Jika para nabi dan ideal Kristen telah, dan sedang, semakin tergenapi secara sempurna dalam sejarah Kristen, apakah tidak masuk akal untuk percaya bahwa akan tiba waktunya ketika kerajaan-kerajaan dunia akan menjadi kerajaan Tuhan dan Kristus-Nya?
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5: 17)
Dalam bab lalu aku berusaha menunjukkan bahwa penggenapan nubuat yang paling sesungguhnya terletak bukan dalam kepribadian dan karya Kristus tapi dalam agama Kristus. Tapi apa makna persis dari frasa terakhir ini? Apakah itu Kristen primitif, ataukah Kristen abad-abad awal, ataukah Kristen zaman pertengahan, ataukah Kristen Gereja-gereja Reformasi, ataukah Kristen abad 19 yang kita jumpai di Inggris? Ataukah tak satupun dari mereka, melainkan Kristen yang diajarkan oleh Kristus dan murid-murid-Nya? Sebab kita tentu saja tidak bisa memandang semua ini identik seratus persen tanpa mengalami kebingungan.
Berkenaan dengan yang kesatu, atas dasar-dasar apriori kita memang condong mengasumsikan kemurnian di Gereja awal, yang bukti-buktinya kita miliki sedikit atau nihil. Malah bukti-bukti membuktikan sebaliknya. Surat Pertama kepada orang-orang Korintus menunjukkan kondisi kehidupan dan agama, yang bagi rata-rata Kristiani hari ini menjijikkan untuk dibayangkan. Kita membaca bagaimana ketidakteraturan terjadi dalam pelayanan gereja Korintus yang kini akan dianggap tercela di sebuah pertemuan Dewan Sekolah atau Dewan Paroki; bagaimana Komuni Kudus diubah menjadi sesuatu yang terlalu mirip keributan mabuk; bagaimana perkawinan inses tidak dikutuk oleh opini khalayak. Pendek kata, Kristen primitif tak hanya gagal dalam praktek, tapi standarnya, yang diterima umum, mungkin sangat rendah. Mungkin ada argumen bahwa kemungkinan besar Gereja Korintus adalah pengecualian dari kaidah umum; bahwa kita tidak mendengar hal-hal tersebut di Gereja-gereja lain; pokoknya, Gereja yang satu itu terkena banyak kesulitan dan godaan khusus. Ini mungkin demikian, sampai taraf tertentu; tapi, di sisi lain, harus dicamkan bahwa itu adalah satu-satunya Gereja yang kita tahu banyak. Dalam Surat-surat lain ada pula terlalu banyak isyarat tentang pengaruh-pengaruh gelap jahat yang menodai kehidupan beragama dan sosial. Pun kita tidak bisa menekankan, di sisi lain, standar luhur ajaran St. Paulus sendiri; sebab itu jelas merupakan ideal yang umat Kristiani mesti gapai alih-alih deskripsinya.
Seraya kita mundur lebih jauh dalam sejarah Gereja, kita melihat efek-efek wewenang persekusi dalam menghasilkan karakter yang heroik dan setia, tapi terlepas dari itu agak keras dan picik. Di saat yang sama kita mulai melacak, terutama melalui pengaruh mazhab-mazhab Alexandria dan Antiokh, sebuah prinsip kehidupan intelektual baru yang memasuki kepercayaan Gereja awal yang sederhana dan agak mentah, dan yang menjadikan Kristen lebih mampu menjadi agama kelas-kelas berbudaya. Ada sesuatu yang jelas-jelas tak lengkap dalam Gereja pra-Nikea. Itu tergolong kepada abad pertumbuhan dan persiapan. Jika dipahami apa adanya, kita tidak bisa menganggapnya sebagai penggenapan sebuah ideal.
Dengan masuknya Konstantin ke dalam Kristen, kita mencapai tahap baru dalam sejarah Kristen. Di satu sisi, kita melihat Gereja Kristen memetik semua manfaat peradaban Romawi. Itu adalah abad pengorganisasian. Liturgi-liturgi, kredo-kredo, jabatan-jabatan gereja disistematisasi dan disusun, atau penyusunan mereka yang sudah dimulai kini lengkap. Di sisi lain, kita melihat masuknya semangat sekuler dan ambisius yang menggantikan sikap ketat tak mementingkan diri sendiri di Kristen awal. Dan sekali lagi, sebagai imbangan untuk ini, kita melacak dari masa ini perkembangan pesat monastisisme. Pria-pria dan wanita-wanita, kesal dengan kontroversi teologis zaman itu atau jijik dengan sekularitasnya, mencoba menemukan ketulusan hati dalam pengasingan yang tidak mereka temukan di dunia atau bahkan di Gereja. Bahwa biara-biara melakukan kerja hebat dalam sejarah Kristen, bahwa para penghuni mereka bermaksud menjalani kehidupan mulia Kristen, itu tidak bisa benar-benar disangkal. Merekalah yang menjaga agama tetap tersimpan aman layaknya di kuil suci ketika ia terancam dilanda banjir semi-barbarisme yang menyapu Eropa Barat. Tapi sebuah agama, dalam kehidupan spiritual mendalamnya yang hampir terbatasi pada orang-orang yang mengingkari dunia sarat dosa, adalah sesuatu yang sangat berbeda dari Gereja sedunia yang diramalkan oleh para nabi dan Kristus. Sistem monastik nyatanya merupakan pengakuan kegagalan mewujudkan ideal Kristen dalam kehidupan.
Dan apa yang akan kita katakan tentang Gereja Paus Zaman Pertengahan? Haruskah kita biarkan sengitnya pertikaian kelompok membutakan penilaian kita? Haruskah kita abaikan kaitan historisnya dengan Kristen yang mendahuluinya? Haruskah kita lewatkan kerja riilnya dalam sejarah Kristen? Haruskah kita melihat di dalamnya tak lain penggenapan nubuat-nubuat Perjanjian Baru itu yang berbicara tentang kekuatan koruptif besar yang memusuhi Tuhan dan Gereja-Nya, untuk akhirnya dilengserkan dan dikutuk di tengah luapan kegembiraan musuhnya? Melakukan itu sama dengan tidak adil, di samping tidak bermurah hati. Sebab bukankah jelas, jika kita pelajari nubuat-nubuat yang dilemparkan secara jahat kepada Roma Kepausan dalam sengitnya persengketaan, bahwa banyak dari nubuat itu ditujukan terhadap musuh terbuka Gereja Kristen yang terang-terangan? Bukankah mengagetkan pula bahwa putera petir (korban persekusi kejam), dalam mengumpulkan dan mengajukan kepada kekaisaran Romawi ancaman-ancaman para nabi terdahulu Yahudi terhadap beberapa musuh mereka (seorang Tyre, seorang Asyur, atau seorang Babilon), menunjukkan sedikit semangat balas dendam dari agama lama itu. Kita sungguh bersyukur bahwa dalam hal ini, sebagaimana dalam kisah Yunus, Tuhan dalam peristiwa tersebut lebih bermurah hati daripada nabi-Nya. Romawi tidak diizinkan jatuh ke tangan para penakluk barbarnya sampai apa yang paling patut dilestarikan di dalamnya menjadi milik Kristen, dan dari puing-puing Roma sipil lama muncul sebuah kekaisaran spiritual baru, hirarki agung Kristendom Barat. Terlepas dari eklesiastisisme piciknya, terlepas dari arogansi spiritualnya, kepausan Hildebrand adalah upaya megah untuk mewujudkan nubuat-nubuat kerajaan Tuhan di muka bumi. Tak heran orang-orang, karena tersilau oleh kemegahannya, begitu sering buta akan kekurangan-kekurangannya. Tapi kepausan gagal hanya karena ia melakukan kekeliruan yang sama yang sebelumnya dilakukan oleh patriotisme Yahudi. Ia tidak bisa membedakan antara teokrasi spiritual dan domini duniawi.
Dan bagaimana dengan Gereja Reformasi? Aku kira kita dapat katakan prinsip utama Reformasi adalah bahwa setiap bangsa mesti membentuk unit eklesiastik terpisah, mengembangkan diri ke berbagai arah menurut kebutuhan khususnya, seraya tetap tersatukan dengan Gereja sebagai satu kesatuan dalam poin-poin doktrin dan praktek yang pokok. Tapi ada banyak kesulitan dalam melaksanakan prinsip ini. (1) Bangsa-bangsa tertentu, bahkan di Eropa Barat, belum lagi Gereja Timur, menolak menerimanya sama sekali, dan berpegang pada ide hirarkis Katolik yang lama. (2) Di antara bangsa-bangsa yang menerima prinsip ini, terdapat perselisihan serius perihal apa yang semestinya dipertahankan sebagai unsur-unsur esensial Katolik. Sebagai contoh, Gereja Lutheran, mungkin terkecuali satu, menanggalkan suksesi apostolik uskup. Gereja Inggris, terlepas dari apa yang para kontroversialis Romawi sering katakan, mencurahkan perhatian untuk mempertahankannya. Sekali lagi, mengenai subjek penting semisal kemanjuran sakramen, terdapat perbedaan-perbedaan paling penting, bukan hanya perbedaan derajat, tapi juga perbedaan jenis. Pada poin ini, para Lutheran, para Calvinis, para Zwinglia terpisah jauh dari satu sama lain sejauh para Lutheran dari Gereja Romawi, dan kesudahan semua itu adalah bahwa banyak Gereja-gereja Reformasi praktisnya meninggalkan seluruh ide Kesatuan Katolik. (3) Kesulitan yang jauh lebih serius terletak pada penolakan banyak pihak di dalam kebangsaan-kebangsaan yang direformasi, jika aku boleh gunakan ekspresi ini, untuk menerima prinsip sebuah Gereja kebangsaan yang didirikan oleh otoritas. Proses disintegrasi tidak berhenti di titik yang dikehendaki otoritas sipil. Banyak sekte bermunculan di mana-mana di dalam beberapa bangsa, dan raja ataupun Parlemen pada akhirnya merasa tidak mungkin atau tidak ingin untuk menahan mereka. Sebab mereka tidak memiliki senjata keagamaan yang dulu mengikat raja-raja dan rakyat di bawah kuk kepausan. Lantas, bagaimana bisa kita melihat dalam Gereja Kristen modern yang terbelah ini, atau dalam salah satu divisinya, atau dalam salah satu badan Kristiani, sebuah penggenapan nubuat-nubuat Kristus tentang kerajaan Tuhan?