Skip to content
Nasionalisme Arya Eropa dalam Warisan Universalisme Yesus: Kebencian Terhadap Yudaisme dan Yahudi Sebagai Kaum Tuhan – Relift Media

Nasionalisme Arya Eropa dalam Warisan Universalisme Yesus: Kebencian Terhadap Yudaisme dan Yahudi Sebagai Kaum Tuhan Bacaan non-fiksi sejarah

author _Samuel Schulman_; date _1914_ genre _Sejarah_; category _Ulasan_; type _Nonfiksi_ Jika Chamberlain bisa dikatakan membenci sesuatu selain kaum Yahudi, itu adalah Gereja Katolik Roma. Para jenius kreatif, para penemu kreatif, adalah selalu produk sebuah bangsa ras murni, menurutnya. Kebudayaan bukanlah produk umat manusia, melainkan produk ras-ras tertentu dan manusia-manusia tertentu. Buku (“Foundations of the Nineteenth Century” karangan Houston Stewart Chamberlain) ini adalah sebuah proyek megah, tapi dirusak sedari awal oleh kelupaan sang penulis akan tinjauan­nya sendiri bahwa “tak ada yang lebih berbahaya daripada mencoba mengkonstruksi sejarah dari sebuah prinsip tunggal” (vol. II, hal. 372). Kendati seluruh karyanya adalah kontradiksi terhadap ini, karena berkisar pada ras Jermanik sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Barat, tetap saja kita tidak kaget oleh pernyataan naif ini. Aku merasa Chamberlain adalah penulis paling subur dalam kontradiksi. Dan bahkan, tak ada orang yang bisa menulis 1.200 halaman dijejali deskripsi gamblang dan renungan mengenai minat-minat terpenting umat manusia, dan semua ini untuk menegakkan sebuah tesis prakonsepsi, tanpa melibatkan diri dalam kontradiksi tak ada habisnya. Tn. Chamberlain menunjukkan, sebagaimana dibuktikan oleh setiap manusia, bahwa terdapat sesuatu yang lebih besar lagi daripada tokoh, dan itu adalah kebenaran, yang sering memaksa seseorang untuk mengatakannya di luar kemauannya. Itulah mengapa kami orang Yahudi, yang sangat dia benci, tidak menyembah tokoh, meski kami mengenali betul nilai pentingnya sebagai tenaga kreatif dalam sejarah, tapi menyembah Tuhan, yang merupakan kebenaran, lebih unggul daripada semua tokoh. Dengan demikian, Chamberlain sekalipun, lusinan kali, tanpa sengaja, ketika lengah, ketika dia lupa dengan tesisnya dan membiarkan kebenaran berbicara secara impersonal melalui dirinya, membawakan penghormatan untuk Yahudi dan Yudaisme, yang mana berkebalikan dengan apa yang dia katakan saat mencoba membuktikan argumennya. Untuk memahami sebuah buku, seseorang harus mem­bacanya dengan simpati dan menempatkan diri untuk se­mentara dalam sudutpandang si pengarang dan meng­kritiknya dari sudutpandang tersebut. Dan inilah yang aku hendak lakukan. Karyanya sangat artistik, tapi merupakan filsafat sejarah yang buruk, yang meski tidak dinamakan demikian, itu praktisnya bertujuan demikian. Itu adalah sebuah kreasi terpadu, yang keindahannya dirusak oleh kebencian terhadap segala sesuatu berbau non-Arya dan non-Jermanik, tapi terutama terhadap segala sesuatu berbau Yahudi. Dan karenanya, hasilnya adalah buku paling subjek­tif, paling merangsang bagi akal matang dan sangat berba­haya untuk seorang pemuda. Bagi Yahudi yang tak tahu-menahu tentang kaumnya dan agamanya secara langsung melalui pemikiran dan kehidupannya sendiri, buku ini adalah perangkap berbahaya. Bagi orang yang fungsi sucinya adalah untuk menafsirkan jiwa