Dia mengisahkan, dalam gulungan pertama koleksinya, cerita paling masyhur tentang penciptaan manusia oleh Tuhan antropomorfik, dan tentang pembangkangan dan kejatuhan manusia tersebut, yang pernah terbayangkan oleh imajinasi manusia—cerita Adam dan Hawa di Taman Eden.
Dengan mata terbelalak anak-anak mendengarkan Valentina, pengasuh Meksiko mereka yang berumur 14 tahun.
“Dan tidak ada manusia sama sekali di dunia pada saat itu; dan Tuhan, dia berkata, ‘Aku buat beberapa manusia agar berdoa kepadaku!’ Jadi dia menggali banyak tanah bagus dan bersih, dan dia pergi ke arroyo dan mengambil seember air; dan dia mencampur tanah dan air, dan dia membuat beberapa manusia, seperti kalian membuat pai lumpur. Dia menaruh manusia-manusia dalam oven untuk dipanggang, dan yang kesatu tidak menjadi cukup cokelat, dan itu si kulit putih; dan yang kedua, dia panggang dengan pas, dan dia si Meksiko. Tapi Tuhan, dia lupa mengeluarkan yang terakhir sampai orang itu terbakar hitam, dan dia si nigger!” Dia berhenti sejenak dengan dramatis.
“Dan kemudian apa yang Tuhan lakukan?” tanya anak laki-laki yang menginginkan kosmogoni lengkap. Tapi Valentina sudah melihatku, dan dia terlalu malu untuk meneruskan.
“Siapa yang menceritakan itu padamu, Valentina?” tanyaku.
“Tak ada,” jawabnya. “Aku cuma membuatnya untukku sendiri.”
Jadi, sejak mulai ada manusia-manusia di muka bumi, anak-anak lelaki dan perempuan dan pria dan wanita sudah membuat untuk mereka sendiri cerita-cerita bagaimana spesies mereka dimulai, dan mengapa spesies itu mencintai dan membenci dan menderita dan mati. Dalam cerita-cerita ini, meskipun banyak dari mereka grotes dan rancu, kita menjumpai gejolak rasa penasaran canggung dan kekanakan pertama perihal mengapa, dari mana, dan ke mana semesta; rasa penasaran yang telah memberi dunia semua agama, semua filsafat, dan semua pengetahuan ilmiah yang dimilikinya hari ini. Pada abad 8 atau 9 SM, seorang Ibrani tanpa nama yang memiliki bakat bercerita Timur dalam kadar tiada tanding menuliskan sekumpulan besar legenda-legenda kaumnya, yang diwariskan dari mulut ke mulut sepanjang bergenerasi-generasi. Keahliannya dalam melukis kata telah membuat masyhur ke seluruh dunia Yahudi dan Kristen, dan ke dunia Islam juga, nama-nama Nuh dan putera-puteranya, Shem, Ham, dan Yafit, yang untuk mereka Tuhan menutup pintu Bahtera dengan tangan bersahabat; nama-nama Abraham dan Sarah, yang menjamu Tuhan di kemah mereka dan menertawakan-Nya ketika Dia menjanjikan mereka seorang putera di usia senja mereka; nama Yakub, yang merampas hak kelahiran Esau, bekerja selama tujuh tahun karena cintanya kepada Rahel, dan bergulat dengan Tuhan daging dan darah di Peniel. Seorang sinis berkata, “Tuhan menciptakan manusia dalam citra-Nya sendiri, dan manusia melakukan persis itu tentang Tuhan.” Juru tulis Ibrani dengan kejeniusan luar biasa ini menjadikan Tuhan seorang ilah yang sangat insani, seorang manusia berderajat pahlawan, yang ramah ketika kemauannya dipenuhi, yang marah ketika dihalangi, yang bermurah hati ketika amarahnya sudah habis. Dan dia mengisahkan, dalam gulungan pertama koleksinya, cerita paling masyhur tentang penciptaan manusia oleh Tuhan antropomorfik, dan tentang pembangkangan dan kejatuhan manusia tersebut, yang pernah terbayangkan oleh imajinasi manusia—cerita Adam dan Hawa di Taman Eden, yang disalin ke dalam pasal dua dan tiga Kitab Kejadian oleh nabi-nabi Ibrani abad 5 SM, ketika mereka menyusun sejarah keagamaan kaum mereka yang umat Kristiani namakan Perjanjian Lama. Ada gunanya membaca kembali cerita itu, meskipun poin-poin utamanya familiar, dan kemudian membacanya lagi lebih seksama; sebab sebelum Charles Darwin pada 1859 memaksa dunia berpikir untuk mempertimbangkan teori evolusinya, dua pertiga umat manusia menerima itu sebagai keterangan wahyu ilahi tentang asal-usul manusia, terlepas dari fakta bahwa itu berkontradiksi dengan keterangan yang diberikan dalam pasal satu Kitab Kejadian. Alasan kontradiksi ini sudah dibuat terang oleh investigasi para cendekiawan selama 60 tahun terakhir; yaitu bahwa penyusun Kitab Kejadian merangkai dua dokumen, yang satu adalah rekaman si pencerita brilian, dan satu lagi ditulis oleh seorang imam ketat seabad kemudian. Si imam, yang terpelajar dalam filsafat Babilonia dan tersentuh oleh penampakan Tuhan berupa Roh, menulis keterangan penciptaan yang berat dan luhur yang dimuat dalam pasal satu; sang penyusun, tergoda oleh pesona si pencerita, menambahkan padanya, tanpa menyadari ketidakselarasannya, kisah naif Adam dan Hawa dan Tuhan antropomorfik mereka. Kisah itu pasti berkembang, sebagaimana semua folklor berkembang, dari usaha-usaha kekanakan pertama sebuah kaum primitif untuk menjelaskan misteri hidup dan mati. Manusia eksis; ketika dia mati tubuhnya menjadi debu; oleh karenanya seorang makhluk yang lebih besar darinya pasti telah membuatnya dari tanah di awal. Makhluk itu, raja langit dan bumi, manusia namakan Tuhan. Seorang pria dan seorang wanita saling tertarik secara misterius dan penuh gairah, dengan keinginan yang terpuaskan hanya ketika mereka menjadi satu daging; itu pasti karena mereka berdua tadinya satu tubuh, dan si wanita, karena lebih kecil dan lebih lemah, pasti dibuat dari daging dan tulang si pria. Manusia bersusah-payah dan berdosa, menderita dan mati; tentu Tuhan yang baik tidak mungkin merencanakan ini; seorang manusia pasti telah membangkang Tuhan, dan patut mendapat hukuman. Wanita tunduk pada pria, dan mengandung anak-anaknya dalam nestapa; maka apakah dosanya lebih besar daripada dosa pria? Tradisi berupa manusia pertama yang terbuat dari tanah liat dan diberi nyawa oleh nafas Tuhan dijumpai dalam folklor di seluruh dunia; dan kepercayaan pada penciptaan wanita dari tulang rusuk pria tersebar luas di Polinesia. Orang-orang Indian Lengua Paraguay mengatakan pria dan wanita mulanya tersambung, tapi mereka berdua mendapati eksistensi tersambung itu begitu ribet sehingga meminta pencipta mereka untuk memisahkan mereka. Ketika dia mengabulkan permintaan mereka, dia memberi mereka kemampuan untuk menyebarkan spesies mereka. Ada sebuah legenda Persia serupa; dan Plato, dalam Symposium-nya, menyampaikan keterangan fantastis tentang seorang pria-wanita awal, dengan dua kaki, empat lengan, dan empat kaki, yang Jove belah di tengah-tengah, sehingga menghasilkan dua jenis kelamin. Philo, seorang teolog besar Yahudi di masa Kristus, membubuhkan ide Plato ini dalam tafsir-tafsirnya terhadap Kitab Kejadian. Hawa, kata dia, merepresentasikan paruh inderawi atau perseptif fitrah Adam; Adam, paruh penalar; dan ular melambangkan kenikmatan sensual, yang merupakan sumber semua dosa. Ular tidak menyerang Adam secara langsung, tapi mendekatinya melalui Hawa, sebab inderalah yang mengalah pada ikatan kenikmatan, dan pada gilirannya menahan nalar, dan menghancurkan kebajikan abadinya. Origenes dan Klemens membawa penafsiran ini ke dalam teologi Kristen, walaupun mereka sadar itu sama sekali tidak pas dengan doktrin kebaikan status menikah. Pertanyaan yang diangkat oleh Agustinus perihal apakah jiwa Hawa diambil dari Adam, atau ditanamkan langsung oleh Tuhan ketika Dia menciptakannya dari tulang rusuk Adam, merupakan inti salah satu kontroversi besar di gereja awal.
Jadi, sejak mulai ada manusia-manusia di muka bumi, anak-anak lelaki dan perempuan dan pria dan wanita sudah membuat untuk mereka sendiri cerita-cerita bagaimana spesies mereka dimulai, dan mengapa spesies itu mencintai dan membenci dan menderita dan mati. Dalam cerita-cerita ini, meskipun banyak dari mereka grotes dan rancu, kita menjumpai gejolak rasa penasaran canggung dan kekanakan pertama perihal mengapa, dari mana, dan ke mana semesta; rasa penasaran yang telah memberi dunia semua agama, semua filsafat, dan semua pengetahuan ilmiah yang dimilikinya hari ini. Pada abad 8 atau 9 SM, seorang Ibrani tanpa nama yang memiliki bakat bercerita Timur dalam kadar tiada tanding menuliskan sekumpulan besar legenda-legenda kaumnya, yang diwariskan dari mulut ke mulut sepanjang bergenerasi-generasi. Keahliannya dalam melukis kata telah membuat masyhur ke seluruh dunia Yahudi dan Kristen, dan ke dunia Islam juga, nama-nama Nuh dan putera-puteranya, Shem, Ham, dan Yafit, yang untuk mereka Tuhan menutup pintu Bahtera dengan tangan bersahabat; nama-nama Abraham dan Sarah, yang menjamu Tuhan di kemah mereka dan menertawakan-Nya ketika Dia menjanjikan mereka seorang putera di usia senja mereka; nama Yakub, yang merampas hak kelahiran Esau, bekerja selama tujuh tahun karena cintanya kepada Rahel, dan bergulat dengan Tuhan daging dan darah di Peniel. Seorang sinis berkata, “Tuhan menciptakan manusia dalam citra-Nya sendiri, dan manusia melakukan persis itu tentang Tuhan.” Juru tulis Ibrani dengan kejeniusan luar biasa ini menjadikan Tuhan seorang ilah yang sangat insani, seorang manusia berderajat pahlawan, yang ramah ketika kemauannya dipenuhi, yang marah ketika dihalangi, yang bermurah hati ketika amarahnya sudah habis. Dan dia mengisahkan, dalam gulungan pertama koleksinya, cerita paling masyhur tentang penciptaan manusia oleh Tuhan antropomorfik, dan tentang pembangkangan dan kejatuhan manusia tersebut, yang pernah terbayangkan oleh imajinasi manusia—cerita Adam dan Hawa di Taman Eden, yang disalin ke dalam pasal dua dan tiga Kitab Kejadian oleh nabi-nabi Ibrani abad 5 SM, ketika mereka menyusun sejarah keagamaan kaum mereka yang umat Kristiani namakan Perjanjian Lama. Ada gunanya membaca kembali cerita itu, meskipun poin-poin utamanya familiar, dan kemudian membacanya lagi lebih seksama; sebab sebelum Charles Darwin pada 1859 memaksa dunia berpikir untuk mempertimbangkan teori evolusinya, dua pertiga umat manusia menerima itu sebagai keterangan wahyu ilahi tentang asal-usul manusia, terlepas dari fakta bahwa itu berkontradiksi dengan keterangan yang diberikan dalam pasal satu Kitab Kejadian. Alasan kontradiksi ini sudah dibuat terang oleh investigasi para cendekiawan selama 60 tahun terakhir; yaitu bahwa penyusun Kitab Kejadian merangkai dua dokumen, yang satu adalah rekaman si pencerita brilian, dan satu lagi ditulis oleh seorang imam ketat seabad kemudian. Si imam, yang terpelajar dalam filsafat Babilonia dan tersentuh oleh penampakan Tuhan berupa Roh, menulis keterangan penciptaan yang berat dan luhur yang dimuat dalam pasal satu; sang penyusun, tergoda oleh pesona si pencerita, menambahkan padanya, tanpa menyadari ketidakselarasannya, kisah naif Adam dan Hawa dan Tuhan antropomorfik mereka. Kisah itu pasti berkembang, sebagaimana semua folklor berkembang, dari usaha-usaha kekanakan pertama sebuah kaum primitif untuk menjelaskan misteri hidup dan mati. Manusia eksis; ketika dia mati tubuhnya menjadi debu; oleh karenanya seorang makhluk yang lebih besar darinya pasti telah membuatnya dari tanah di awal. Makhluk itu, raja langit dan bumi, manusia namakan Tuhan. Seorang pria dan seorang wanita saling tertarik secara misterius dan penuh gairah, dengan keinginan yang terpuaskan hanya ketika mereka menjadi satu daging; itu pasti karena mereka berdua tadinya satu tubuh, dan si wanita, karena lebih kecil dan lebih lemah, pasti dibuat dari daging dan tulang si pria. Manusia bersusah-payah dan berdosa, menderita dan mati; tentu Tuhan yang baik tidak mungkin merencanakan ini; seorang manusia pasti telah membangkang Tuhan, dan patut mendapat hukuman. Wanita tunduk pada pria, dan mengandung anak-anaknya dalam nestapa; maka apakah dosanya lebih besar daripada dosa pria? Tradisi berupa manusia pertama yang terbuat dari tanah liat dan diberi nyawa oleh nafas Tuhan dijumpai dalam folklor di seluruh dunia; dan kepercayaan pada penciptaan wanita dari tulang rusuk pria tersebar luas di Polinesia. Orang-orang Indian Lengua Paraguay mengatakan pria dan wanita mulanya tersambung, tapi mereka berdua mendapati eksistensi tersambung itu begitu ribet sehingga meminta pencipta mereka untuk memisahkan mereka. Ketika dia mengabulkan permintaan mereka, dia memberi mereka kemampuan untuk menyebarkan spesies mereka. Ada sebuah legenda Persia serupa; dan Plato, dalam Symposium-nya, menyampaikan keterangan fantastis tentang seorang pria-wanita awal, dengan dua kaki, empat lengan, dan empat kaki, yang Jove belah di tengah-tengah, sehingga menghasilkan dua jenis kelamin. Philo, seorang teolog besar Yahudi di masa Kristus, membubuhkan ide Plato ini dalam tafsir-tafsirnya terhadap Kitab Kejadian. Hawa, kata dia, merepresentasikan paruh inderawi atau perseptif fitrah Adam; Adam, paruh penalar; dan ular melambangkan kenikmatan sensual, yang merupakan sumber semua dosa. Ular tidak menyerang Adam secara langsung, tapi mendekatinya melalui Hawa, sebab inderalah yang mengalah pada ikatan kenikmatan, dan pada gilirannya menahan nalar, dan menghancurkan kebajikan abadinya. Origenes dan Klemens membawa penafsiran ini ke dalam teologi Kristen, walaupun mereka sadar itu sama sekali tidak pas dengan doktrin kebaikan status menikah. Pertanyaan yang diangkat oleh Agustinus perihal apakah jiwa Hawa diambil dari Adam, atau ditanamkan langsung oleh Tuhan ketika Dia menciptakannya dari tulang rusuk Adam, merupakan inti salah satu kontroversi besar di gereja awal.
Judul asli | : | Concerning Adam and Eve<i=1PBrBIOe-dmj9xx_gVy1Sc3qtQk4LCMSL 274KB>Concerning Adam and Eve (1920) |
Pengarang | : | Anna Branson Hillyard |
Penerbit | : | Relift Media, Juli 2024 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |