Skip to content
Dogma Kristen: Antara Akidah Semit dan Arya – Relift Media

Dogma Kristen: Antara Akidah Semit dan Arya Bacaan non-fiksi religi

author _Francis Roubiliac Conder_; date _1876_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Kaum Yahudi meyakini dengan kukuh bahwa mereka berada dalam relasi khusus dengan Pencipta. Ekspresi-ekspresi yang biasa digunakan oleh para teolog Kristen terkait bangsa kuno Tuhan memiliki makna fisik dan genealogis nyata bagi kaum Yahudi. Perkembangan tanpa preseden dari klaim-klaim Kepausan, yang mencirikan Kepausan seorang Paus yang melihat relik terakhir kedaulatan teritorial lepas dari genggamannya, memiliki kepentingan yang jauh lebih ter­sebar luas daripada batas-batas Gereja Roma. Di dalam batas itu, kebiasaan mental berkuasa berupa ketundukan kepada ajaran otoritatif, walaupun dalam beberapa contoh tergon­cang keras, rupanya sedang memulihkan keseimbangan tenangnya. Sebuah dogma kurang-lebih adalah perkara kecil bagi mereka yang percaya bahwa otoritas yang menerbitkan dogma tersebut kompeten untuk melakukannya. Efek prak­tis, terhadap Papis berpendidikan ataupun tak berpendidi­kan, dari item-item baru akidah penting, akan hampir tak berarti. Makna dan relevansi filosofis item-item itu bukan urusannya. Sehubungan dengan porsi Kristendom yang terletak di luar batas Roma, keadaannya sebaliknya. Di mana penggunaan nalar tidak terbelenggu, penampakan bunga terakhir ini—bunga dari sebuah pohon pertumbuhan selama 15 belas abad—mau tak mau membangkitkan rasa penasaran luar biasa. Orang-orang senang bertanya kepada satu sama lain apakah dekrit-dekrit Kepausan, yang menandai puncak sebuah pertumbuhan sekuler/duniawi, bukanlah—seperti runcing agave yang berkembang cepat—upaya terakhir dari vitalitas organisme yang diikuti keruntuhan dan pelapukan. Dengan cara itu, setaraf penyelidikan pandai perihal karakter dan asal-muasal historis akidah Kristen, setidaknya yang dipegang oleh Gereja Paus, telah tergerakkan di seluruh Kris­tendom non-Kepausan, yang tak ada bandingannya sejak zaman ribut Leo ke-10, Luther, dan Konsili Trento. Namun, bukan di kalangan saudara-saudara senegara Luther efek goncangan terakhir terhadap nalar manusia ini paling tampak. Kita bisa berikan alasannya dalam kata-kata yang didiktekan oleh tak kurang tokoh Pangeran Bismarck. “Persoalan historis tersebut,” tulis sekretaris Yang Mulia kepadaku, “dikupas dalam literatur Jerman, bahkan dalam buku-buku teks, dengan tidak terlalu hati-hati dibanding di Inggris.” Bahkan, banyak dari kelas-kelas berpendidikan Pru­sia, sebagai hasil dari pendidikan mandiri telaten, sungguh-sungguh, dan gigih yang dijalankan bangsa itu selama dua generasi, jadi memandang dogma keagamaan dari sudut bagaimana kelas-kelas berpendidikan Inggris memandang alkemi atau astrologi. Mereka tak lagi berkontroversi, karena mereka tak lagi menyematkan nilai penting apapun pada subjek tersebut. Mereka menganggap itu hanya sebagai relik masa lalu. Kontroversi lebih semarak yang diangkat di negara ini perihal klaim-klaim Vatikan berutang banyak hiruk-pikuknya pada gaya tak biasa dalam menarik publik terus-menerus kepada subjek tersebut. Ketika seseorang yang pernah menjadi pemimpin sebuah partai besar, meski tak padat, di Dewan Rakyat meninggalkan arena pergulatan politik demi halaman-halaman sebuah majalah, itu sendiri merupakan sebuah fenomena. Tapi yang jauh lebih signifikan daripada penyimpangan literatur yang sementara semacam itu adalah upaya kentara dan energik, dari pihak sebuah partai yang tidak remeh di kalangan pendeta muda, untuk memutar kembali cakram waktu dan untuk mendirikan kembali kuk kependetaan yang dulu digoncang keras dari leher Inggris oleh tangan kuat Henry VIII. Ada orang-orang yang menisbatkan gerakan luar biasa ini pada jenis osilasi mental yang sama yang berlaku dalam peperangan politik sebuah negara konstitusional. Bagi orang-orang demikian, keraguan Macaulay yang lebih dari setengah terekspresikan pasti menjadi sumber kegelisahan. Jika dogma adalah sesuatu yang tak hanya terpisah dari nalar, tapi juga bebas dari kontrol nalar, maka penerimaan atau penolakan terhadapnya dapat ditentukan oleh sebab-sebab lain selain yang dipengaruhi oleh kultur akal. Tapi tidak bisa diingkari bahwa itu prospek suram. Tidak mungkin ada kom­promi permanen dalam pergulatan antara Nalar dan Dogma. Pertikaian ini menghancurkan keduanya. Kita harus mene­rima apa yang bisa diterima oleh Nalar, ketika sepenuhnya diberitahu tentang semua elemen diskusi, atau kita harus menolak Nalar dan mengandalkan Otoritas saja. Kita tidak percaya bahwa ras manapun keturunan Teuton akan secara permanen mengadopsi alternatif kedua. Kita memandang gerakan Sacerdotal di Inggris lebih sebagai indikasi keresahan akibat dimulainya gerakan yang diisyaratkan oleh Pangeran Bismarck di Jerman, ketimbang sebagai perubahan dalam perkembangan opini. Dengan kurangnya pengajaran dan perenungan daripada sepupu-sepupu Jerman kita yang lebih tenang, para pemuda kita tetap tak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak hal yang guru-guru mereka nyatakan sebagai pasti, terbukti, dan terdemonstrasikan tidaklah memiliki fondasi apa-apa dalam literatur. Mereka harus sadar bahwa sebuah struktur amat berat dan rumit bertumpu pada sebuah dasar yang dinyatakan tidak aman oleh para penyelidik independen. Jika tidak teryakinkan, mereka tetap punya kecurigaan gelisah bahwa dasar literer dogma ortodoks tidaklah masuk akal. Mereka tak berani menghadapi hasil-hasil pemeriksaan lan­jutan; dan oleh karenanya, sebagai satu-satunya alternatif, mereka melempar diri mereka ke bawah perlindungan oto­ritas. Apa yang tentu saja tidak bisa mereka temukan dalam literatur, mereka menemukannya dalam tradisi; dan berhu­bung sikap memalukan mereka disebabkan oleh fakta bahwa mereka ingin mengadopsi prinsip tradisi Gereja Kristen his­toris dan sekaligus ingin mengingkari porsi-porsi ajarannya yang tidak mengenakkan, maka sebuah tradisi Anglikan fantastis dan khayali sedang berkembang aktif. Ritualisme adalah Papis dengan Kepausan yang bertugas—otoritas dog­matis dalam bentuk konvensi nasional, tapi sebuah konvensi kaum pendeta ritualistik kecil saja. Seberapa pantas pun, atau seberapa keliru pun, pema­haman terhadap keadaan aktual gejolak keagamaan di Ing­gris ini, sangat jelas bahwa sebelum abad ini berakhir seluruh persoalan relasi dogma ortodoks dengan otoritas literer—atau dengan kata lain pemeriksaan kritis terhadap pengertian gramatis sederhana dari setiap kitab dalam Perjanjian Baru, penaklikan independen hasil-hasilnya, dan pembandingan pandangan-pandangan yang terperagakan dengan panda­ngan-pandangan yang dirumuskan oleh Konsili Nikea dan Konsili Trento—harus diselesaikan secara menyeluruh dan mendalam. Bahwa suatu tekanan keadaan akan membuat suatu badan kependetaan melakukan tugas semacam itu, ini memang diragukan. Tapi hampir tak diragukan bahwa itu akan dieksekusi oleh para sarjana. Tak butuh banyak pengetahuan tentang literatur patristik untuk menyadari bahwa menjelang awal abad 3, benih-benih Kristen dogmatis, sebagaimana kini dianggap eksis, sudah mulai berkecambah. Kurang pasti, tapi tetap sangat probabel, bahwa dari penggulingan kedua dan terakhir Romawi terha­dap politi Yahudi, pasca pemberontakan Simon bar Kokhba, kita harus menelusuri hilangnya Kristen apostolik Petrus, James, dan evangelis kesatu dan kedua, dan terkonsolidasi­nya bentuk Kristen non-Yahudi yang pertama kali diotorisasi oleh Petrus dan oleh Konsili di Yerusalem, dan kemudian dimodifikasi dan disebarkan dengan energi sedemikian kuat oleh Paulus. Kita tidak berniat memasuki persoalan literer yaitu penulisan Mishna dan penyusunan Injil keempat semasa periode rekonstruksi kelompok dan kredo ini; terlebih lagi kita tidak berniat memasuki persoalan jelas dan sangat menarik berupa derajat dan sifat otoritas yang diklaim oleh Paulus, dan bukti-bukti yang dia kemukakan untuk klaim yang dia buat. Harus dilakukan sebuah penyelidikan yang menuntut perhatian kita sebelum poin-poin tersebut di atas. Seberapa jauh doktrin Paulus, yang dapat dihimpun dari Surat-suratnya dan khotbah-khotbahnya (dua-duanya diang­gap diterangkan oleh perilaku pribadinya dan digambarkan oleh hukum-hukum dan ekspresi-ekspresi kebiasaan saudara sebangsa dan sezamannya), bersesuaian dengan Kristen Nikea atau Trento? Harus diakui bahwa persoalan ini jarang, jika pernah, dinyatakan secara jelas. Penyelidikan kritis yang menying­gung subjek ini utamanya bersifat lisan. Proses pembandi­ngannya begini. Yang anu adalah dogma Kristen. Ekspresi anu dan anu mungkin memiliki makna yang sesuai dengan dogma tersebut; berarti itu diajarkan oleh Paulus. Metode penyelidikan sejati adalah: Pernyataan anu dan anu yang dibuat oleh Paulus pasti menyampaikan makna anu dan anu kepada para pendengar Yahudi-nya. Apakah makna tersebut cocok dengan dogma yang kemudian disangkutpautkan dengan pernyataan itu? Di antara dua metode ini ada banyak perbedaan yang memisahkan seni seorang pengusung dari riset seorang filsuf. Persoalan pokok terkait karakter esensial ajaran Paulus bersangkutpaut dengan konsepsi fitrah Mesias yang dia bentuk. Tidak ada keraguan bahwa, pada saat kunjungannya ke Damaskus, pendapat Paulus mengalami perubahan total berkenaan dengan klaim-klaim Yesus atas gelar ini. Terkait itu, kami sudah mengulangi kesaksian dari bibir dan pena-nya sendiri. Tapi dia sama sekali tidak memberikan isyarat sekecil apapun bahwa opini yang dia bentuk (sebagai seorang Farisi yang sangat terpelajar) tentang fitrah Mesias yang di­nantikan telah mengalami perubahan apapun. Menurut kata-katanya, pandangannya berubah hanya terkait persoalan personal. Apa yang kemudian menjadi ciri utama ajarannya, yang dia sebut skandal salib—yakni masuknya orang-orang non-Yahudi ke dalam harapan kehidupan abadi tanpa menja­lani ritus proselitisme—juga tak ada kaitan dengan persoalan yang kita angkat. Bahwa Yesus adalah Mesias, dan bahwa ini dibuktikan oleh kebangkitannya, Paulus sependapat dengan Kedua Belas Rasul. Juga sependapat dengan mereka, setelah lebih dari 14 tahun bekerja independen, dia mengakui bahwa keliru mengajari “orang-orang Yahudi di tengah-tengah non-Yahudi” (belum lagi orang-orang Yahudi di Tanah Suci) “untuk meninggalkan Musa”. Tapi meski di setiap tempat yang diinjaknya Paulus membangkitkan amarah paling sengit dari kaum Yahudi dengan kemurahannya terhadap para pengikut non-Yahudi-nya, tak ada satupun ungkapan dalam seisi Perjanjian Baru yang mengindikasikan bahwa doktrin yang dia ajarkan terkait fitrah esensial Mesias adalah menjengkelkan bagi ortodoksi Yahudi yang ketat. Hampir tak rasional untuk menyangka bahwa andai dia tidak hanya menyatakan Yesus dari Nazareth adalah Mesias (pernyataan yang banyak Yahudi percayai, dan yang banyak orang ragu­kan), tapi lebih lanjut menisbatkan kepadanya fitrah intim sebuah karakter yang lebih luhur daripada yang bisa dianggap sah oleh setiap orang Yahudi untuk dikemukakan, tak bakal ada keberatan terhadap perilakunya dalam hal ini; atau bahwa, jika ada keberatan, itu bakal diabaikan dalam diam oleh penulis biografinya, oleh musuh-musuhnya, dan oleh dia sendiri. Kristen Latin, dan bahkan teologi Arya secara umum, biasa menganggap ungkapan yang begitu sering terdapat dalam Alkitab dan juga Talmud, yaitu ungkapan “Putera Tuhan”, seolah-olah setara dengan formula belakangan, “Tuhan Putera”. Ini sangat keliru, jika bisa disebut kekeliruan. Pernyataan ini sangat jahat, jika dibuat secara sengaja. Frasa pertama (“Putera Tuhan”) sangat konsisten dengan keyaki­nan monoteistik, yang dipegang, dan yang satu-satunya dianggap masuk akal, oleh ras Semitik yang kepadanya umat manusia berutang atas awal-mula monoteisme, setidaknya di Dunia Lama. Tidak ada keraguan terkait arti ekspresi ini sebagaimana digunakan, dan hanya dimengerti, oleh para penutur dan pendengar Yahudi. Bahasa kitab-kitab kenabian bersifat tegas pada poin ini. Itu selaras dengan bahasa Talmud. Tak hanya itu, tapi juga ide yang diimplikasikan oleh frasa tersebut terkandung dalam Hukum dan ditahbiskan oleh ritual kaum Yahudi. Kaum Yahudi meyakini dengan kukuh bahwa mereka ber­ada dalam relasi khusus dengan Pencipta. Ekspresi-ekspresi yang biasa digunakan oleh para teolog Kristen terkait bangsa kuno Tuhan memiliki makna fisik dan genealogis nyata bagi kaum Yahudi. Kaum Yahudi meyakini, ke dalam bapak per­tama ras Yahudi sajalah, di antara berbagai nenek-moyang bangsa-bangsa dan keluarga-keluarga umat manusia yang berlainan, Tuhan meniupkan nafas kehidupan, sehingga orang tersebut menjadi jiwa yang hidup. Jadi, di luar dan di atas vitalitas yang sama-sama dimiliki oleh suku-suku pagan dan berbagai spesies kerajaan hewan, putera-putera Adam, Nuh, dan Abraham memiliki sesuatu semacam fitrah Ilahi. Ini bukan sebuah doktrin ekstrim, yang dipegang oleh segelintir pemimpi di kalangan doktor Mishnik belakangan. Ini adalah elemen nyata dari keyakinan Yahudi, sama tuanya setidaknya dengan penentuan ibadah-ibadah ritual yang terkait dengan penguburan.
Judul asli : The Central Ideas of Semitic and of Aryan Faith<i=1YkjQmnjhaH6iaO-tYwmoC4VoZHu2qBlN 389KB>The Central Ideas of Semitic and of Aryan Faith
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Dogma Kristen: Antara Akidah Semit dan Arya

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)