Israel, ini adalah tantangan tempur riang-gembira. Ini adalah Alkitab-nya fanatisme Jermanik dan anti-Semitisme Eropa. Aku tidak keberatan Chamberlain menjadikan ras Jermanik (yang menurutnya berarti bangsa Celt, bangsa Teuton, dan bangsa Slavia, bangsa-bangsa utara Eropa) sebagai pusat sejarah Barat dan peradaban dan kebudayaan Eropa, jika dia mau. Itu menghasilkan kekuatan buku ini sebagai sebuah karya seni. Si seniman, terutama, adalah tokoh yang mengkoordinir, menafsirkan, membentuk, dan berkreasi, dan Chamberlain adalah tokoh yang kuat. Jika aku bisa menulis buku semacam itu, aku akan jadikan Yahudi sebagai pusat sejarah, kreator kebudayaannya. Kalau betul, menurut bahasa Chamberlain, agama dan etika adalah kons­tituen dasar kebudayaan (beda dari peradaban dan penge­tahuan dalam divisi tripartit elemen-elemen kehidupan sosial, yang si pengarang buat dalam paruh kedua karyanya), dan jika kebudayaan adalah yang paling tinggi dan paling kreatif dan paling individual untuk tokoh dan ras, maka aku bisa membuktikan klaim untuk pengaruh kreatif dan produk­tif dari kejeniusan Yahudi dalam sejarah. Ketika beberapa dari sentimentalis Yahudi akhir abad ini membicarakan kebu­dayaan Yahudi sebagai sesuatu yang berbeda dari, sebagai sesuatu yang bisa dipisahkan dari, religiusitas Yahudi, mereka membicarakan hal yang mustahil. Agama Yahudi adalah kebudayaan khas Yahudi. Konsepsi kebudayaan Chamberlain tepat. Jadi aku katakan, aku juga bisa menjadi­kan Yahudi pusat sejarah, sebagaimana dia menjadikan Teuton, dan sebelumnya, Arya atau Hellen, India, dan Romawi. Dan aku bisa lakukan ini tanpa merampas nilai-nilai lebih dan sumbangsih ras lain manapun terhadap kemajuan manusia. Aku hanya perlu mengingatkan diriku akan peng­galan syair Ibrani kuno yang dimasukkan ke dalam mulut Nuh, yang membuatnya berkata, “Semoga Tuhan memper­besar Yafet dan semoga Dia tinggal di kemah-kemah Sem.” Kesadaran akan individualitas dan nilai ke-Yahudi-an tidak mengimplikasikan berkurangnya pengakuan akan kejeniusan non-Yahudi. Apa yang aku protes dalam buku Chamberlain adalah hasil penuh petaka yang timbul dari penilaian rendah dan penolakannya secara sengaja terhadap segala sesuatu yang tidak Arya atau Jermanik, dan yang terutama men­cegahnya untuk memahami, bahkan membuatnya tak sudi menangkap, semangat Yudaisme. Tapi dia tidak berani ber­buat adil pada Yudaisme. Jika dia berani, itu akan menghan­curkan tesis utamanya. Pengagungan kebercukupan Arya dan Teuton mengimplikasikan perendahan Yahudi dengan sengaja, kecuali di mana kebenaran luput darinya tanpa disangka-sangka. Sebab jika dia sekali saja mengakui apa yang hingga kini dunia pegang, bahwa Yahudi adalah, di atas rata-rata, kaum dengan kejeniusan keagamaan, dan jika, seperti dia bilang, kebudayaan (yang unsur pokoknya adalah agama) adalah lebih unggul daripada peradaban, maka dia akan harus mengakui keunggulan perlengkapan kejeniusan Yahudi dan ketergantungan Eropa pada hal itu untuk kebuda­yaannya. Dan itulah apa yang, dalam perannya sebagai orang yang mencegah “kaum Asiatik asing” ini dekat-dekat dengan­nya, tidak bisa dia lakukan. Dan di sini kita menjangkau jantung dan roh buku ini, motif dan metodenya. Menurutku, jantung dan motifnya diberikan dalam petikan luar biasa pada