra Tuhan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)