Demonstrasi gamblang akan retakan mendalam ini, yang memisahkan kita orang Eropa dan orang Yahudi, disampaikan bukan untuk membiarkan prasangka keagamaan beserta bias berbahayanya menyelesaikan masalah, tapi karena aku berpikir bahwa persepsi dua fitrah yang begitu berbeda secara fundamental mengungkap sebuah jurang yang nyata.
“Mari kita lupakan dari mana kita berasal. Jangan ada lagi omongan soal orang-orang Yahudi ‘Jerman’ atau ‘Portugis’. Meski tersebar di bumi, kita tetap satu bangsa.” — Rabbi Salomon Lipmann-Cerfberr dalam pidato pembukaan yang disampaikan pada 26 Juli 1806 di pertemuan persiapan untuk Synedrium 1807 yang Napoleon selenggarakan.
Persoalan Yahudi
Seandainya aku menulis seratus tahun lalu, aku bakal tidak merasa terpaksa di titik ini untuk mencurahkan satu bab khusus mengenai masuknya kaum Yahudi ke dalam sejarah Barat. Tentu saja andil mereka dalam kenaikan Kristen, lantaran semangat khas dan non-Arya yang mereka tanamkan ke dalamnya, bakal sudah layak mendapat perhatian penuh kita, selain juga peran ekonomi yang mereka mainkan di semua negara Kristen; tapi penyinggungan sesekali hal-hal ini bakal mencukupi; apapun lebih dari itu bakal tak ada gunanya. Herder menulis pada waktu itu: “Sejarah Yahudi menempati lebih banyak ruang dalam sejarah kita dan lebih banyak perhatian daripada yang layak didapatnya.” Akan tetapi, sementara itu, sebuah perubahan besar telah terjadi; kaum Yahudi memainkan di Eropa, dan di manapun pengaruh Eropa menjangkau, sebuah peran berbeda hari ini daripada peran yang mereka mainkan seratus tahun silam; seperti ungkapan Viktor Hehn, kita hidup hari ini di “zaman Yahudi”; kita boleh berpikir sesuka kita tentang sejarah masa lalu kaum Yahudi, [tapi] sejarah masa kini mereka memang menempati begitu banyak ruang dalam sejarah kita sehingga kita tidak mungkin bisa menolak memperhatikan mereka. Herder, terlepas dari humanisme blak-blakannya, menyampaikan opini bahwa “kaum Yahudi, di Eropa, adalah dan masih merupakan bangsa Asiatik yang asing bagi wilayah kita, mereka terikat pada hukum lama itu yang mereka terima di sebuah iklim jauh, dan yang, menurut pengakuan mereka sendiri, tidak bisa mereka singkirkan.” Sungguh tepat. Tapi bangsa asing ini, yang senantiasa asing lantaran—sebagaimana Herder katakan dengan apik—terikat tak terluruhkan kepada sebuah hukum asing yang memusuhi semua bangsa lain, bangsa asing ini telah menjadi, persis dalam perjalanan abad 19, sebuah konstituen hidup kita yang penting secara tak proporsional dan betul-betul dominan dalam banyak bidang. Bahkan seratus tahun lalu saksi yang sama terpaksa dengan sedih mengakui “bangsa-bangsa primitif Eropa” adalah “budak-budak sukarela riba Yahudi”; hari ini dia bisa mengatakan hal yang sama untuk wilayah terbesar dari dunia beradab itu. Namun, kepemilikan uang itu sendiri paling kurang penting; pemerintah kita, hukum kita, sains kita, perdagangan kita, sastra kita...praktisnya semua cabang kehidupan kita telah menjadi budak-budak kaum Yahudi secara kurang-lebih sukarela, dan menyeret belenggu feodal, jika tidak di kedua kaki, sekurangnya di satu kaki. Sementara itu, elemen “asing” yang ditekankan oleh Herder menjadi semakin menonjol; seratus tahun lalu itu dirasakan secara agak kabur dan samar; kini itu telah menegaskan diri dan membuktikan diri, dan karenanya mendesakkan diri kepada perhatian orang paling tak perhatian sekalipun. Orang Indo-Eropa, tergerak oleh motif-motif ideal, membuka gerbang-gerbang dalam [semangat] persahabatan; orang Yahudi menghambur masuk seperti musuh, menyerbu semua posisi dan menanamkan benderanya yang asing bagi kita—aku tidak akan bilang di atas puing-puing, tapi di atas retak-retak individualitas tulen kita. Untuk alasan tersebut, apakah kita hendak mencaci-maki kaum Yahudi? Itu hina, selain tak layak dan tak ada gunanya. Kaum Yahudi pantas dikagumi, sebab mereka sudah bertindak dengan konsistensi absolut menurut logika dan kebenaran individualitas mereka sendiri, dan tak pernah sekejap pun mereka membiarkan diri mereka melupakan kesakralan hukum-hukum fisik gara-gara angan-angan humanis konyol, yang mereka ikut peluk hanya ketika kebijakan demikian menguntungkan mereka. Pertimbangkan betapa mahirnya mereka menggunakan hukum darah untuk memperluas kekuasaan mereka: turunan utama tetap tak bernoda, tak setetes pun darah asing masuk; sebagaimana tercantum dalam Taurat, “Seorang anak haram janganlah masuk jemaah TUHAN, bahkan keturunannya yang kesepuluhpun tidak boleh masuk jemaah TUHAN.” (Ulangan xxiii:2) Namun, sementara itu, ribuan cabang samping dipangkas dan dipergunakan untuk menjangkiti orang-orang Indo-Eropa dengan darah Yahudi. Jika itu berlangsung beberapa abad, di Eropa hanya akan ada satu kaum ras murni, yakni, kaum Yahudi, sisanya akan berupa sekawanan mestizo pseudo-Ibrani, sebuah kaum yang tak diragukan lagi merosot secara fisik, mental, dan moral. Sebab sahabat besar kaum Yahudi sekalipun, Ernest Renan, mengakui, “Aku harus akui bahwa ras Semitik, dibandingkan dengan ras Indo-Eropa, betul-betul merepresentasikan kombinasi inferior fitrah manusia.” Dan dalam salah satu tulisan terbaiknya, tapi sayangnya kurang dikenal, dia mengatakan lagi, “Kesederhanaan menjijikkan dari akal Semitik menciutkan otak manusia, menutupnya terhadap semua ide peka, terhadap semua perasaan halus, terhadap semua penelitian rasional, untuk memperhadapkannya dengan sebuah tautologi abadi: Tuhan adalah Tuhan,” dan dia mendemonstrasikan bahwa kebudayaan akan tak punya masa depan kecuali jika agama Kristen bergerak menjauhi semangat Yudaisme, dan “kejeniusan Indo-Eropa” semakin menegaskan diri di setiap bidang. Maka percampuran tersebut tak diragukan lagi menandakan kemerosotan: kemerosotan orang Yahudi, yang karakternya sangat terlalu asing, kokoh, dan kuat sehingga tidak bisa dipercepat dan dipermuliakan oleh darah Teutonik, kemerosotan orang Eropa yang sudah sewajarnya hanya bisa kalah dengan berkawin silang dengan sebuah “tipe inferior”—atau, aku lebih suka mengatakannya, dengan tipe yang begitu berbeda. Selagi percampuran berlangsung, turunan besar utama dari kaum Yahudi yang murni dan tak tercampur tetap tidak terlemahkan. Ketika Napoleon, di awal abad 19, tidak puas bahwa kaum Yahudi, terlepas dari emansipasi mereka, tetap berada dalam keterasingan bangga, dan marah terhadap mereka lantaran terus melahap seluruh Alsace miliknya dengan riba mereka yang memalukan, padahal setiap karir kini terbuka untuk mereka, ketika Napoleon mengirim sebuah ultimatum ke dewan sesepuh mereka untuk menuntut peleburan terang-terangan kaum Yahudi dengan anggota masyarakat lainnya di negeri itu, para delegasi Yahudi Prancis mengadopsi semua pasal yang ditentukan kecuali satu, yaitu yang mengarah pada kebebasan absolut perkawinan dengan orang Kristen. Anak-anak perempuan mereka boleh menikah dengan orang-orang di luar bani Israel, tapi tidak anak-anak laki-laki mereka; sang diktator Eropa terpaksa mengalah. Ini adalah hukum mengagumkan yang dengannya Yudaisme riil didirikan. Bahkan, hukum ini, dalam bentuk paling ketatnya, melarang perkawinan sama sekali antara orang Yahudi dan non-Yahudi; dalam Ulangan vii:3 kita membaca, “Anak perempuanmu janganlah kau berikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anak laki-lakimu”; tapi, lazimnya, penekanan hanya diberikan pada klausa terakhir; sebagai contoh, dalam Keluaran xxxiv:16, anak laki-laki dilarang mengambil anak perempuan asing, bukan anak perempuan dilarang mengambil anak laki-laki asing, dan dalam Nehemia xiii, setelah kedua sisi dilarang kawin dengan orang di luar ras, hanya perkawinan seorang anak laki-laki dengan isteri asing yang dideskripsikan sebagai “dosa terhadap Tuhan”. Itu juga adalah pandangan yang betul-betul tepat. Melalui perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang Goya, kemurnian turunan Yahudi tidak berubah sama sekali, sementara turunan ini dengan cara itu mendapatkan pijakan di kemah asing; di sisi lain, perkawinan seorang anak laki-laki dengan seorang Goya “membuat benih suci jadi bercampur”, sebagaimana dinyatakan secara drastis dalam kitab Ezra ix:2. Kemungkinan konversi si Goya ke dalam Yudaisme tidak akan membantu urusan; ide konversi semacam itu sudah sepantasnya sungguh asing bagi hukum lama, sebab ini adalah persoalan syarat-syarat fisik nasab, tapi hukum baru mengatakan, dengan ketajaman yang patut ditiru: “Para proselit/mualaf sama-sama melukai bagi Yudaisme seperti bisul bagi tubuh yang sehat.” Dengan begitu ras Yahudi tetap murni di masa lalu dan masih tetap demikian sekarang; anak-anak perempuan wangsa Rotschild menikahi para baron, count, duke, pangeran, mereka tunduk pada pembaptisan tanpa keberatan; tak seorangpun anak laki-laki pernah menikahi seorang Eropa; jika dia sampai menikah, dia akan harus meninggalkan wangsa ayahnya dan komunitas kaumnya.Judul asli | : | The Jewish Question, The “Alien People”<i=186SFvF2w7iG_mB81MoRWimE1_CV1OWVN 519KB>The Jewish Question, The “Alien People” (1899) |
Pengarang | : | Houston Stewart Chamberlain |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2024 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |