Skip to content
Kami Tiba di Laut Kuning – Relift Media

Kami Tiba di Laut Kuning Bacaan non-fiksi perang

author _Pierre Loti_; date _1902_ genre _Perang_; category _Jurnal_; type _Nonfiksi_ series_title _Hari-hari Terakhir Beijing_; series_no _#1_ Sebentar lagi ia akan mencapai bagian dunia yang namanya kemarin tidak dikenal, tapi yang ke arahnya mata Eropa kini tertuju. Laut ini, di mana cahaya pagi sedang menyingsing tenang, adalah Laut Kuning, yakni teluk Petchili (teluk Bohai); dari situlah orang mencapai Beijing. Pagi-pagi sekali, di atas laut yang tenang dan di bawah langit penuh bintang. Seberkas cahaya di ufuk timur menunjukkan fajar sebentar lagi menyingsing, tapi sekarang masih malam. Udaranya lembut dan lembab. Apakah ini musim panas Utara, atau musim dingin dengan iklim hangat? Tak terlihat apa-apa di segala sisi, tak ada tanah, tak ada cahaya, tak ada layar, tak ada indikasi tempat apapun—hanya kesunyian laut dalam cuaca ideal dan dalam misteri fajar yang berkelip-kelip. Seperti seekor Leviatan yang bersembunyi untuk menga­getkan, kapal perang besar lapis besi melaju bisu dengan lamban dan tekun, mesin-mesinnya hampir tidak berputar. Ia baru saja menempuh 5.000 mil hampir tanpa jeda ber­nafas, terus-menerus melakukan 48 putaran baling-baling persis, tanpa berhenti, tanpa kerusakan apapun, dan tanpa banyak keausan pada mesin-mesin pentingnya, menyele­saikan perjalanan paling panjang, dengan angka kecepatan tetap paling tinggi, yang pernah dilakukan monster seukur­annya, sehingga dalam ujicoba penting ini ia mengalahkan kapal-kapal yang dikenal lebih cepat dan yang sepintas mungkin dianggap lebih unggul dalam kecepatan. Pagi ini ia tiba di pengujung perjalanannya, sebentar lagi ia akan mencapai bagian dunia yang namanya kemarin tidak dikenal, tapi yang ke arahnya mata Eropa kini tertuju. Laut ini, di mana cahaya pagi sedang menyingsing tenang, adalah Laut Kuning, yakni teluk Petchili (teluk Bohai); dari situlah orang mencapai Beijing. Sebuah skuadron tempur raksasa pasti telah dikerahkan sangat dekat dengan kami, walaupun tidak ada yang mengindikasikan kedekatannya. Kami sudah dua atau tiga hari menyeberangi Laut Kuning dalam cuaca September yang indah. Kemarin dan kemarin lusa, kapal-kapal jung berlayar jerami menyeberangi rute kami, dalam perjalanan mereka ke Korea; pesisir-pesisir dan pulau-pulau jauh telah kelihatan, tapi pada saat ini sekeliling cakrawala kosong. Sejak tengah malam kami bergerak lamban, agar keda­tangan kami di tengah armada kapal-kapal ini—yang akan disertai unjuk militer wajib—tidak berlangsung satu jam terlalu awal.
Jam lima. Dari setengah kesamaran, terdengar musik reveille, terompet riang, yang setiap pagi membangunkan para kelasi. Itu lebih awal dari biasanya, agar ada banyak waktu untuk merias kapal, yang sudah kehilangan sebagian kesegarannya selama 45 hari di laut. Kami masih tidak melihat apa-apa selain ruang hampa, tapi pengintai dari posnya di atas melaporkan asap hitam di ufuk. Awan kecil asap batu bara ini, yang dari bawah tidak terlihat seperti apa­pun, menandakan kehadiran berat; itu dihasilkan oleh kapal-kapal baja besar, itu adalah nafas dari skuadron tiada tara yang dengannya kami akan bergabung sebentar lagi. Sebelum merias kapal, terlebih dulu merias awak. Telan­jang kaki dan telanjang dada, para kelasi mencebur ke dalam air dalam cahaya fajar. Meski sudah bekerja keras tanpa henti, mereka tidak lebih letih dari kapal yang mengangkut mereka. Redoutable, di antara semua kapal yang berangkat begitu mendadak, adalah satu-satunya yang tidak memiliki penumpang mati atau mabuk laut di atasnya, bahkan saat menyeberangi Laut Merah. Kini matahari sudah terbit jauh di atas ufuk, cakram kuningnya pelan-pelan mendaki dari balik perairan tenang. Bagi kami, yang baru saja meninggalkan wilayah-wilayah khatulistiwa, terbitnya ini, meskipun berkilau, mengandung kemurungan dan ketumpulan, yang berbau musim gugur dan iklim utara. Memang dalam dua atau tiga hari matahari sudah berganti. Kini ia tak lagi membakar, ia tak lagi berba­haya, kami tak lagi mengkhawatirkannya. Di depan kami, dari gumpalan asap batu bara, objek-objek jauh mulai tampak, hanya terlihat oleh mata pelaut: hutan tombak, boleh dibilang, yang ditanam di ujung ruang, hampir di luar jangkauan penglihatan. Kami tahu apa mereka: cero­bong-cerobong raksasa, tiang-tiang tempur berat, perleng­kapan perang dahsyat, yang, dengan asap itu, menyingkap skuadron modern dari jauh. Ketika berdandan pagi selesai, ketika segalanya sudah dicuci dengan berember-ember air laut, Redoutable menambah kecepatannya hingga rata-rata 11,5 knot per jam, yang dia pertahankan sejak keberang­katannya dari Prancis. Dan selagi para kelasi sibuk memoles kuningan dan tembaga, ia mulai lagi menyusuri alurnya yang dalam menembus perairan tenang. Objek-objek di garis ufuk berasap mulai menonjol dan berbentuk. Di bawah tiang-tiang tak terhitung, massa segala bentuk dan warna terlihat jelas. Mereka adalah kapal-kapal itu sendiri. Di antara air tenang dan langit pucat terdapat seluruh rombongan dahsyat, sekumpulan monster aneh, sebagian putih dan kuning, yang lain putih dan hitam, yang lain warna lumpur atau kabut, untuk membuat mereka kurang mudah terlihat. Punggung mereka bungkuk dan pinggang mereka setengah terendam dan tersembunyi se­perti kura-kura besar yang tak tenang. Struktur mereka ber­beda-beda sesuai konsepsi orang-orang berbeda menyang­kut mesin-mesin penghancur, tapi semuanya sama-sama menghembuskan asap batu bara buruk, yang memudarkan cahaya pagi. Pesisir China tidak lebih terlihat daripada jika kami ber­jarak seribu liga atau jika itu tidak eksis. Tapi kami dekat dengan Taku, tempat pertemuan yang kepadanya pikiran kami sudah tertuju selama berhari-hari. China-lah, dekat walau tak terlihat, yang menarik kawanan hewan pemangsa ini dengan kedekatannya, dan yang membuat mereka tak bergerak seperti rusa kecil terpojok, persis di titik ini di lautan, sampai seseorang berucap. Air di sini kurang dalam dan telah kehilangan biru indah­nya, yang dengannya kami sudah begitu lama terbiasa, dan telah menjadi ribut dan kuning; sementara langit, kendati tak berawan, jelas-jelas murung. Kesan pertama kami akan dengan pemandangan ini, yang sudah lama kami menjadi bagiannya, adalah pemandangan sedih.
Judul asli : The Last Days of Pekin: I. The Arrival in the Yellow Sea<i=1WMWg6r_DFq4EGmWt5J_SfqYh5XV-MVPY 264KB>The Last Days of Pekin: I. The Arrival in the Yellow Sea
Pengarang :
Seri : Hari-hari Terakhir Beijing #1
Penerbit : Relift Media, Mei 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Kami Tiba di Laut Kuning

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)