Skip to content
Mesin vs Agama – Relift Media

Mesin vs Agama Bacaan non-fiksi filsafat

author _Elliot L. Gruenberg_; date _1956_ genre _Filsafat_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Mesin menantang konsep kita tentang fitrah manusia, membuat kita merombak ide-ide kita, gagasan-gagasan prakonsepsi kita, dan membuat kita memandang kehidupan dengan mata berbeda. Dan pandangan ini memantul kembali ke dalam kita dan membuat kita memandang diri kita sendiri dalam perspektif berbeda. Topik mesin dan agama mungkin serasa tak serasi bagi banyak pembaca. Apa kaitan antara mesin dan agama? Ada cerita tentang sebuah konvensi yang diselenggarakan untuk mendiskusikan gajah. Ke sana diundang seorang Ing­gris, seorang Prancis, seorang Jerman, dan seorang Polandia. Mereka semua diminta mengajukan makalah mengenai to­pik itu. Si Inggris merespon dengan “Olahraga Riang Berburu Gajah”; si Jerman dengan “Weltanschauung of the Elephant” (“Pandangan Keduniaan Gajah”); si Prancis dengan “Kehidu­pan Seks Gajah”; dan si Polandia dengan “GAJAH DAN PER­SOALAN POLANDIA”. Dalam mengangkat pertanyaan tentang kaitan antara mesin dan agama, apakah aku sedang menempatkan diri dalam posisi yang sama dengan si Polandia? Jika kita memandang agama sebagai kerangka rujukan yang dipakai untuk membantu mempola cara hidup kita, maka kita akan mendapati bahwa mesin memiliki dan akan mengerahkan pengaruh terhadap agama; sebab mesin su­dah mengubah dan akan mengubah mode eksistensi kita, nilai-nilai kita, tujuan-tujuan kita, dan perasaan-perasaan kita. Pandangan kita terhadap kehidupan hari ini bukan lagi pandangan budak pengolah tanah abad 13 atau petani pra-Revolusi. Mesin sedang memangku peran semakin penting dan juga membingungkan dalam kehidupan kita. Terus terdapat kecemasan perihal aspek kompetisi dari fungsi mesin ber­kenaan dengan mata pencaharian manusia. Banyak yang sudah dikatakan tentang aspek-aspek bermanfaat dari me­sin terkait pekerjaan membosankan. Sering dinyatakan bah­wa efek jangka panjang Revolusi Industri adalah menambah (ketimbang mengurangi) kesempatan kerja dan mengangkat standar hidup. Aku, contohnya, bersedia menerima tesis ini. Cukup satu fakta mungkin akan meyakinkan terkait efek ekonomi dari mesinisasi. Pada 1929, tahun paling makmur, Gaji dan Upah adalah 59% dari Pendapatan Nasional Bruto. Pada beberapa tahun terakhir, setelah tahun-tahun otoma­tisasi proses-proses, angka ini bergerak antara 61% dan 68%. 68% adalah angka tahun ini (1956). Dalam 25 tahun ber­selang, gaji dan upah tak pernah di bawah 61% dari PNB, dan 65% adalah angka rata-rata untuk kurun waktu tersebut. Sebelum Perang Dunia I, angka rata-rata tak pernah di atas 60%. Andil kelas bergaji dalam ekonomi keseluruhan telah meningkat hampir 10 persen poin. Tapi angkatan kerja tetap lumayan kokoh di angka 40% dari total populasi. Efek eko­nomi teranyar dari mesinisasi adalah meningkatkan andil pekerja dalam ekonomi secara signifikan, kendati jelas dia terpaksa meningkatkan keterampilannya untuk melakukan ini. Tapi kecemasan terus ada. Barangkali sumbernya bukan dari isu-isu ekonomi, tapi di tempat lain. Sumber-sumber kekhawatiran lain ini semestinya layak digali. Konsep kerja, menurutku, merupakan akar persoalan. Ide Keilahian kerja merupakan salah satu pilar Reformasi Pro­testan. Reformasi ini lebih dahulu satu atau dua abad dari­pada Revolusi Industri dan mungkin sekali merupakan penyebabnya. Sampai hari ini kita mendengar pemikiran ini digaungkan. Mantan Presiden Truman, contohnya, dalam sebuah penampilan TV baru-baru ini di “Person to Person”-nya Ed Murrow, menyatakan percaya pekerjaan tak pernah membunuh siapapun dan mengatributkan kesuksesan diri­nya pada kerja keras. Tapi apa yang dimaksud dengan kerja? aktivitas otot? atau berdiam di satu tempat dan melihati benda-benda? atau melakukan apa yang kau dibayar untuk itu? atau memecahkan teka-teki mental? atau menelusuri buku-buku berat di perpustakaan gereja? Ketika Yehudi Menuhin berumur 18 tahun, pada 1935 silam, dia membuat pernyataan ini: “Suatu hari nanti, mung­kin tidak semasa aku hidup, tapi suatu hari nanti, orang-orang akan tinggal di sebuah dunia di mana mesin-mesin mencabut kemonotonan dari kehidupan. Tidak akan ada tugas-tugas bodoh semisal mengemudikan taksi, bekerja di tambang, melakukan hal macam apapun gara-gara keper­luan untuk eksis... Terutama, pasti ada pendidikan—pendidi­kan dalam cara mempergunakan waktu luang di sebuah dunia yang akan menawarkan jam-jam yang kebanyakan luang... Kehidupan tidak akan seburuk ini jika itu tidak di­paksakan. Tidaklah adil seorang manusia sampai dipaksa bekerja berjam-jam, hari demi hari. Jika sistem demikian menandai peradaban, lebih baik kembali ke kehidupan rimba.” Tapi bukankah memainkan biola adalah kerja sebanyak mengemudikan taksi? Sudah pasti jam-jam latihan berulang harus ada dalam kerja konser biola, tak peduli seberapa hebat bakat kejeniusan. Mesin setidaknya telah melempar bayang-bayang keraguan pada konsep-konsep kerja yang lama. Mesin memaksa kita menggunakan istilah-istilah untuk membedakan kerja yang kita sukai dari kerja yang kita tidak sukai. Banyak orang menyukai ide kerja kreatif. Sudah pasti mesin tidak bisa melakukan ini. Dan bukankah bermain biola adalah kreatif? Sialnya, RCA sedang mengembangkan sebuah mesin yang bisa mensintesiskan hampir semua suara dikenal. Komputer-komputer digital bisa diprogram agar memainkan sintesis langsung dari lembar musik. Aku pengagum keterampilan seni Tn. Menuhin, tapi aku layak yakin bahwa kerjanya bisa lebih mudah ditiru secara meka­nis dibanding kerja “bodoh” seorang sopir taksi, terutama dalam kemacetan lalu-lintas New York. Barangkali sedikit dari nada emas dan wawasan matang akan luput dari pem­bawaan mekanis, tapi mesin bisa melakukan pekerjaan ala pekerja.
Judul asli : Machines and Religion<i=1ApHMrK8kxCEbEftxW5PNihp_LtNRdqMi 383KB>Machines and Religion
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juni 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh