Sebuah negara lemah dengan prospek gombal untuk menjadi sebuah negara besar adalah sebuah hadiah yang akan menggoda keserakahan negara-negara lebih kuat; karenanya ia akan tidak menginginkan apa-apa supaya tidak diganggu.
Paman Sam akhir-akhir ini habis pergi ke luar negeri dengan gaya sama sekali baru—baru baginya paling tidak.
Dia pergi ke Hawaii hanya setelah undangan berulangkali dan mendesak; ragu-ragu karena dia pikir itu bertentangan dengan prinsip-prinsipnya.
Dia pergi ke Kuba untuk menolong masyarakat menyingkirkan sampah mereka.
Dia pergi ke Puerto Riko karena dia berpikir dirinya dibutuhkan.
Dia pergi ke Filipina untuk perjalanan bisnis, dan masih di sana. Dia barangkali akan mengambil keputusan untuk tetap di sana meski dia masih tertegun-tegun sedikit. Dalam kurang dari setahun dia akan sudah memutuskan, dan dalam pada itu dia akan berpikir keras tentang itu, sebagaimana telah sedang dia lakukan sejak 1 Mei 1898.
Kepada masalah inilah kita akan tujukan diri kita sekarang—sebab itu masih menjadi masalah bagi sebagian orang; bukan kepada persoalan metode pemerintahan, yang mesti ditentukan oleh pengalaman, tapi kepada pertimbangan etika, politik, dan praktis yang tersangkutpaut dalam istilah ekspansi, atau, kalau kalian suka, imperialisme.
Pertama-tama, pendudukan Filipina oleh AS dianggap oleh rerata warga Amerika sebagai persoalan moral. “Apakah benar memperluas otoritas kita ke Filipina, bahkan, jika perlu, dengan kekuatan senjata?” Ini adalah pertanyaan yang kita semua sudah tanyakan pada diri kita sendiri, pertanyaan yang “kaum anti-imperialis” jawab buru-buru dengan “tidak”, sementara mayoritas besar opini tampak berayun pelan-pelan ke arah sebaliknya, menyetujui pemerintahan saat ini.
Tapi jawaban untuk pertanyaan ini, betapapun itu mengagetkan rasanya, adalah itu bukan semata pertanyaan etika, apapun fase-fase etis yang dimilikinya. “Apa,” kalian tanya, “bukankah semua pemerintah mendapatkan wewenang patut mereka dari pertujuan orang-orang yang diperintah?” Well, mari periksa itu; dan untuk melihat dengan jernih dan adil, mari kita menempatkan diri di luar Amerika, boleh dibilang, sehingga kita dapat memandang dalil ini dari jarak yang tepat.
Orang-orang kadang membuat kesalahan. Seluruh bangsa-bangsa kadang membuat kesalahan yang sama. Bahkan, di atas dalil fundamental, seluruh peradaban selama periode-periode sejarah berturut-turut yang mencakup banyak abad diketahui berayun dari satu ekstrim ke ekstrim lain dan berbalik lagi. Pergerakan demikian sering diserupakan dengan ayunan sebuah pendulum kuat, atau lebih pas lagi, dengan kumparan sebuah spiral yang naik dan menyempit.
Tentu saja, salah satu subjek yang paling dipikirkan dan paling diperselisihkan dan karenanya menghasilkan paling banyak kekeliruan adalah hubungan individu dengan negara. Kurang dari tiga abad lalu salah satu pepatah fundamental pemerintah adalah bahwa individu eksis untuk negara dan bukan negara untuk individu. Ini satu ekstrim. Hingga zaman Rousseau tidak ada perubahan filosofi mencolok perihal subjek ini di benua Eropa. Dengannya dan orang-orang sesudahnya, dimulailah reaksi ajaib itu—gelombang pasang pemikiran filosofis dan pendirian populer yang menjadi dari absolutisme dan mengarah ke hak-hak manusia. Jika gerakan ini sampai mencapai klimaks di ekstrim sebaliknya, itu akan berarti anarki—dan itulah yang dicapainya dalam Revolusi Prancis.
Namun, hanya beberapa tahun sebelum klimaksnya, Deklarasi Kemerdekaan kita sendiri ditulis, yang para penulisnya sepenuhnya bersimpati pada gerakan ke arah hak-hak manusia. Karenanya di Amerika kita mendengar pernyataan kalem, “Kami percaya semua manusia secara fitrah adalah merdeka dan setara,” sementara di Prancis kita mendengar teriakan hingar-bingar, “Kebebasan! Kesetaraan! Persaudaraan!”
Individu akhirnya mendapatkan kebebasan yang dia dambakan. Tapi itu justru dihadapkan dengan pertanyaan lebih besar lagi, yaitu: Apa yang akan dia lakukan dengan kebebasannya? Bagaimana dia akan menggunakannya?
Well, apa yang sudah dia lakukan dengannya? Di Amerika, seperti di tempat lain, terlepas dari kredo politiknya, dia telah dengan bijak memutuskan bahwa orang gila tidak boleh menikmati kebebasan atau kesetaraan bersama orang-orang lain. Apalagi penjahat; apalagi wanita. Mengapa? Jika semua punya hak atas hal-hal ini, siapa yang berani mencabutnya?
Ini membawa kita ke satu poin melebihi pernyataan Deklarasi, satu poin, akan tetapi, yang pasti sudah ada dalam pikiran para penulis itu, yakni bahwa PEMERINTAHAN OTONOM BUKANLAH SEBUAH HAK MELAINKAN SEBUAH KECAKAPAN.
Apa kau punya hak pilih, dan jika ya di mana kau mendapatkannya? Kau boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sesukamu; tapi faktanya adalah, jika kau menjadi gila atau melakukan kejahatan, pemerintah mencabut hak pilihmu karena ketidakcakapanmu. Kau diasumsikan memiliki kecakapan dan karenanya hak kecuali jika terbukti sebaliknya; tapi jangan lupa bahwa kecakapan adalah fundamental dan mendahului hak, kalau tidak, teori kita akan selalu tampak inkonsisten dengan praktek kita.
Dan itulah yang membingungkan begitu banyak orang di antara kita saat ini. Kita belum membuat kekeliruan dalam praktek kita, tapi kita sudah membuat kekeliruan dalam mencoba menjustifikasi praktek dengan sebuah teori tak berdasar, dan itu tidak berfungsi. Kita sebagai bangsa hanya telah mengidealisasi hak-hak manusia, kebebasan dan pemerintahan otonom, lupa bahwa hal-hal ini hanyalah posisi sekunder setelah kecakapan, persis sebagaimana yang dilakukan para doktrinaire abad 18.
Sampai situ saja analoginya. Nah, bisakah seseorang memberi alasan bagus dan valid mengapa kesimpulan-kesimpulan yang sama tidak akan berlaku pada komunitas atau suku atau ras di dalam sebuah negara yang dianggap tak cakap—suku Indian, misalnya, atau para budak yang dimerdekakan? Tentu saja tidak. Nah, adakah alasan etis mengapa kesimpulan-kesimpulan yang sama tidak akan berlaku pada bangsa tak cakap? Tentu saja tidak. Kesulitan yang akan dijumpai adalah kesulitan praktis, karena, pertama, tidak ada pengadilan internasional untuk memutuskan kecakapan sebuah ras untuk memerintah dirinya sendiri, dan, kedua, tidak ada kekuatan internasional untuk bertindak sebagai wali untuk ras-ras tak cakap atau terbelakang.
Bagaimana dengan rumpun bangsa-bangsa hari ini? Segelintir dari mereka maju dengan laju ajaib, jauh lebih banyak adalah seperti isteri Micawber, terus-menerus dalam status quo, sementara yang lain masih menderita kemerosotan nyata, dan terakhir ada ras-ras atau suku-suku yang belum pernah diorganisir ke dalam negara atau bangsa, dan yang, jika dibiarkan sendiri, barangkali tidak akan pernah. Dan dengan apa kita akan menyamakan rumpun bangsa-bangsa ini? Itu seperti perkampungan di luar perbatasan peradaban, tanpa ada hukum di atas mereka selain perjanjian lingkungan—sebuah perkampungan yang terdiri dari beberapa orang progresif, sejumlah “orang payah”, beberapa idiot dan orang gila dan sejumlah orang jangak. Hal terbaik yang bisa orang harapkan dalam situasi demikian adalah orang-orang progresif menanamkan suatu nyawa dan energi ke dalam “orang-orang payah”, menyingkirkan semua agensi destruktif dari tangan orang-orang idiot dan orang-orang gila dan menempatkan orang-orang jangak di bawah pengawasan dan perwalian. Namun, justru keadaan yang sungguh-sungguh kita saksikan adalah ini: orang-orang jangak suka berontak, orang-orang idiot adalah idiot, “orang-orang payah” suka curiga, dan yang terburuk dari semuanya, orang-orang progresif saling iri. Di tengah tiadanya kekompakan dan kerukunan di perkampungan ini, salah satu dari orang-orang progresif ini menunjukkan sebuah watak yang kadang sok kuasa, kadang murah hati, tapi tetap saja sebuah watak untuk memelihara hukum dan ketertiban, dan sebuah kegandrungan untuk memiliki kendali dalam melaksanakannya, dan orang itu adalah Tn. Anglo-Saxon. Dia tak pernah menyentuh urusan ini tanpa mendatangkan kutukan dari seluruh lingkungan kepada dirinya sebagai seorang tiran, tapi kebebasan, kemakmuran, dan progres menyertainya. Dia tidak telalu percaya pada kebaikan pasif. Dia sudah belajar pemerintahan otonom dan dia mengusulkan untuk mengajarkannya kepada tetangganya yang kurang progresif apapun yang terjadi; dan begitu mereka sudah mempelajarinya, mereka boleh tinggal di bawah perlindungannya atau tidak, terserah mereka, dan fakta signifikan adalah bahwa mereka tak hanya senang untuk tinggal tapi berjuang untuknya begitu mereka sudah belajar idenya tentang kebebasan.
Seorang fanatik mungkin berkata, “Aku lebih suka pemerintahku sendiri, bukan karena itu yang terbaik, tapi karena itu adalah pemerintahku.” Itu mungkin saja jika yang diperbandingkan adalah dua bangsa yang progresif, tapi jika di antara pemerintahan progresif dan pemerintahan mundur atau tak cakap, itu fanatisme belaka. Dalam kasus demikian tak ada gunanya mengutip kata-kata Lincoln: “Tak ada orang yang cukup baik untuk memerintah satu orang lain tanpa persetujuan orang lain itu,” sebab kata-kata ini diucapkan menyangkut perbudakan manusia yang sama sekali tidak sebanding dengan hilangnya kemerdekaan sebuah negara. Kanada tak memiliki kemerdekaan politik, secara teknis, tapi apakah orang Kanada ada dalam perbudakan? Apakah orang Australia, orang India, orang Mesir dalam perbudakan?
Tak ada bangsa yang memiliki hak untuk tetap udik (maaf, ungkapan apa adanya). Fasilitas untuk perjalanan dan interkomunikasi sudah sangat lebih baik sehingga “kebertepatan ganda berupa kekurangan dan kepemilikan” telah menjadi sangat umum, rintangan bahasa, adat-istiadat, agama, dan ras sedang menghilang sangat pesat—pendek kata, bangsa-bangsa bumi sedang menjadi tetangga sedemikian dekat dengan satu lama lain sehingga masing-masing pasti tertarik secara pribadi, boleh dibilang begitu, pada kesejahteraan yang lain. Jika tetangga terdekat seseorang adalah beberapa mil jauhnya, cara mereka mendapatkan penghidupan atau memerintah rumahtangga mereka mungkin kurang menarik baginya; tapi coba mereka pindah ke kavling-kavling sebelah, maka terasa besar sekali bedanya apakah bisnis mereka bernama baik, dan apakah rumahtangga mereka tenteram dan tertib.
Tak ada bangsa yang aman ketika ia tetap udik. Ketika dua ras, satu lebih beradab dan satu kurang beradab, berdekatan sebagai tetangga, ras kurang beradab pasti menjadi lebih baik atau tersingkir. Dan ini bukan persoalan moral melainkan fisik; sebab luas tanah yang akan menopang satu pemburu akan menopang seratus petani, dan alam bersifat ekonomis dalam hal ini sebagaimana dalam setiap hal lain. Bukan yang lemah harus menyerah kepada yang kuat, melainkan yang tak efektif harus menyerah kepada yang efektif—hanya hukum evolusi standar.
Seperti semua hukum alam, itu tak kenal belas kasih; dan sebagai hukum alam, itu tidak untuk disalahkan ataupun dibenarkan; sekali lagi, seperti hukum-hukum alam lain, kekakuannya dapat dan semestinya dikurangi. Singkatnya, ras superior semestinya memandang ras inferior sebagaimana guru sekolah memandang seorang anak muda degil, yang harus ditangani dengan murah hati dan sabar, dinasehati berulang-ulang dan barangkali dihukum keras.
Judul asli | : | Uncle Sam and Expansion<i=1a-AYp8JkoCHmWwhbls3kONZWnIJk9sMy 424KB>Uncle Sam and Expansion (1900) |
Pengarang | : | Jacob Elon Conner |
Penerbit | : | Relift Media, September 2023 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Lektur |