halaman 258 jilid kedua. Dia berkata: “Dalam Yesus Kristus, kejeniusan keagamaan absolut memasuki dunia.” “Tak satupun yang teradaptasi untuk mendengar suara ilahi ini sebaik bangsa Teuton.” “Tapi Kabar Baik menghilang dan suara agung membisu.” Chamberlain di sini sedang berbicara—menjelang pengujung buku, setelah mengembangkan tema utamanya—tentang penyelewengan Kristen-nya Kristus. Mengapa? Dia memberitahu kita: “Sebab anak-anak chaos tidak akan meninggalkan tindakan pengurbanan lewat proksi, yang sudah lama ditolak oleh jiwa-jiwa yang lebih baik di kalangan bangsa Hellen dan bangsa India dan yang berabad-abad lalu dicemooh oleh Nabi-nabi Yahudi utama.” Bahkan Reformasi sekalipun tidak membuangnya. Dia dengan sangat lihai mengatakan: “Dan ini melempar nilai penting Reformasi ke dalam ranah murni politik.” Dia menambahkan dalam catatan: “Bahkan Luther (walau dia menekankan pada keimanan) mengajarkan doktrin bahwa orang kafir pun mematahkan tubuh Kristus dengan giginya” ketika dia memakan Perjamuan Kudus. Rupanya tak ada satu hal pun dalam Kristen terorganisir, sebagaimana eksis hari ini, yang memuaskan dia. Dia butuh agama baru. Mengapa seorang Teuton tidak menciptakan itu untuknya? Dia menu­tup garis pemikiran ini dengan mengatakan: “Dalam ketia­daan sebuah agama sejati yang bersumber dari dan cocok dengan individualitas kita sendiri (maksudnya jelas, ajaran Kristus yang digemakan dalam hati Teuton), aku melihat bahaya terbesar untuk Teuton.” Oleh karena itu, baginya, satu-satunya kekurangan dan kelemahan Teuton, dan kare­nanya bahaya untuknya, adalah ketidakmampuannya untuk berkreasi secara keagamaan. Dan baginya Yesus adalah “keje­niusan keagamaan absolut” yang kabar baik-Nya telah selalu dipahami oleh Teuton, ketika tulen dan tak rusak. Oleh karena itu, Teuton, bisa kita katakan, sangat bergantung pada ras Yahudi untuk kebudayaannya. Tapi Chamberlain berpaling ngeri, sepanjang bukunya, dari pemikiran bahwa ada suatu kesamaan antara semangat Jermanik dan sema­ngat Yahudi. Oleh karenanya, dia berbuat sesuatu yang mem­beri kita semangat dan metode seisi bukunya. Rasanya sedih melihat orang ini, di kedalaman jiwanya, tertarik pada tokoh Yesus, menemukan agama absolut dalam kabar baiknya, singkat kata orang Jerman di bawah kaki seorang putera Israel, tapi sepanjang waktu merasa jijik kepada ras Semitik dan orang Yahudi, tetangganya, kompetitornya, dan saudara­nya dalam kebudayaan. Maka dari itu dia melakukan bab ketiga bukunya, yang semangat dan metodenya menentukan maksud seisi buku. Dalam bab ini, dia berkata, bicara tentang Palestina pada waktu kelahiran Yesus: “Hanya satu ras pada waktu itu yang murni—Yahudi. Bahwa Yesus Kristus tidak tergolong kepadanya, itu pasti.” “Setiap pernyataan lanjutan adalah hipotetis.” Ini adalah tindakan seorang fanatik yang meletakkan sebuah dogma, karena keselamatan seluruh teorinya, yang di atasnya dia membangun bukunya, bergan­tung pada itu. Itu adalah sebuah kepastian baginya, tapi itu bukan tindakan seorang penulis adil dan sesuai sejarah yang hanya mencari kebenaran dan pasti menemukan bahwa diri­nya tak memiliki fakta-fakta sebagai bekal untuk menyangkal sebuah tradisi universal. Tentu saja, sebagaimana akan kita lihat, dogmatisme demikian melibatkannya dalam jaring kon­tradiksi. Tapi yang kita harus catat di sini adalah psikologi karya sang penulis. Yesus pasti bukan seorang Yahudi, dan orang Yahudi dalam hipotesisnya pasti paling tak religius, tak mistis, rasionalistik, materialistik, jiwa membudak, dan sebagainya di antara manusia, sehingga dia membuktikan kontras dengan orang yang diyakini membawa keselamatan kepada dunia, kontras dengan “kejeniusan religius absolut”. Itu, bagaimanapun juga, sebuah metode lama. Dulu para teolog menjadikan Yudaisme sebagai karikatur dalam rangka mengagungkan ketuhanan Yesus. Kini para teoris ras, meminjam informasi dari para teolog dan meniru metode mereka, menggaungkan dan menambah penggambaran keliru mereka tentang Yudaisme dan membuat kontribusi orisinil mereka sendiri berupa pernyataan bahwa secara ras Yesus bukanlah Yahudi sama sekali. Chamberlain beroperasi dengan ide-ide utama tertentu. Dia menekankan pentingnya ras, bangsa, tokoh, ide kreatif dalam sejarah. Dia mengemukakan secara mendalam signifi­kansi agama untuk kebudayaan. Dia membedakan kebuda­yaan dari peradaban, dari “kekuatan-kekuatan anonim”. Dia meminta perhatian pada ketergantungan kebudayaan manu­sia kepada tokoh-tokoh terkemuka—Plato, Kant, Goethe, dan sebagainya. Kepada semua ini orang mungkin bersimpati, meski akan perlu sekali mengatakan sesuatu untuk menam­bah dan mengubah beberapa konsepsi ini. Tapi dia telah menciptakan gambaran perkembangan umat manusia secara terpelintir. Jasa terbesarnya adalah mengemukakan, dalam sebuah karya populer, hubungan intim antara agama dan mitologi Hindu dengan karya ras-ras lain dari kelompok Arya. Cacat terbesarnya adalah mengubah filsafat sejarah menjadi perang salib melawan dunia non-Jermanik. Aku mengguna­kan kata “perang salib” dengan pertimbangan terlebih dulu, sebab kata ini tidak menyebabkan rasa antipati bagi Cham­berlain. Dia memiliki pemikiran bahwa perluasan kekuasaan Romawi ke seluruh dunia bukanlah hasil dari semangat penaklukan, tapi lebih tepatnya hasil dari keinginan Roma untuk melindungi dirinya sendiri, untuk menjadikan dirinya sebuah rumah yang tak terjamah, untuk menjaga individua­litasnya. Jadi, dari sebuah kota, Roma menjadi sebuah kekai­saran dunia sebagai pertahanan diri. Maka, dia mengisyarat­kan, adalah tugas ras Jermanik untuk memperluas kekuasa­annya ke seluruh dunia, bukan demi menaklukkan, tapi agar dirinya tidak terkontaminasi lewat percampuran dan hancur karena kelemahan. Pendek kata, untuk melindungi individua­litasnya sendiri. Sebab tesisnya adalah: kebudayaan Eropa bergantung sepenuhnya pada independensi ras Jermanik, dan dunia non-Jermanik—bila mengganggu—harus diberan­tas. Gayanya tidak retoris ataupun berbunga-bunga, tidak pula ringkas dan kasar. Itu adalah kefasihan intelektual sebuah jiwa yang bersungguh-sungguh dan berapi-api. Buku­nya merangsang dan menantang. Kadang menjijikkan. Tak pernah membosankan dan selalu membuat berpikir. Itu adalah persembahan sebuah akal brilian yang telah meng­asimilasi pengetahuan dan kebudayaan Eropa, tapi menurut hukum Yahudi, itu tidak bisa diterima di altar kebenaran, lantaran itu adalah pemberian sebuah akal yang dilacurkan oleh prasangka kolosal dan antipati ras tak berbatas. Cakupan karya itu diindikasikan dalam judulnya. Inilah abad 19, dengan kontroversi-kontroversi besarnya yang mem­belah manusia ke dalam Kristiani dan Yahudi, ke dalam Protestan dan Katolik, ke dalam individualis dan sosialis, ke dalam rasialis dan humanis, ke dalam pembela prinsip kebangsaan dibanding penegak kekaisaran universal (sebuah ide yang diwariskan dari Roma dan digabungkan ke dalam Gereja Katolik Roma), ke dalam materialis dan idealis, ke dalam pengagung kebesaran peradaban kita beserta mesin uapnya, listriknya, permesinannya, dll, dan nabi-nabi kebuda­yaan individual dan tokoh artistik yang cenderung ditunduk­kan dan diratakan oleh peradaban tersebut; ke dalam demo­krasi-demokrasi universal (yang dikuasai oleh pemerintahan golongan mayoritas) dan ide-ide besar yang seharusnya me­merintah manusia; ke dalam negara-negara besar Eropa yang menjangkau ke ujung-ujung bumi, dan ras-ras non-Eropa yang mulai menyadari individualitas mereka, hak mereka untuk hidup dan berkembang. Inilah abad ini—bagaimana aku, seorang manusia berpikir, harus mengambil tempatku di dalamnya sehubungan dengan kontroversi-kontroversi ini? Dalam kalimat ini, aku mencoba merangkum tugas buku tersebut. Itu akan menunjukkan betapa buku demikian pasti dijejali dengan opini-opini tentang sains, seni, agama, filsa­fat, politik, ekonomi sosial, antropologi, dan banyak lagi. Itu adalah ikhtisar besar pencapaian semangat manusia, sarat dengan informasi dan misinformasi, gemerlapan dengan tinjauan brilian dan penuh dengan jenis-jenis cercaan dan hinaan paling rendah untuk orang Yahudi. Itu sebuah karya yang kuat, yang menuntut sebuah buku untuk menjawab pernyataan-pernyataan keliru dan teori-teori salahnya. Terhadap pertanyaan: “Apa yang bergulat dalam hati orang-orang abad 19, dengan darah pasti dalam pembuluh mereka, dengan lipatan pemikiran pasti, yang ditentukan oleh ras?” dia memberi jawaban dalam bukunya. Kita harus menyelidiki fondasi abad ini. Dia tidak mendeskripsikan abad itu sendiri, tapi menganalisa faktor-faktor yang menyusun­nya. Cara perlakuan ini, menurutku, tidak hanya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan metodologis, tapi merupa­kan persoalan kemanfaatan yang ditentukan oleh tesisnya. Andai dia memeriksa abad 19 secara detil, dia akan sudah terpaksa mengakui jasa besar yang diberikan oleh kecakapan Yahudi sepanjang abad emansipasi Yahudi ini di Dunia Barat. Dia berpendapat, kita harus menyelidiki apa yang telah kita warisi, siapa kita, dan kita harus menjadi sadar akan pertempuran yang dilancarkan untuk memperebutkan warisan itu di masa lalu. Chamberlain percaya hanya ide-ide­lah yang memiliki kekuatan dalam sejarah. Ide-ide diekspre­sikan dengan jelas dalam tokoh-tokoh ras murni. Hanya ras-ras murnilah yang kreatif. Individualitas ras dijaga oleh nasi­onalitas/kebangsaan, dan musuh terbesarnya adalah per­campuran ras-ras yang salah, yang menghasilkan hibridisme, mestizo di satu sisi, dan di sisi lain kekaisaran dunia univer­sal, yang akal menyamaratakan manusia-manusia dan meng­hapuskan individualitas mereka melalui hukum universal, tatanan universal, kekuasaan universal, otoritas universal, dan dogma universal. Ras-ras bastar tanpa karakter mem­bantu membentuk kekaisaran Romawi belakangan, di mana para mestizo Suriah dan Afrika, bukan lagi