Di kuil dan sekolah, kita “mengambil” pancasila yang memberadabkan ini, tapi itu tidak cukup; pancasila harus “mengambil” kita, “membawa kita” seperti kata pepatah populer, hidup dalam diri kita, hidup dengan dan melalui kita.
Butir-butir Pancasila:
- Pāṇātipātā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari membunuh makhluk hidup.)
- Adinnādānā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan.)
- Kāmesu micchācārā veramaṇī, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari kelakuan seksual tak senonoh.)
- Musāvādā veramaṇī, sikkhā-padaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari omongan tak benar.)
- Surāmeraya majja pamādaṭṭhānā, sikkhāpadaṃ samādiyāmi. (Aku bersumpah akan mematuhi sila berpantang dari minuman memabukkan dan obat-obatan yang menyebabkan kelalaian.)
Betapa mudah mengucapkan pancasila, betapa sederhana mereka kelihatannya saat kita mengatakan: “
Okāsa ahaṃ Bhante, tisaraṇena saddhiṃ pañcasīlaṃ yācāmi.” Tapi berapa banyak orang yang merenungkan nilai penting lima pemantangan ini: berpantang dari kejahatan dan hidup bodoh; berpantang dari cara hidup biasa yang menciptakan penderitaan untuk diri kita dan orang lain (individu, bangsa, hewan, semua bentuk makhluk berperasaan).
Nyatanya, kehidupan modern, sadar ataupun tidak, terus-menerus melanggar pancasila ini. Bahkan sulit untuk hidup tanpa membahayakan; guna melakukannya, kita perlu memperoleh sejumlah
Sammā diṭṭhi (pandangan yang benar), pandangan yang tidak berasyik-masyuk dalam kejahilan tentang Empat Kebenaran Mulia, dll.
Nah, untuk memperoleh pandangan-pandangan yang benar, kita harus belajar mempraktekkan perhatian yang benar (
Sammā sati), pengamatan waspada terhadap fenomena di sekeliling dan sekitar kita, dan juga membiasakan diri mengamati fenomena mental internal. Orang yang tidak melihat penderitaan yang terikat pada eksistensi makhluk berperasaan dan perubahan abadi fenomena, dia belum belajar mempraktekkan perhatian yang benar, dan belum pula memahami kenapa kita mengambil pancasila ini. Oleh karenanya ketika kita mengatakan “
beri aku pancasila”, kita mesti mengatakan “
ajari aku pancasila”. Ajari aku makna dan penerapan praktis yang akan membawa pada pengalaman memurnikan pikiran dan menegakkan cara hidup tertentu yang tidak membahayakan,
sebuah sikap berbeda terhadap kehidupan, yang dilihat secara cerdas dan penuh kasih. Setelah memperoleh sikap ini, pancasila sederhana ini akan mengurangi penderitaan untuk kita dan untuk orang lain bila diterapkan setiap hari.
Nilai penting pancasila bersifat sosial dan luas.
Kita mesti merenung bahwa sila pertama, yakni sila berpantang dari mengambil kehidupan (
setiap dan semua kehidupan), akan membangunkan dan meningkatkan sentimen
mettā. Itu akan membentuk kebersahabatan antara manusia dan manusia, dan manusia dan binatang. Dalam sila ini terkandung kasih dan itikad baik yang cerdas dan merangkul semua. Hanya itu yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.
Jika sekumpulan besar manusia mengikuti sila ini, mereka akan damai dan mereka akan mengharamkan perang. Basa-basi belaka tentu saja tidak bisa menenteramkan insting buas untuk membunuh ini atau itu. Kehidupan bagi orang buas, sebagaimana bagi ilmuwan sombong, tidak dianggap sakral; sebagian membunuh karena tamak makanan, sebagian karena tamak kekuasaan, sebagian karena kesenangan belaka, yang lain hanya karena penasaran “ingin melihat bagaimana roda berputar”. Rasa penasaran sains sering mendahulukan penghancuran disengaja yang durjana daripada kebijaksanaan damai yang penuh kasih dan melindungi kehidupan.
Dia yang berhenti dari menyakiti makhluk hidup apapun, bergerak ataupun diam;
Dia yang tidak membunuh atau menyebabkan membunuh—dia kunamakan Brahmana. (Dhammapada 405)