Skip to content
Kristen antara Semit dan Arya: Suksesi Keagamaan – Relift Media

Kristen antara Semit dan Arya: Suksesi Keagamaan Bacaan non-fiksi religi

author _Émile-Louis Burnouf_; date _1872_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Hari ini tidak ada cendekiawan yang menganggap ini tidak keliru. Itu dibantah oleh pengetahuan tentang teks-teks, yang tidak mengungkap titik kontak antara kitab-kitab Ibrani paling kuno dan Vêda; juga oleh studi komparatif bahasa-bahasa, yang memisahkan idiom-idiom Semitik dari idiom-idiom Arya. Konsepsi Tuhan dan ritus adalah satu-satunya elemen agama yang diakui oleh sains. Ada agama-agama tanpa moral, ada sebagian agama tanpa pendeta. Beberapa pembeberan mengenai dua poin ini akan menggambarkan keadaan sains saat ini. Jika kita melangkah mundur, sebagai­mana disyaratkan metode ini, ke dalam sejarah agama-agama, kita melihat bahwa penerapan prinsip-prinsip dogma­tis pada etika hidup merupakan tindakan modern, tindakan yang mencirikan agama-agama modern, seperti agamanya Muhammad, agamanya Kristus, dan agamanya Buddha. Metafisika tidak bisa dikatakan memainkan peran menonjol dalam al-Qur’an; metafisika al-Qur’an hanya menuntut keesaan personal Tuhan yang berlawanan dengan ide Kristen Bapak dan Putera. Bahkan, aturan etika dan resep moral bertemu di situ di bawah beragam bentuk perintah, kisah, dan perumpamaan. Perhatikan perkembangan Islam di Timur ataupun Barat; kau akan terpukul oleh kelemahan ekstrim filosofinya jika dibandingkan dengan metafisika kuat di zaman Yunani dan Brahmana. Sungguh wajar menisbatkan kegersangan saintifik ini (ketandusan agama-agama berlandaskan al-Quran) lebih pada fitrah jiwa Semitik—yang selalu inferior dalam perkara sains dibanding kejeniusan bangsa-bangsa Arya—ketimbang pada karakter moral revolusi Muslim. Opini ini, yang sudah lama tersebar di kalangan cendekiawan, semakin terkonfir­masi setiap harinya, dan cenderung menjadi poin doktrin yang tak tersangkal. Adalah fakta pasti bahwa hampir tidak ada filosofi teoritis dalam kitab-kitab Semitik sebelum al-Qur’an, dengan kata lain dalam Alkitab dan tulisan-tulisan Ibrani lain. Jika kita memperhatikan hanya suksesi agama-agama yang berawal semata-mata dari agama Musa, maka hukum yang mendemonstrasikan kepada kita agama-agama yang hanya menyandang karakter praktis tegas setelah mengasingkan diri dari moral, bakal kehilangan bobotnya; tapi pasti agama-agama murni Arya dikembangkan dengan memakai hukum ini. Selama beberapa abad, Buddhisme di India tercampur aduk, perihal bagian-bagian metafisiknya, dengan mazhab-mazhab Brahmana tertentu. Belakangan, barangkali ketika Buddhisme berpisah dari mereka, atau ketika ia meninggal­kan India menuju Tibet, Sri Lanka, dan bangsa-bangsa ras kuning, ia mempertahankan bagian besar simbol-simbol Brahmana, meski dalam bentuk dimodifikasi. Sejak hari pertama, Buddha menampilkan diri kepada manusia sebagai guru sebuah doktrin moral yang didirikan di atas kebajikan dan kemurahan. Ketika murid-muridnya bertemu dalam majelis untuk menyusun Gereja Buddhis primitif, satu-satu­nya saran yang mereka usahakan adalah bukan untuk meng­ajari manusia sebuah metafisika baru, tapi untuk memper­baiki adat-istiadat mereka yang buruk, untuk menyingkirkan dari jiwa mereka segala nafsu yang merendahkan, dan untuk menyatukan mereka dalam perasaan cinta universal (maitrêya). Dari sini muncul proselitisme ini, pengingkaran diri tak terukur ini, yang telah menjadikan rasul-rasul itu pemberadab bangsa-bangsa barbar, bangsa Tibet dan bangsa semenanjung di seberang Gangga. Bangsa-bangsa itu masih merupakan metafisikawan yang sangat buruk; tapi moral mereka sudah dibersihkan, dan mereka mulai menetapkan tanggal lahir peradaban mereka dari dimulainya Buddhisme. Dari sini juga muncul semangat persaudaraan keagamaan yang telah memberikan sebuah kekaisaran begitu besar di seluruh Timur kepada Gereja-gereja Buddhis; yang telah menjadikan dakwah sebagai salah satu tugas pertama para pendeta, dan kaul sebagai praktek lazim; dan yang telah—dengan mendesak banyak manusia untuk mencari kemur­nian moral yang nyaris mustahil—memadati sebagian Asia dengan biara-biara (vihâra), memperlihatkan kepada kita saat ini kota-kota padat yang sepenuhnya tersusun dari biara-biara. Brahmanisme menyodorkan—kepada institusi moral—universalitas yang jauh lebih rendah daripada Buddhisme. Memang benar kita menemukan, bahkan di tanggal sangat awal, bahwa etika manusia menyebabkan kecemasan berat kepada para Brahmana yang sedang menyusun Hukum Manou; tapi tujuan kitab tersebut, yang merupakan kitab undang-undang Brahmana, jauh lebih cenderung mendirikan dasar susunan sosial, dan dasar organisasi politik India, ketimbang memimpin semua orang, tanpa membedakan kasta dan ras, ke dalam jalan kebajikan. Hukum Manou menuntut sedikit kebajikan dari orang-orang berkondisi inferior; itu lebih keras terhadap para lord dari kasta kerajaan; itu membebankan kemurnian dan kesempurnaan moral hanya pada pria dan wanita dari kasta pendeta. Di sisi lain, metafisika menduduki tempat penting dalam Hukum Manou. Metafisika sendirian menyusun kitab pertama dan terakhir­nya. Ada lebih banyak teori dalam satu karya Sankserta tersebut daripada dalam seluruh literatur Buddhis. Mundur lebih jauh lagi ke masa lalu. Vêda mendahului Brahmanisme, dan menopang sulur-sulur terawalnya. Moral terbilang asing bagi kidung-kidung Vêda. Oleh karenanya, orang-orang Arya tenggara mulai mengambil dari doktrin-doktrin mereka substansi moral yang benih-benihnya mereka miliki, selama selang waktu antara periode Vedik beberapa abad itu dan pendirian susunan Brahmana. Brahmanisme kemudian memupuk data primitif itu, dan merumuskan suatu jenis praktek-praktek pertama, namun tanpa sedetik­pun mengalpakan keanekaragaman kasta, kecondongan, dan fungsi. Baru pada abad 6 SM-lah dakwah Buddhis memberi­kan pada praktek moral sebuah karakter yang cocok untuk menjadikannya hukum bersama untuk semua orang. Mereka bahkan beranjak begitu jauh dengan prinsip mereka sampai mengumumkan kepada masa depan yang jauh suatu peme­rintahan moral dan sentimen yang tak terbantahkan di antara manusia. Bahkan, ada sebuah nubuat Buddhis berke­naan dengan kedatangan seorang Buddha di masa depan, yang namanya adalah Maitrêya, artinya kemurahan. Sementara itu, bangsa-bangsa kuno ras Arya, yakni bangsa Yunani, bangsa Latin, bangsa Jerman, belum keluar dari periode Vedik, dan juga belum mengalami revolusi moral yang sama seperti di India. Ketika hari ini kita mencoba membedakan sisi moral agama-agama yang disebut pagan itu, kita terheran dihadapkan dengan kata tidak. Sungguh pasti bahwa di kalangan bangsa Yunani, bukanlah ajaran agama yang memberi manusia aturan hidup, atau yang menuntun mereka menuju kebajikan; melainkan para filsuf. Biografi mereka, semisal Diogenes dari Laertes yang diperke­nalkan pada kita, membuktikan bahwa porsi besar filosofi Yunani, khususnya moral, berasal dari Timur, ke mana para cendekiawan pergi mencarinya. Adapun agama, itu tetap sebuah institusi publik, yang dengannya banyak praktek tersendiri menggabungkan diri; tapi itu tak memiliki nilai riil, kecuali melalui simbolisme metafisik di dasarnya. Ketika Kristen mempenetrasi dunia barat, ia adalah yang pertama mendakwahkan moral atas nama agama, dan menjadikan aturan hidup sebagai bagian dari dogma. Apa yang Kristen cela dari agama pagan bukan cuma keterasingan dari moral, tapi keaktifan dalam menyodorkan contoh keasusilaan kepada orang-orang. Ajaran lisan atau tulisan para filsuf tidak bisa keluar dari lingkaran yang dikelilingi orang-orang terpelajar, dan karenanya itu berlalu di atas kepala orang-orang ini. Oleh karenanya, Kristen tidak menemukan anteseden moral di antara bangsa-bangsa barat. Adalah percobaan mandul, dan tak saintifik, untuk susah-susah membuktikan bahwa seluruh moral Kristen terkandung dalam tulisan para filsuf Yunani atau Latin sebelum Kristus, lebih mandul dan tak saintifik lagi jika kita setuju dengan St. Jerome bahwa para moralis Kristen sejak awal meminjam dari disertasi para filsuf. Tapi jikapun itu terbukti, itu tidak akan mengubah fakta bahwa Kristen menyebabkan revolusi moral di Barat, yang menjangkau semua orang, dan bahwa revolusi tersebut mengadopsi jalan keagamaan dan bukan jalan filosofis. Satu fakta ini memecahkan seluruh argumen. Adalah pasti bahwa Kristen di dunia barat bukan kode moral populer di bawah wujud agama dan merupakan bagian dari kepercayaan. Dalam kondisi keagamaan dunia Yunani-Romawi tidak terdapat periode elaborasi moral yang sepadan dengan Brahmanisme; Kristen, dengan elemen-elemen baru­nya, mensuksesinya tanpa transisi ke pemujaan-pemujaan terdahulu, persis seperti dakwah Buddha menyusul periode Vedik. Jadi sejak mulanya Kristen menyandang karakter revolusi moral. Kemudian, menjelang akhir abad 2, itu mulai mengembangkan metafisikanya, yang, dari didiskusikan oleh para Bapa dengan filsuf-filsuf Alexandria, naik ke puncak ke mana murid-murid Plato dan Timur membawanya sendiri. Tapi seperti apapun metafisika Kristen dulu, atau hari ini, pengaruh sejati Kristen dan kemegahan sejatinya terletak dalam aksi moral yang dijalankannya. Dengan demikian, semakin kita menapaktilasi jalannya waktu, semakin kita menemukan agama-agama bangsa-bangsa Arya terasing dari moral. Dengan menyusuri Vêda ataupun politeisme bangsa-bangsa barat, hanya dua elemen agama yang esensial ini yang ditemukan—Tuhan dan ritus. Reduksi yang sama ditun­jukkan berkenaan dengan imamat. Tidak ada sistem sosial di mana golongan imam disusun ke dalam hirarki lebih kuat daripada dalam tiga agama modern—Islam, Kristen, dan Buddhisme. Imamat Brahmana berutang keberlanjutannya bukan pada susunan khususnya, yang hampa, tapi pada domini kasta-kastanya, di mana itu adalah dasarnya. Para Brahmana adalah setara, dan tak pernah mengakui salah satu di antara mereka sebagai ketua. Asal-usul bersama mereka, yang diproklamirkan oleh suara Brahma, menjadi­kan mereka independen dari satu sama lain; tak seorangpun bisa membebankan kepada yang lain kewajiban apapun, dan tidak pula memberinya perintah. Jika seorang Brahmana memperoleh otoritas seiring berjalannya tahun, dia berutang itu pada pembelajarannya, dan bukan pada superioritas dalam jabatan. Kesetaraan hirarkis ini menuntut kebebasan total dalam doktrin-doktrin. Jika di India terdapat ortodoksi, bukanlah otoritas seorang ketua atau jemaah Brahmana yang menegakkannya, tapi semata-mata kesesuaiannya dengan Vêda, yakni dengan kitab-kitab suci, yang kepadanya saja semua poin pembahasan doktrinal dirujuk tanpa resiko men­datangkan ketidaksenangan otoritas fana. Kebebasan berpi­kir adalah absolut di kasta pendeta. Dalam catatan-catatan pra-brahmana kita tidak menemu­kan jejak susunan imamat atau pendeta jenis apapun, imam manapun tidak lagi dibedakan dari orang-orang lain; setiap ayah sebuah keluarga adalah seorang imam ketika dia memenuhi tugas sakral, sebagaimana dia prajurit dalam perang dan buruh di ladang. Baru di akhir zaman Vedik-lah kita melihat masuknya fungsi-fungsi pendeta ke dalam keluarga-keluarga tertentu, sebagaimana juga wewenang kerajaan dan komando militer ke dalam keluarga-keluarga lain. Tapi komunitas-komunitas Arya sampai saat itu meng­konsepsikan dewa-dewanya dan mempraktekkan ritus-ritus­nya tanpa mediasi organisasi imamat apapun. Pembacaan Illiad menunjukkan pada kita keadaan yang sama di kalangan orang Yunani kuno. Di sana kita menemu­kan para pekurban yang ditunjuk untuk kuil-kuil tertentu, kadang mewariskan jabatan sakral itu kepada putera-putera mereka; tapi berdampingan dengan ini, ritus-ritus biasanya dilaksanakan oleh tangan-tangan yang biasa memegang pedang, dan doa-doa dipanjatkan oleh bibir-bibir yang seje­nak kemudian mengeluarkan seruang perang. Agamemnon adalah, tergantung keadaan, prajurit, hakim, atau pekurban. Oleh karenanya jabatan pendeta tidak semapan belakangan. Menilai dari bukti statusnya yang tak pasti dalam karya Homer, bukankah kita tepat dalam menduga kondisinya yang lebih primitif lagi terkandung dalam kidung-kidung Vêda paling kuno? Pengembangan imamat di India adalah berta­hap; muncul dari tahap kasar kidung-kidung, itu mengambil bentuk sebuah kasta di dunia Brahmana. Dalam Buddhisme, kasta membuat ruang untuk hirarki yang kuat, yang contoh-contohnya disodorkan pada kita di Thailand, Sri Lanka, Tibet, dan China. Di Barat, kelemahan imamat Hellenik, yang tidak ber­tumpu pada kasta ataupun hirarki, tiba-tiba diikuti dengan organisasi Gereja-gereja Kristen, sebuah organisasi yang bisa dianggap sebagai imbangan persis Gereja-gereja Buddhis, seandainya tidak diketahui bahwa modelnya ada­lah jenis agama politik di mana kaisar Romawi adalah paus berdaulatnya, dan bahwa itu timbul dari keinginan akan per­satuan yang dirasakan dengan begitu kuat oleh komunitas-komunitas Kristen pada waktu eksistensi mereka yang sembunyi-sembunyi dan dipersekusi. Tak perlu menguraikan fakta bahwa hirarki kependetaan Gereja-gereja Kristen, ter­utama Gereja Katolik, sedang memperoleh kekuatan setiap tahun sebanyak otoritas kepalanya diakui. Maka, moral dan imamat, dua faktor penting dalam agama-agama modern, menempati medan yang permukaan­nya tampak menyusut di depan mata kita seiring kita mene­lusuri balik rangkaian abad-abad. Sepintas, akan terkesan bahwa Mesir menyodorkan pengecualian untuk hukum ini, karena resep-resep moral merupakan bagian penting dari teks-teks suci kunonya. Tapi Mesir, dalam sejarah umat manusia, menandingi sebuah periode yang sedang di am­bang akhir ketika periode-periode yang baru saja kusebutkan sedang menyingsing. Tidak boleh dilupakan bahwa, mulai dari dinasti ke-6, dogma, ritus, gambar simbolis, hirarki imamat, dan resep moral, semuanya berdiri tetap dan abadi, meski catatan-catatan sebelumnya tidak membuktikan jejak. Keadaan ini mengindikasikan selang waktu yang sangat lebar; itu hanya mungkin timbul setelah elaborasi luas. Mesir mungkin berkontribusi, meski dalam kadar sangat terbatas, pada perkembangan keagamaan bangsa-bangsa yang lebih modern, semisal Ibrani. Tapi, agama-agama besar Arya didirikan, baik di Timur ataupun Barat, sebelum Mesir mengerahkan pengaruh penting terhadap mereka. Maka, hukum tetap bertahan, dan boleh ditegaskan bahwa moral dan imamat muncul di momen tertentu dalam sejarah, yang tanggalnya tidak berlaku secara seragam untuk semua bangsa. Terlebih, berkenaan dengan elemen keagamaan, satu-satunya fakta intelektual yang akan ditemukan adalah dogma, dan sebuah tindakan lahiriah, yakni ibadah. Karena penyelidikan dogma dan ibadah bisa dilakukan hanya melalui perjalanan tahun ke belakang, maka tentu butuh status kekinian agama-agama sebagai titik keberangkatan.
Judul asli : The Succession of Religions, I-IV
La Suite des Religions, I-IV<i=1bQkFnMcK4jVwJJ3zFFGRfYRZSw2LTDvT 748KB>The Succession of Religions, I-IV<br/> La Suite des Religions, I-IV
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Oktober 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Kristen antara Semit dan Arya: Suksesi Keagamaan

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)