orang Romawi murni, duduk di singgasana, dan untuk mendirikan kekua­saan dunia Gereja Roma. Jika Chamberlain bisa dikatakan membenci sesuatu selain kaum Yahudi, itu adalah Gereja Katolik Roma. Para jenius kreatif, para penemu kreatif, adalah selalu produk sebuah bangsa ras murni, menurutnya. Kebudayaan bukanlah produk umat manusia, melainkan produk ras-ras tertentu dan manusia-manusia tertentu. Dan hanya mereka ini yang bisa dikatakan maju atau merosot. Dia tidak percaya pada ide kemajuan bersama. Baginya tidak ada umat manusia. Kebudayaan Eropa adalah produk ras ter­tentu, ras Jermanik, dalam pengertian besar dan luas yang disebutkan di atas. Dan pergulatan itu adalah menyelamat­kan warisan—yang dengannya sejarah Barat dimulai—dari penyimpangan yang diakibatkan oleh masuknya sejarah Barat ke dalam percampuran hibrida, dan penyisihan elemen Semitik, Yahudi, dan mestizo dari percampuran itu. Penyi­sihan ini akhirnya diselesaikan oleh bangsa Teuton. Baginya sejarah dimulai hanya dengan Yesus. Dia menolak istilah “Zaman Pertengahan dan Renaisans”. Yang disebut renai­sans adalah lebih tepatnya kelahiran nyata semangat Jerma­nik. Baginya 500 dan 1500 adalah tahun terpenting. Abad 13 adalah abad menentukan. Sebuah abad yang sungguh kaya akan aktivitas paling beranekaragam dalam sains, seni, industri, penemuan, pembangunan negara, dan agama. Itu justru dipengaruhi oleh elemen Semitik sejauh itu harus memeranginya. Kemenangan ini, di awal abad 13, diraih oleh Roma, yang serba kuasa. Tapi meskipun pergulatan akan berlanjut dalam dada individu, lantaran tendensi-tendensi yang bertentangan, keadaan telah dijernihkan pada saat ini. Ras Teutonik menjadi sadar akan dirinya dan kemenangan itu sebetulnya untuknya. Oleh karena itu, dia membagi karya­nya ke dalam dua bagian: bagian pertama terdiri dari 8 bab, dicurahkan untuk warisan, pewaris, dan pergulatan dalam Agama dan Negara, dari halaman 1 sampai 1.200, yang betul-betul menutup buku itu, sesuai rencana; dan bagian kedua, bab sembilan, dicurahkan untuk mendeskripsikan apa yang bangsa Teuton, ketika dijernihkan dan dimerdekakan dari Romawi (penyelenggara chaos ras-ras campuran dan pusaka kronologi dan sejarah Semitik), mampu tuntaskan pada akhirnya. Baginya Kristen adalah sebuah hibrida. Teuton dikutuk mewarisinya demikian. Inilah secara ringkas intisari konstruksi sejarah oleh Chamberlain. Dunia Barat awalnya mewarisi seni dan filsafat Hellenik dari Yunani, tapi dia tak menilai tinggi bangsa Yunani itu sendiri. Mereka “plin-plan, tak setia”. Para pemimpin mereka melarikan diri kepada musuh. “Tak ada makhluk yang lebih tak moderat daripada orang Hellen, si pendakwah moderasi (sophrosune) dan pertengahan kencana.” Tapi Dunia Barat mewarisi dari Yunani juga hal-hal yang tidak dia sukai, skolastisisme, rasionalisme, takhayul, misteri, dan kultus jiwa. Dan hal-hal ini kemudian jadi dibentuk menjadi dogma-dogma Kristen. Dari Romawi kita mewarisi hukum, ide negara, keluarga, kecintaan pada negara. Dia terpesona oleh hukum Romawi, dan dalam antusiasmenya dia berkata dengan nada berikut: (Ngomong-ngomong, hal-hal penuh kebenciannya terhadap kaum Yahudi, contohnya meragukan kejujuran Moses Mendelssohn, memperlakukan Spinoza dengan jijik, menghina kenangan Renan dengan menuding­nya dibayar oleh Alliance Israelite di tahun-tahun terakhir­nya, melempar cercaan kepada para cendekiawan Yahudi, dan mengatakan bahwa akan tiba waktunya ketika para sosialis Jerman akan menyuruh Karl Marx pergi dan menyi­bukkan diri dengan kaumnya sendiri—semua hal ini, yang menunjukkan semangat orang ini, ditulis dalam bentuk catatan [kaki].) Dia mengatakan, adalah sebuah pertanyaan apakah “di negara-negara Teutonik, orang-orang ras Yahudi mesti ditunjuk menjadi hakim, apakah mereka betul-betul memahami dan merasakan hukum yang mereka gunakan dengan begitu ahli”. Inilah sejarawan yang berperan sebagai politisi anti-Semit! Chamberlain memuji hukum Romawi karena itu adalah ciptaan sebuah kaum yang memenuhi dua syarat yang diperlukan untuk pembuatannya. Kaum ini memiliki karakter moral hebat dan intelijensia tajam. Apa pernah terbersit oleh penulis kita ini bahwa kaum Yahudi, dengan hasrat etikanya yang besar, dengan ideal moralnya yang tinggi, dengan rasa hormat dan cintanya pada keluarga, dengan penanaman kebajikan praktisnya, dan, di saat yang sama, dengan intelijensia tajamnya, dengan daya analisa tajamnya, adalah kaum yang tepat untuk menciptakan konsepsi hukum dan badan hukum yang hebat? Tapi, sang filsuf sejarah ini bahkan tidak menyebutkan fakta bahwa hukum Talmud mungkin sebetulnya mengambil tempat di samping hukum Romawi. Dan barangkali intelijensia sebuah kaum yang didisiplinkan oleh hukum Talmud sangat mem­permudah wakil-wakil kaum tersebut untuk menguasai hukum lain manapun. Dan di sini, aku akan mencoba, seba­gai orang awam, untuk mengusulkan sebuah pemikiran yang mungkin benar atau salah, bahwa jika dibuat perbandingan, barangkali kejeniusan hukum Yahudi, yang berlandaskan hak-hak manusia, adalah secara umum lebih unggul daripada kejeniusan hukum Romawi, yang berlandaskan hak-hak kepe­milikan. Diketahui luas bahwa hukum Pentateukh mengizin­kan seseorang untuk masuk ke kebun buah milik orang lain dan mengambil buah sebanyak yang dia butuhkan untuk memenuhi rasa laparnya. Dia bisa makan sebanyak yang dia mau, tapi dia tidak dibolehkan membawa pergi satu buah pun. Lebih jauh, hukum-hukum yang memberi orang miskin hak untuk masuk ke ladang dan menuai habis sampai ke pinggir ladang, memunguti sisa dari mesin penuai, dll, bukanlah hukum kemurahan, sebetulnya, melainkan hukum keadilan, yang mengakui hak seseorang atas sarana penghi­dupan, hak untuk bekerja bagaimanapun juga, untuk memu­ngut di ladang apa yang dia butuhkan untuk nafkahnya. Sungguh jelas bahwa di sini kita menjumpai ekspresi keunggulan hak manusia dibanding hak kepemilikan. Setelah menyebutkan warisan yang berasal dari Yunani dan Romawi, akhirnya kita menjumpai warisan Yesus—“visi terpenting sepanjang masa”.
Judul asli : Review: Chamberlain’s ‘Foundations of the Nineteenth Century’ and the Claims of Judaism<i=1MXp8PlnP9zduf2joXuHP3XpHx9RdFuSd 597KB>Review: Chamberlain’s ‘Foundations of the Nineteenth Century’ and the Claims of Judaism
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Oktober 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Nasionalisme Arya Eropa dalam Warisan Universalisme Yesus: Kebencian Terhadap Yudaisme dan Yahudi Sebagai Kaum Tuhan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)