
Jam lima. Dari setengah kesamaran, terdengar musik reveille, terompet riang, yang setiap pagi membangunkan para kelasi. Itu lebih awal dari biasanya, agar ada banyak waktu untuk merias kapal, yang sudah kehilangan sebagian kesegarannya selama 45 hari di laut. Kami masih tidak melihat apa-apa selain ruang hampa, tapi pengintai dari posnya di atas melaporkan asap hitam di ufuk. Awan kecil asap batu bara ini, yang dari bawah tidak terlihat seperti apapun, menandakan kehadiran berat; itu dihasilkan oleh kapal-kapal baja besar, itu adalah nafas dari skuadron tiada tara yang dengannya kami akan bergabung sebentar lagi. Sebelum merias kapal, terlebih dulu merias awak. Telanjang kaki dan telanjang dada, para kelasi mencebur ke dalam air dalam cahaya fajar. Meski sudah bekerja keras tanpa henti, mereka tidak lebih letih dari kapal yang mengangkut mereka. Redoutable, di antara semua kapal yang berangkat begitu mendadak, adalah satu-satunya yang tidak memiliki penumpang mati atau mabuk laut di atasnya, bahkan saat menyeberangi Laut Merah. Kini matahari sudah terbit jauh di atas ufuk, cakram kuningnya pelan-pelan mendaki dari balik perairan tenang. Bagi kami, yang baru saja meninggalkan wilayah-wilayah khatulistiwa, terbitnya ini, meskipun berkilau, mengandung kemurungan dan ketumpulan, yang berbau musim gugur dan iklim utara. Memang dalam dua atau tiga hari matahari sudah berganti. Kini ia tak lagi membakar, ia tak lagi berbahaya, kami tak lagi mengkhawatirkannya. Di depan kami, dari gumpalan asap batu bara, objek-objek jauh mulai tampak, hanya terlihat oleh mata pelaut: hutan tombak, boleh dibilang, yang ditanam di ujung ruang, hampir di luar jangkauan penglihatan. Kami tahu apa mereka: cerobong-cerobong raksasa, tiang-tiang tempur berat, perlengkapan perang dahsyat, yang, dengan asap itu, menyingkap skuadron modern dari jauh. Ketika berdandan pagi selesai, ketika segalanya sudah dicuci dengan berember-ember air laut, Redoutable menambah kecepatannya hingga rata-rata 11,5 knot per jam, yang dia pertahankan sejak keberangkatannya dari Prancis. Dan selagi para kelasi sibuk memoles kuningan dan tembaga, ia mulai lagi menyusuri alurnya yang dalam menembus perairan tenang. Objek-objek di garis ufuk berasap mulai menonjol dan berbentuk. Di bawah tiang-tiang tak terhitung, massa segala bentuk dan warna terlihat jelas. Mereka adalah kapal-kapal itu sendiri. Di antara air tenang dan langit pucat terdapat seluruh rombongan dahsyat, sekumpulan monster aneh, sebagian putih dan kuning, yang lain putih dan hitam, yang lain warna lumpur atau kabut, untuk membuat mereka kurang mudah terlihat. Punggung mereka bungkuk dan pinggang mereka setengah terendam dan tersembunyi seperti kura-kura besar yang tak tenang. Struktur mereka berbeda-beda sesuai konsepsi orang-orang berbeda menyangkut mesin-mesin penghancur, tapi semuanya sama-sama menghembuskan asap batu bara buruk, yang memudarkan cahaya pagi. Pesisir China tidak lebih terlihat daripada jika kami berjarak seribu liga atau jika itu tidak eksis. Tapi kami dekat dengan Taku, tempat pertemuan yang kepadanya pikiran kami sudah tertuju selama berhari-hari. China-lah, dekat walau tak terlihat, yang menarik kawanan hewan pemangsa ini dengan kedekatannya, dan yang membuat mereka tak bergerak seperti rusa kecil terpojok, persis di titik ini di lautan, sampai seseorang berucap. Air di sini kurang dalam dan telah kehilangan biru indahnya, yang dengannya kami sudah begitu lama terbiasa, dan telah menjadi ribut dan kuning; sementara langit, kendati tak berawan, jelas-jelas murung. Kesan pertama kami akan dengan pemandangan ini, yang sudah lama kami menjadi bagiannya, adalah pemandangan sedih.
Judul asli | : | The Last Days of Pekin: I. The Arrival in the Yellow Sea<i=1WMWg6r_DFq4EGmWt5J_SfqYh5XV-MVPY 264KB>The Last Days of Pekin: I. The Arrival in the Yellow Sea (1902) |
Pengarang | : | Pierre Loti |
Seri | : | Hari-hari Terakhir Beijing #1 |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2023 |
Genre | : | Perang |
Kategori | : | Nonfiksi, Jurnal |