Reaksi terhadap survei-survei opini publik mengungkap bahwa kebanyakan orang cenderung bereaksi terhadap fakta dan opini yang cocok dengan kebiasaan tetap pikiran mereka sendiri—berdasarkan angan mereka.
Di tengah panasnya kampanye Roosevelt-Willkie, Jenderal Hugh S. Johnson praktisnya menuding bahwa survei-survei opini publik yang memprediksi kemenangan Roosevelt merupakan mesin propaganda dengan menggunakan “metode-metode rahasia”. Pernyataan sang Jenderal mencerminkan sebuah sikap terhadap survei yang mungkin akan menjadi lebih relevan dalam bulan-bulan ke depan, terutama jika AS terjun berperang atau memasuki “keadaan perang”, secara psikologis ataupun ofisial.
Suara mayoritas elektoral Roosevelt yang besar merupakan sebab memadai bagi Jenderal Johnson untuk betul-betul menelan sindikasi kolomnya sendiri di mana dia menyerang survei Dr. George Gallup. Namun, tawaran Jenderal untuk menelan kata-katanya sendiri tidak menyelesaikan persoalan dasar yang dia dan lainnya angkat perihal survei opini publik, implikasi propagandanya, dan perannya di masyarakat demokratis.
Jika perang atau “keadaan perang” menghampiri Amerika, persoalan ini mungkin akan lebih relevan daripada hari ini, sebab itu melibatkan emosi-emosi yang lebih tegas dalam situasi perang ketimbang dalam kampanye politik.
Pada 7 Oktober Jenderal Johnson “tanpa bias” menyerang American Institute of Public Opinion milik Dr. George Gallup sebagai “kejahatan publik yang mampu melakukan penyalahgunaan jahat”. Bahkan dia menentang semua survei, tuturnya, yang mempergunakan teknik “sampling yang lebih dari rutin”. Baru dua bulan sebelumnya, Charles Michelson, direktur publisitas Democratic National Committee, menyamakan survei Gallup dengan “meramal”. Dia, seperti Jenderal Johnson, menyatakan selalu “meragukan nilai ramalan-ramalan semacam itu”.
Tn. Michelson mendiskreditkan survei Gallup pada Agustus ketika surveinya menunjukkan Tn. Willkie unggul dengan selisih 77 suara elektoral. Jenderal Johnson yang pro Willkie mendiskreditkan itu pada Oktober, ketika survei tersebut memberi Tn. Roosevelt 499 suara elektoral banding 32 untuk Tn. Willkie.
Serangan-serangan terhadap survei ini menyingkap bagaimana propaganda dapat berfungsi dari segi kepentingan propagandis. Tentu saja, kandidat-kandidat politik dan para pendukung mereka memuji sebuah survei yang memprediksi kemenangan untuk pihak mereka, dan menyerang sebuah survei yang memprediksi kemenangan untuk pihak lawan. Para juru kampanye mengikuti pola perilaku ini karena mereka sudah lama punya keyakinan abadi pada efek Kereta Musik. Teori mereka adalah ini: jika para pemilik suara bisa diyakinkan bahwa suara mayoritas menyukai satu kandidat, mereka akan lompat naik ke atas Kereta Musik-nya si kandidat dan “memberikan suara kepada seorang pemenang”. Hampir setiap orang ingin berada di pihak yang menang. Tak banyak orang ingin “menghamburkan suara mereka”. Di sisi lain, Kereta Musik bisa beroperasi sebaliknya. Para pemilik suara dapat lompat turun dari Kereta Musik untuk mendukung “underdog”.
Jenderal Johnson memuji Dunn Survey di dalam kolom yang sama di mana, “tanpa bias”, dia meluncurkan serangannya terhadap survei-survei secara umum. Dia mencirikan survei Rogers C. Dunn, dengan prediksi suara mayoritas elektoral 47 suara untuk Tn. Willkie, sebagai “analisa ilmiah”, menyebut-nyebut “akurasi ajaib”-nya. Dia tidak menyebutkan bahwa Dunn Survey keliru pada 1936 ketika memprediksi kemenangan Landon. Dia menyajikan gambaran sederhana tanpa betul-betul menganalisa teknik dan prosedur kedua survei tersebut.
Prediksi-prediksi pemilu adalah bagian dari koin mutakhir propaganda politik atau kampanye politik, sebagaimana Claude Robinson paparkan dalam bukunya, Straw Votes. Para politisi telah menggunakannya untuk menciptakan “psikologi menang”, guna mempertahankan moril para pekerja kampanye. Ketika berkembang survei-survei opini, yang didasarkan pada sampling yang kurang-lebih pilih-pilih, itu dipakai untuk menunjang prediksi-prediksi kampanye. Namun seiring kian akuratnya survei-survei modern, para propagandis politik jadi berhati-hati dengan itu. Sebuah survei yang pada bulan Agustus mungkin menunjukkan satu kandidat unggul, mungkin menunjukkan kandidat lawan unggul beberapa pekan kemudian. Alhasil, sebuah survei dapat berbalik dan menggigit si propagandis yang mengandalkan itu untuk menunjang pihaknya secara konsisten.
Judul asli | : | Polls, Propaganda, and Democracy<i=1dvIuAxaL-5pLane6K2Kp8A-DEWCdfFGI 336KB>Polls, Propaganda, and Democracy (1940) |
Pengarang | : | Institute for Propaganda Analysis |
Penerbit | : | Relift Media, Maret 2023 |
Genre | : | Politik |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |