Skip to content
Tidak Ada Kristologi dalam Alkitab Ibrani: Penjelasan Yahudi Terhadap Penafsiran Kristen Soal Tuhan dalam Ekspresi Plural – Relift Media

Tidak Ada Kristologi dalam Alkitab Ibrani: Penjelasan Yahudi Terhadap Penafsiran Kristen Soal Tuhan dalam Ekspresi Plural Bacaan non-fiksi religi

author _Isaac Mayer Wise_; date _1889_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Orang Kristen menghampiri petikan tersebut dengan prasangka trinitas, sehingga baginya “kita” ini menandakan Tuhan tritunggal. Akan tetapi, orang non-Kristen mengamati di dalam petikan tersebut semua kata kerja ditulis dalam bilangan tunggal. Kita mengasihi orang Kristen sebagai sesama kita dan mengasihi agama Kristen sebagai anak agama kita sendiri. Luka-luka masa lalu sudah lama kita lupakan, kebe­basan, keadilan, dan humanisme masa kini adalah “tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”, sebagaimana Hawa dari Adam, mempersatukan kembali dan mempersaudarakan elemen-elemen masyarakat yang bertentangan, “dan mereka akan menjadi satu daging”, satu tubuh organik, sehat dan waras. Terlepas dari semua itu, dan dengan kehendak terbaik untuk menyenangkan tetangga kita, kita tak bisa menemu­kan Kristologi dalam Alkitab, tak pula kita bisa meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah sebuah agama yang harmonis dengan prinsip-prinsip ilahi yang diakui oleh Yahudi dan non-Yahudi. Ini akan terdengar agak kasar, tapi benar bahwa: Seluruh Kristologi, yang dimuat dalam kitab-kitab teologi dogmatis, kredo dan katekismus khusus sekte-sekte Kristen, merupakan karya akal bulus manusia dan spekulasi skolastik, tanpa fondasi kokoh dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama. Adalah sebuah prinsip mapan di kalangan filsuf sejarah bahwa semua letusan keras fanatisme, yang begitu banyak di Kristendom, bukan efek-efek dari agama, yang tentu saja pasti bersifat lunak dan toleran; mereka adalah efek-efek dari kekeliruan dan penyimpangan, bengkakan-bengkakan dari agama—tak ada yang terlalu bagus bagi manusia untuk disa­lahgunakan—yang menghasilkan horor fanatisme terbakar. Tak kurang jelas bahwa kekejaman-kekejaman yang dilaku­kan di Kristendom atas nama agama, kekejaman orang Kris­ten terhadap sesama orang Kristen—ini paling banyak—ter­hadap orang Yahudi, Muslim, Indian Amerika, filsuf, kafir, skismatikus, dan sektarian, hingga pembunuhan para sese­puh Mormon dan penindasan orang Yahudi di Rusia dan Romania selalu bermula dari Kristologi yang segera dipa­hami di negara atau gereja ini atau itu. Ini, dulu dan masih, adalah pendorong, penghasut, bom dinamit, yang mengaki­batkan penghancuran. Oleh karenanya, secara logika rasanya tepat untuk berpendapat bahwa Kristologi bukanlah agama, itu adalah bengkakan agama, dan siapapun yang berkontri­busi sekecil apapun untuk mereformasi dan mengoreksinya sama dengan melakukan pekerjaan yang sangat berperike­manusiaan. Akan terasa aneh bahwa orang-orang cerdas me­nutup mata terhadap fakta-fakta ini, jika kita tidak mau tahu bagaimana penyogokan membutakan orang yang melihat, bagaimana kehati-hatian mengunci bibir orang bijak, bagai­mana diktum penyelamatan diri menyingkirkan semua per­timbangan lain, dan terutama bagaimana pengetahuan sub­jektif, seperti halnya imajinasi, memperbudak pemahaman jutaan orang. Namun, berkebalikan dengan orang bani Israel Ortodoks, seorang konversionis Kristen mempertahankan ini dan semua poin Kristologi lemah lainnya dengan argumen yang sangat nyaman, yaitu wahyu/pengungkapan supranatural, yang darinya tidak ada seruan kepada nalar. Tuhan mela­kukan anu atau mengatakan anu, dan kebajikan tertinggimu adalah mengimaninya, betapapun rancu itu kelihatannya bagi nalarmu yang rapuh dan sempit. Lalu dia menunjukkan padamu bagaimana semua ini diramalkan oleh para nabi Perjanjian Lama, dan digenapkan dalam Perjanjian Baru oleh drama Evangelis; Perjanjian Baru, dia bilang, adalah kelan­jutan dan penyempurnaan Perjanjian Lama; bagaimana bisa kau menolak mengimaninya sebagai wahyu Ilahi? Tentu saja, orang bani Israel cerdas akan berkata, “Jika memang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Tuhan akan menaungi tunangan pengantin dari seorang pria, dan anak yang dihasilkan secara tak alami tersebut bukan akan berupa manusia, tapi Tuhan sendiri dan sekaligus putera Daud, dan Tuhan tersebut (putera Daud) hadir di muka bumi untuk tujuan semata-mata mengalami kematian pedih, demi menebus dosa-dosa manusia, demi menenteramkan Tuhan, yang juga merupakan manusia disalib itu sendiri, aku akan serta-merta berpikir, entah para nabi itu pasti berada di bawah pengaruh penglihatan-penglihatan delusif, yang mereka uraikan secara berlawanan dengan ajaran-ajaran keagamaan Musa dan nabi-nabi lain, atau entah aku sendiri kepayahan di bawah delusi dan tak mampu memahami nubuat-nubuat itu; sebab tidak mungkin dua-duanya benar—mereka saling bertentangan dan mengecualikan.” Perjanjian Baru tidak mungkin merupakan kelanjutan dan penyempur­naan Perjanjian Lama sebagaimana halnya inkarnasi Bud­dha, Trinitas Hindu, penderitaan Promotheus, atau pengor­banan putera Mesa tidak mungkin merupakan kelanjutan al-Qur’an, sebab mereka tidak memiliki kesamaan selain ber­macam-macam poin dalam etik. Orang bani Israel yang tahu dan lumayan memahami Alkitab-nya hanya akan berkata: Tunjukkan padaku dalam kitab ini satu petikan yang memberitahuku bahwa (a) Tuhan berkata Dia akan suatu waktu bukan Tuhan, tapi manusia—Tuhan sendiri dan sekaligus putera Daud; (b) Tuhan, pencipta segala hal, akan memiliki ibu, yang juga isteri-Nya; (c) Tuhan akan mati di tiang salib karena Dia tidak bisa mengampuni dosa-dosa manusia dengan cara lain; (d) Tuhan akan bangkit dari kematian, naik ke surga, dan duduk di sebelah kanan-Nya sendiri. Atau jika si orang bani Israel sedikit lebih murah hati dan penuh pertimbangan, dan si konversionis lebih tercerahkan dan liberal, si bani Israel akan meminta kepada si fanatik untuk menunjukkan kepadanya suatu tempat dalam Alkitab, bukan dalam bahasa diragukan dan samar yang setiap orang bisa uraikan agar cocok dengan gagasan prakonsepsinya sendiri, tapi dalam kata-kata jelas dan dapat dimengerti: (a) Bahwa Tuhan berjanji akan mengutus seorang Mesias, putera Daud atau orang lain manapun, untuk menyelamat­kan, melepaskan, menebus, atau membebaskan bangsa Israel, bangsa atau individu lain manapun, padahal kata Mesias tak pernah tercantum dalam Kitab Nabi-nabi kecuali sebagai gelar seorang pendeta tinggi diurapi dan raja Saul, raja Daud, raja Sulaiman, dan si pagan Cyrus (Yesaya xlv), padahal tidak ada penyebutan atau penyinggungan Mesias apapun yang akan datang, atau juru selamat apapun yang akan merekonstruksi kerajaan Israel, singgasana Daud, atau yang akan menyelamatkan satu jiwa pun di seluruh alam eksistensi milik Tuhan. (b) Jika dengan trik eksegetik atau homiletik, dengan me­misahkan petikan-petikan dari konteksnya dan menggabung­kan frasa-frasa jauh yang berjarak berabad-abad dari satu sama lain, seseorang bisa menemukan seorang juru selamat martir untuk diutus ke Israel atau bangsa lain; bagaimana kau tahu bahwa itu pasti mengacu pada Yesus dari Nazareth? Bisa saja itu mengacu pada Yudas Makabe, pada saudara-saudaranya yaitu Jonathan dan Simon, pada Simon Bar Kokhba, atau martir heroik lain manapun yang mengorban­kan nyawa untuk menyelamatkan bangsa Tuhan dan agama mereka, atau nubuat-nubuat itu belum tapi akan tergenapkan pada seseorang yang, terlepas dari semua yang kita tahu, mungkin akan muncul kapan saja; konstruksi kabalistik nubuat-nubuatmu akan cocok dengan yang satu dan juga dengan yang satu lagi. Kita tahu dengan pasti bahwa saudara-saudara Makabe memang gugur mempertahankan perkara suci dan memang menyelamatkannya, di mana buktimu bahwa Yesus menyelamatkan perkara suci di langit atau di bumi? Kau pasti tahu bahwa di bumi, fitrah manusia masih sama seperti ribuan tahun lampau, kejahatan, keasu­silaan, dan penyimpangan semua masih sama; dan apa yang berlangsung di langit kau tidak tahu dan tak bisa tunjukkan. (c) Jika dengan suatu sarana si pengurai mistis Kitab-kitab Suci bisa mengatasi kesulitan (a) dan (b), dia akan harus menjumpai poin ketiga ini, yakni: Apa yang memberi hak kepada siapapun pembaca nubuat-nubuat untuk mengira bahwa nabi tertentu mempertimbangkan masa depan yang sangat jauh, padahal dalam kebanyakan kasus mereka berbi­cara dengan jelas tentang urusan kekinian dan konsekuensi-konsekuensi berikutnya, yang memang mereka lalui—mereka sekadar mengulang atau menguraikan kata-kata Musa. Nabi-nabi yang dirujuk oleh si konversionis hidup antara 800 SM dan 450 SM, di mana landasan rasional untuk berpendapat bahwa para peramal patriotis ini pernah begitu tak karuan dan melamun hingga meninggalkan landasan kokoh berupa peristiwa-peristiwa kekinian dan hasil-hasil probabelnya, terbang 500 sampai 800 tahun ke masa depan dan menubuatkan apa? kedatangan seorang Mesias yang akan menumbangkan perjanjian dan keimanan Israel, terutama jika dia tahu bahwa tak ada ide selain Mesias masa depan itu—disalib atau diagungkan, sebagai martir ataupun pemenang—yang bisa ditemukan pada diri Musa sesedikit persetujuan terhadap politeisme dan trinitarian­isme; apalagi jika semua petikan nubuatik itu, yang dirujuk oleh para pengurai Kristologis, bisa dengan sangat mudah dan dengan jauh lebih pantas dijelaskan oleh peristiwa-peristiwa bersamaan dan konsekuensi terdekatnya. (d) Terus ada jalan terakhir, elakan pendeta, isinya: “Itu kata rabbi-rabbi kalian, kata semua orang kafir yang tak ter­cerahkan, bandel, dan buta. Kau harus diregenerasi, dilahir­kan lagi, menerima agama, yaitu agama Kristen jenis khusus itu; lalu kau akan memahami Kitab-kitab dan nubuat-nubuat dalam perspektif yang benar dengan bantuan Roh Kudus, dan kau akan pada pandangan pertama menemukan Mesias dan Gereja di setiap halaman jilid sakral itu.” Dengan kata lain, argumennya begini: Kapanpun kau akan mempercayai teguh cerita Kristen dan menundukkan nalarmu pada keper­cayaan ini, kau akan mendekati jilid sakral dengan prasangka ini menguasai jiwamu, lalu kau akan menemukan di dalam­nya semua poin yang kau isyaratkan; atau dengan kata lain, jika kau mempercayai cerita Evangelis, kau akan percaya untuk melihatnya diramalkan oleh para nabi Ibrani. Seperti itulah orang Kristen sejati membaca Perjanjian Lama. Itu akan baik untuk orang beriman, tapi logika yang sangat buruk untuk orang lain. Mereka akan berargumen: Kalau begitu salah Tuhan-lah kami tidak bisa melihat Kristologi-mu dalam Perjanjian Lama, sebab Dia mendiktekan ramalan-ramalan itu kepada para nabi dengan gaya sedemikian rupa sehingga hanya orang-orang Kristen yang bisa memahaminya dan kami tidak bisa. Kami tidak bisa membayangkan bahwa Yang Maha Bijak adalah seorang penulis yang sangat tak cakap dan tak jelas sampai-sampai hanya orang-orang yang akalnya bertentangan dengan nalarlah yang bisa memahami-Nya; sebab apa artinya menerima agama, apa artinya diregenerasi, apa artinya dikonversi, kalau bukan penggantungan nalar dan penundukannya kepada sebuah keyakinan yang berten­tangan dengan nalar? Lalu timbul pertanyaan: Apapun itu dalam kasus tertentu, bukankah itu ketidakwarasan emosi­onal, sawan dispepsia, serangan histeria, melankolia, atau distemper, atau gangguan syaraf apapun? Tak ada yang bisa memastikan. Hanya ini yang pasti: jika bukan dengan nalar, maka dengan imajinasi atau penyakit. Kita tidak bisa me­ngira seseorang dalam kondisi pikiran seperti itu lebih tahu dan paham daripada kita. Namun, orang Ibrani akan berkata: Secara nalar tak ada yang memberimu hak dalam kondisi pikiran seperti apapun untuk mengklaim bahwa leluhur dan guru-gurumu lebih memahami Alkitab Ibrani daripada kami, dan mereka ini secara konsisten dan tegas mengingkari keberadaan nubuat atau penyebutan cerita Kristen atau Kristologi di dalam Alkitab. Tak ada orang bernalar yang mengklaim lebih memahami karya klasik Yunani atau Latin dibanding orang Yunani atau Romawi; bagaimana bisa para mantan pagan berbahasa asing lebih memahami Alkitab Ibrani daripada orang Ibrani di negaranya sendiri hingga tahun 400 M? Para penulis kitab Kristen, kecuali Paulus, tampaknya bahkan tidak tahu bahasa Ibrani, sebab semua kutipan mereka dalam Injil-injil, Kisah Para Rasul, dan sebagian besar Surat-surat berasal dari terjemahan Yunani yang disebut Septuaginta, dan bukan dari Alkitab Ibrani, dan yang paling luar biasa, Yesus pun (menurut Injil Sinoptik) mengutip dari bahasa Yunani dan bukan dari bahasa Ibrani aslinya. Tak ada orang pandai yang akan pernah bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa orang Kristen, karena seorang Kristiani, lebih mema­hami Alkitab Ibrani daripada orang bani Israel, karena bukan Kristiani, sebagaimana kita tidak bisa mengakui bahwa orang Kristen Latin atau Jermanik lebih memahami al-Qur’an daripada orang Arab. Setelah tinjauan umum ini terhadap argumen Kitab Suci yang mendukung Kristologi, sepantasnya meninjau secara detil berbagai petikan Alkitab terkait ini. Kita akan memulai dari petikan-petikan tersebut di bab berikutnya, kendati pe­ninjauan detil-detil akan terasa berlebihan selama argumen-argumen umum ini tidak disanggah, dan kita tidak melihat sanggahan sukses dari siapapun agen konversi atau perkum­pulan. Secara umum mereka tidak berargumen sama sekali, mereka berdakwah, yang sungguh bermanfaat untuk orang beriman dan tidak menuntut banyak kerja otak. Mimbar bukanlah forum dan Kristologi bukanlah filosofi, oleh karena itu bapak-bapak tersebut tidak berargumen, mereka sekadar menyatakan.
Judul asli : No Christology in the Bible, No Christology in Moses<i=12KiLitHT9HEeD5rK3PwQLrRsiPkUhM20 529KB>No Christology in the Bible, No Christology in Moses
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Tidak Ada Kristologi dalam Alkitab Ibrani: Penjelasan Yahudi Terhadap Penafsiran Kristen Soal Tuhan dalam Ekspresi Plural

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)