Skip to content
Maya dan Evolusi Konsepsi Tuhan – Relift Media

Maya dan Evolusi Konsepsi Tuhan Bacaan non-fiksi religi

author _Swami Vivekananda_; date _1896_ genre _Religi_; category _Lektur_; type _Nonfiksi_ Kita dilahirkan di Maya ini, kita hidup di dalamnya, kita berpikir di dalamnya, kita bermimpi di dalamnya. Kita adalah filsuf di dalamnya, kita adalah manusia spiritual di dalamnya, bahkan kita adalah iblis-iblis di Maya ini, dan kita adalah dewa-dewa di Maya ini. Kita sudah simak bagaimana ide Maya, yang merupa­kan salah satu doktrin dasar Advaita Vedanta, dalam bentuk awalnya dijumpai bahkan dalam Samhita-sam­hita, dan bahwa pada kenyataannya semua ide yang dikem­bangkan dalam Upanishad-upanishad akan sudah dijumpai dalam Samhita-samhita dalam suatu bentuk. Kebanyakan dari kalian saat ini sudah familiar dengan ide Maya dan tahu bahwa itu terkadang dijelaskan secara keliru sebagai ilusi, sehingga ketika semesta dikatakan Maya, itu juga harus dije­laskan sebagai ilusi. Terjemahan kata itu tidak tepat ataupun tidak benar. Maya bukan sebuah teori; ia sederhananya se­buah pernyataan fakta-fakta tentang semesta sebagaimana adanya, dan untuk memahami Maya kita harus kembali ke Samhita-samhita dan memulai dari konsepsi dalam bentuk awalnya. Kita sudah simak bagaimana ide Dewa-dewa muncul. Di saat yang sama kita tahu Dewa-dewa ini mulanya hanya makhluk-makhluk kuat, tidak lebih. Kebanyakan dari kalian ngeri saat membaca kitab-kitab suci tua, entah dari bangsa Yunani, bangsa Ibrani, bangsa Persia, atau lain-lain, dan mendapati dewa-dewa kuno kadang berbuat hal-hal yang menurut kita sangat menjijikkan. Tapi ketika kita membaca kitab-kitab ini, kita sama sekali lupa bahwa kita adalah orang-orang abad 19, dan dewa-dewa ini adalah makhluk-makhluk yang eksis beribu-ribu tahun lampau. Kita juga lupa bahwa kaum yang menyembah dewa-dewa ini tidak merasakan se­suatu yang janggal dalam karakter mereka, tidak merasakan sesuatu yang menakutkan, karena mereka sangat mirip dengan mereka sendiri. Aku dapat pula mengatakan bahwa itu satu pelajaran besar yang harus kita pelajari sepanjang hidup kita. Dalam menilai orang lain, kita selalu menilai mereka berdasarkan ideal kita sendiri. Dengan kata lain tidak sebagaimana adanya. Setiap orang harus dinilai menurut idealnya sendiri, dan bukan menurut ideal orang lain. Dalam urusan kita dengan sesama makhluk, kita terus-menerus bekerja di bawah kekeliruan ini, dan aku berpendapat seba­gian besar pertengkaran kita dengan satu sama lain timbul semata-mata karena satu sebab ini, yaitu bahwa kita selalu mencoba menilai dewa-dewa milik orang lain berdasarkan dewa-dewa kita sendiri, menilai ideal-ideal milik orang lain berdasarkan ideal-ideal kita, dan menilai motif-motif orang lain berdasarkan motif-motif kita. Dalam keadaan tertentu aku mungkin berbuat hal tertentu, dan saat kulihat seseorang mengambil jalan yang sama aku berpikir dia juga memiliki motif yang sama yang menggerakkannya, tak mengira bahwa kendati akibatnya mungkin sama, banyak sebab lain bisa saja menghasilkan hal yang sama. Dia bisa saja melakukan tin­dakan itu dengan motif berbeda dari motif yang mendorong­ku untuk melakukannya. Jadi, dalam menilai agama-agama kuno itu, kita tidak boleh mengambil sudutpandang yang kita sukai, tapi kita harus tempatkan diri kita dalam posisi pemikiran dan kehidupan zaman awal itu. Gambaran Jehovah kejam dan bengis dalam Perjanjian Lama telah menakutkan banyak orang—tapi mengapa? Apa hak mereka untuk beranggapan bahwa Jehovah-nya kaum Yahudi kuno harus merepresentasikan gambaran konven­sional Tuhan di masa kini? Dan di saat yang sama, kita tidak boleh lupa, akan datang manusia-manusia sesudah kita yang akan menertawakan ide-ide kita tentang agama dan Tuhan sebagaimana kita menertawakan ide-ide kaum kuno. Tapi, benang emas kesatuan menyelusuri semua konsepsi-kon­sepsi yang beragam ini, dan tujuan Vedanta-lah untuk me­nemukan benang ini. “Aku adalah benang yang menyelusuri semua ide beragam ini, yang masing-masingnya bagaikan mutiara,” kata Dewa Krishna; dan tugas Vedanta-lah untuk menegakkan benang penghubung ini, seberapapun janggal atau menjijikkan ide-ide ini ketika dinilai menurut konsepsi-konsepsi hari ini. Ide-ide ini, dalam setting masa lalu, selaras dan tidak lebih menyeramkan daripada ide-ide kita masa kini. Hanya ketika kita mencoba mengeluarkan mereka dari setting mereka dan menerapkannya pada keadaan kita saat ini, hanya ketika itulah keseraman menjadi kentara. Sebab lingkungan lama sudah mati dan tiada. Sebagaimana orang Yahudi kuno telah berkembang menjadi orang Yahudi teliti, modern, tajam, dan orang Arya kuno telah berkembang men­jadi orang Hindu/India intelektual, demikian pula Jehovah telah tumbuh dan Dewa-dewa telah tumbuh. Kekeliruan besar adalah mengenali evolusi para penyem­bah, sementara kita tidak mengakui evolusi Yang Disembah. Dia tidak dinisbati kemajuan yang dihasilkan oleh para pemuja-Nya. Dengan kata lain, aku dan kalian, sebagai representasi ide-ide, telah tumbuh; dewa-dewa ini, sebagai representasi ide-ide, juga telah tumbuh. Ini mungkin terasa agak aneh bagi kalian—bahwa Tuhan bisa tumbuh. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa berubah. Dalam pengertian yang sama seperti manusia riil tidak pernah tumbuh. Tapi ide-ide manu­sia tentang Tuhan terus-menerus berubah dan berkembang. Nanti kita akan simak bagaimana manusia riil di balik setiap manifestasi manusiawi ini tidak bisa bergerak, tidak bisa berubah, murni, dan selalu sempurna; dan demikian pula ide Tuhan yang kita bentuk adalah sekadar manifestasi, kreasi kita sendiri. Di belakang itu terdapat Tuhan riil yang tak pernah berubah, senantiasa murni, kekal. Tapi manifestasi selalu berubah, semakin mengungkap realitas di belakang. Ketika itu mengungkap lebih banyak fakta di belakang, itu dinamakan progresi; ketika itu menyembunyikan lebih banyak fakta di belakang, itu dinamakan retrogresi. Jadi, sebagaimana kita tumbuh, begitu pula para dewa tumbuh. Dari sudutpandang biasa, sebagaimana kita mengungkap diri kita seraya berevolusi, begitu pula para dewa mengung­kap diri mereka. Sekarang kita ada dalam posisi untuk memahami teori Maya. Di semua wilayah dunia, satu pertanyaan yang mereka usulkan untuk dibahas adalah ini: Mengapa ada disharmoni di alam semesta? Mengapa ada keburukan ini di alam semesta? Kita tidak menemukan pertanyaan ini dalam per­mulaan ide-ide keagamaan primitif, karena dunia tidak ter­lihat janggal bagi manusia primitif. Keadaan tidak tak har­monis baginya; tidak ada lontaran opini-opini; baginya tidak ada antagonisme kebaikan dan keburukan. Dalam hatinya hanya ada perasaan akan sesuatu yang mengatakan ya dan sesuatu yang mengatakan tidak. Manusia primitif adalah manusia impulsif. Dia melakukan apa yang terbersit dalam kepalanya, dan mencoba mengeluarkannya melalui otot-ototnya apapun pemikiran yang masuk ke dalam benaknya, dan dia tak pernah menyempatkan diri untuk menilai dan jarang mencoba mengontrol impuls-impulsnya. Begitu pula dengan dewa-dewa; mereka juga makhluk-makhluk impulsif. Indra datang dan meremukkan pasukan iblis. Jehovah senang pada satu orang dan tidak senang pada orang lain, untuk alasan yang tak seorangpun ketahui atau tanyakan. Kebiasaan menyelidiki belum timbul kala itu, dan apapun yang dia lakukan dianggap benar. Tidak ada ide kebaikan atau keburukan. Dewa-dewa melakukan banyak hal durjana dalam pengertian kita; lagi dan lagi Indra dan dewa-dewa lain melakukan perbuatan yang sangat durjana, tapi bagi para penyembah Indra, ide-ide kedurjanaan dan keburukan tidak terbersit dalam kepala mereka, jadi mereka tidak memperta­nyakannya. Bersama kemajuan ide-ide etika, datang pergulatan. Muncul perasaan tertentu dalam diri manusia, yang diberi nama berbeda-beda dalam bahasa dan bangsa berbeda-beda. Sebut saja itu suara Tuhan, atau buah pendidikan lampau, atau apapun yang kalian suka, tapi efeknya adalah: itu memi­liki daya kontrol terhadap impuls-impuls alami manusia. Ada satu impuls dalam pikiran kita yang mengatakan, “lakukan”. Di belakangnya timbul satu suara lain yang mengatakan, “jangan lakukan”. Ada satu set ide dalam pikiran kita yang senantiasa meronta-ronta keluar melalui saluran-saluran pancaindera, dan di belakang itu, kendati mungkin tipis dan lemah, ada suara teramat kecil yang mengatakan, “jangan keluar”. Dua kata indah Sanskerta untuk fenomena-fenomena ini adalah Pravritti dan Nivritti, “berputar ke depan” dan “berputar ke dalam”. “Berputar ke depan”-lah yang biasanya mengatur tindakan-tindakan kita. Agama dimulai dengan “berputar ke dalam”. Agama dimulai dengan “jangan laku­kan”. Spiritualitas dimulai dengan “jangan lakukan”. Ketika “jangan lakukan” tidak ada, agama tidak dimulai. Dan “jangan lakukan” ini datang, menyebabkan ide-ide manusia tumbuh, terlepas dari adanya dewa-dewa perang yang tadi­nya mereka sembah.
Judul asli : Maya and the Evolution of Conception of God<i=1oV5UicWiG_lj1mFdcenX-o-DtNZGK3BA 549KB>Maya and the Evolution of Conception of God
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Maret 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Maya dan Evolusi Konsepsi Tuhan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)