Skip to content
Mendidik Anak SMP & SMA Untuk Mengenali dan Menangkal Propaganda – Relift Media

Mendidik Anak SMP & SMA Untuk Mengenali dan Menangkal Propaganda Bacaan non-fiksi komunikasi

author _Institute for Propaganda Analysis_; date _1938_ genre _Komunikasi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Hubungan antara kepercayaan dengan tindakan tidaklah sederhana. Orang-orang sering berubah kepercayaan tanpa perubahan perilaku yang lumayan, sementara mereka kadang mengadopsi bentuk-bentuk perilaku baru tanpa perubahan lumayan pada kepercayaan mereka. Buku Pegangan Guru Untuk Mendorong Studi Ilmiah Propaganda di Kalangan Generasi Muda.

Apa Itu Propaganda?

Sering timbul perdebatan seputar pertanyaan apa “sebetul­nya” propaganda. Biasanya para pendebat sepakat kata ini pasti memiliki makna “hakiki” meski mereka sering ber­selisih apa maknanya. Mereka jarang mengakui bahwa kata ini memiliki cakupan arti yang luas dan bahwa perdebatan biasanya muncul dari individu-individu atau kelompok-ke­lompok berlainan, terutama yang mendukung salah satu dari arti-artinya. Selain memiliki cakupan arti yang luas, kata propaganda juga mengandung kesan bahwa apapun yang dikenai kata ini adalah buruk. Alhasil, banyak orang akan keberatan jika kata ini dipakai untuk mendeksripsikan upaya-upaya meyakinkan orang lain agar mengadopsi kepercayaan atau mode aksi yang mereka setujui, tapi mereka akan sangat siap memakai kata ini untuk upaya-upaya meyakinkan orang lain agar mengadopsi kepercayaan dan mode aksi yang mereka tidak sukai. Tapi bahkan ketika orang-orang terbujuk untuk memberi perhatian pada arti kata ini, alih-alih kekuatan mengutuk­nya, kemungkinan besar akan muncul perselisihan pen­dapat. Perselisihan pendapat akan mengemuka begitu dinya­takan kata ini tidak bisa dipakai untuk upaya-upaya meng­ubah kepercayaan atau perasaan terlepas dari konsekuensi praktis yang sedang beraksi, atau bahwa ini tidak bisa dipakai untuk upaya-upaya meyakinkan orang-orang agar memper­cayai apa yang umumnya diakui sebagai fakta dan agar beraksi dengan cara-cara yang umumnya diterima sebagai benar. Disepakati luas bahwa kata propaganda bisa sepantasnya digunakan untuk mengacu pada upaya sadar untuk mem­pengaruhi orang lain terlepas dari apakah seruan ditujukan kepada akal atau emosi; apakah si propagandisnya jujur atau tak jujur; apakah motif-motifnya mementingkan diri sendiri atau untuk orang lain, apakah kemampuannya sebagai pro­pagandis bergantung pada kalkulasi sadar atau berasal dari suatu kekuatan tak sadar. Ketidaksepakatan yang sangat mencolok akan timbul se­putar pertanyaan apakah kata ini bisa sepantasnya diguna­kan untuk mengacu pada metode-metode yang diadopsi untuk mempengaruhi kepercayaan atau perasaan; untuk membujuk orang-orang akan apa yang umumnya diterima sebagai fakta (betapapun meragukan) dan untuk melakukan apa yang umumnya disetujui (betapapun kelompok mino­ritas mungkin tidak setuju); untuk mempengaruhi keper­cayaan dan tindakan orang lain oleh satu orang yang tidak membela sebuah kelompok atau organisasi. Hubungan antara kepercayaan dengan tindakan tidaklah sederhana. Orang-orang sering berubah kepercayaan tanpa perubahan perilaku yang lumayan, sementara mereka ka­dang mengadopsi bentuk-bentuk perilaku baru tanpa peru­bahan lumayan pada kepercayaan mereka. Sebuah masalah lanjutan timbul seputar hubungan antara kepercayaan dengan pernyataan lisan. Orang-orang sering tidak memper­cayai apa yang mereka bilang percayai. Ada perbedaan popu­ler antara “basa-basi” dan “kepercayaan hakiki”. Merenungkan permasalahan ini mungkin akan menun­tun sebagian besar orang—yang ingin mendefinisikan kata propaganda secara lebih tegas dan menekankan tujuan-tuju­an propaganda—untuk menerima definisi sebagai berikut: “Propaganda adalah upaya untuk mempengaruhi orang lain kepada suatu tujuan yang sudah ditetapkan dengan menyeru pikiran atau perasaan mereka.” Lumley menyatakan propaganda timbul kapanpun ada konflik di masyarakat. Jika konflik menghasilkan propa­ganda dan tekanan, maka sejarah pasti sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. Doob menggarisbesarkan apa yang dia anggap pendekatan sosiolog saat dia menyebut propaganda bagi sosiolog adalah sarana kontrol sosial atau metode kerja individu atau kelompok menuju kepentingannya sendiri. Psikolog sosial, tuturnya, mendefinisikan propaganda de­ngan menekankan efeknya terhadap individu dari segi “ke­cenderungan psikologis individu-individu ini”. Sebetulnya, sosiolog jangan hanya mempertimbangkan efek propaganda terhadap individu-individu; dia harus menentukan kemung­kinan efeknya terhadap masyarakat.

Peran Propaganda di Dunia Modern

Masyarakat berutang stabilitas dan juga permanensi tradisi-tradisinya pada proses pengajaran kaum muda untuk mene­rima adat-istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai orangtua mereka dan anggota masyarakat lain yang bersentuhan dengan mereka. Tujuan orangtua adalah mengajari anak-anak bagaimana hidup menurut tatakrama dan standar yang mereka yakini. Sepanjang usaha mereka diarahkan pada tujuan spesifik ini, orangtua dapat dideskripsikan sebagai propagandis, meski biasanya mereka tidak akan diakui se­bagai propagandis. Propaganda menjadi mencolok terutama pada masa-masa perubahan sosial pesat, dan khususnya pada masa kenaikan industrialisme. Progresi dari masyarakat feodal, di mana setiap orang mengakui kedudukannya, ke masyarakat ekspansif, di mana banyak kelompok baru timbul, menda­tangkan konflik-konflik penyerta. Kelas pedagang yang naik mendapati kepentingan kelompoknya terhalangi dalam beragam cara oleh bentuk-bentuk sosial, politik, ekonomi periode sebelumnya. Ada banyak tentangan untuk mereka atasi dalam memajukan kepentingan kelompok mereka. Tentangan ini diatasi sebagian dengan meningkatkan kekua­tan ekonomi mereka, tapi mereka harus berhasil meme­nangkan dukungan orang lain dengan mengubah pemikiran orang lain. Kelompok naik ini berkehendak membuat orang-orang yang sekepentingan dengan mereka menyadari ini. Mereka juga berkehendak meyakinkan orang-orang lain yang beda kepentingan bahwa mereka adalah sama. Di periode industri awal terdapat konflik kepentingan antara kelompok-kelompok minoritas yang bersaingan, con­tohnya tuan tanah dan industrialis. Konflik-konflik ini dipe­cahkan sebagian besar melalui propaganda yang menunjuk­kan kepada kelompok-kelompok berseteru ini kepentingan bersama mereka dan betapa pentingnya kepentingan-ke­pentingan tersebut. Propaganda dilakukan melalui percaka­pan, melalui pidato, dan melalui buku. Waktu itu massa rakyat adalah buta huruf, dan keteraniayaan sosial mereka umumnya dinyatakan secara eksplisit hanya melalui kata terucap. Propaganda-propaganda yang dialami populasi pekerja pada paruh pertama abad 19 berasal, di satu sisi, dari pembaharu sosial yang hendak mengubah struktur feodal yang dapat dikembangkan secara bebas oleh industrialisme, dan, di sisi lain, dari para pemimpin gereja dan negara yang percaya bahwa mereka berkepentingan memelihara per­adaban lama. Kemajuan industrialisme menuntut populasi dibuat melek huruf. Di Eropa, gerakan utama menuju pendidikan rakyat datang dari orang-orang yang melihat bahwa populasi buta huruf tidak efisien mengoperasikan mesin baru yang sedang diperkenalkan. Pengaruh-pengaruh ini memainkan peran di Amerika, meski itu sangat diperkuat oleh fakta bahwa kedudukan sosial dan ekonomi masyarakat bisa naik dengan mudah jika mereka mendapat pendidikan—sebuah fakta yang tentu saja menggiring mereka untuk menuntut pendidikan rakyat. Sebagai tambahan, terdapat kesadaran bahwa cita-cita demokrasi kita tidak bisa diwujudkan tanpa pendidikan luas. Hasil penting dari menyebarnya literasi adalah massa rakyat jadi dapat diakses oleh propaganda melalui kata ter­cetak. Ini menyusul perkembangan demokrasi yang mem­beri representasi setara kepada populasi pria, terkecuali tentu saja orang Negro. Dalam fase ini, partai-partai politik mulai mengandalkan pers sebagai sarana meraih dukungan untuk doktrin-doktrin mereka dan untuk meyakinkan masy­arakat agar mendukung gerakan-gerakan mereka. Di saat yang sama, terdapat peningkatan besar kekayaan yang diha­silkan oleh ekspansi industri, dan pasar-pasar jadi dibanjiri segala macam komoditas baru. Jadi memungkinkan untuk koran-koran dijual seharga kurang dari ongkos produksi mereka berkat dukungan ekonomi yang mereka peroleh dari para pengiklan yang menggunakan mereka sebagai sarana memperkenalkan produk kepada publik dan sebagai sarana meyakinkan orang-orang agar membelinya. Pada periode ini—yang di dalamnya kita hidup—faksi-faksi bertentangan dalam politik maupun niaga menjadi lebih banyak dan memasuki persaingan yang lebih kuat. Ke­berhasilan pengiklan, selain bergantung pada kualitas pro­duknya dan pada kemurahan produknya, bergantung luma­yan besar pada efektivitas metode periklanannya. Demikian pula, keberhasilan partai politik jadi bergantung bukan hanya pada pencapaiannya atau pada kepraktisan janji-janji­nya, tapi juga pada efisiensi metode propagandanya. Kemajuan teknologi semakin menyediakan instrumen bagi para pengiklan atau politisi atau anggota kelompok atau gerakan lain untuk bisa menyeru publik. Kedatangan foto­grafi, disusul proses percetakan blok, yang pada gilirannya disusul percetakan klise foto dan proses berwarna, telah me­mungkinkan propagandis dan khususnya pengiklan komer­sial untuk membuat seruan mereka lebih efektif dengan berpaling langsung ke citraan visual ketimbang harus meng­andalkan medium kata simbolis. Foto sebuah keluarga yang sedang bersenang-senang di tepi pantai jauh lebih kuat dalam membangkitkan keinginan untuk pergi ke tepi pantai daripada sebuah deskripsi—bahkan deskripsi yang liris. Foto tersebut memiliki kekuatan lebih jauh lantaran lebih efektif menarik orang-orang yang pendidikan baca-tulisnya belum terlalu jauh. Angka sirkulasi dua tabloid di New York City melampaui angka sirkulasi gabungan enam koran lain. Kata-kata hanya bisa membangkitkan citra gamblang di kalangan orang yang banyak membaca, yaitu membaca pengalaman-pengalaman yang mereka tahu berkaitan dengan situasi yang ditunjukkan oleh kata-kata itu. Ekstensi-ekstensi teknologi lanjutan telah menyediakan film bisu, dan belakangan film bersuara, yang, kendati me­miliki kekurangan karena hanya bisa dioperasikan di ruang-ruang khusus, tetap sangat efektif sebagai instrumen pro­paganda politik. Studi terhadap film berita mutakhir dan film fitur semisal “The March of Time” menunjukkan potensi-potensi propaganda film bersuara. Di California, potensi-potensi itu betul-betul direalisasikan ketika Upton Sinclair kalah pencalonan gubernur sebagian besar gara-gara pro­paganda film berita. Di sini kami ingin mengingatkan diri kami sendiri bahwa mengenali hal-hal yang menyimpang mencolok dari tradisi umum sebagai propaganda tidaklah sulit. Sebagian besar dari apa yang kita lihat di bioskop-bios­kop kita adalah praktisnya propaganda, cenderung memper­tahankan status quo dengan terus-menerus mempertegas kembali nilai-nilai dan cita-cita tradisional. Kemajuan teknologi juga telah mendatangkan radio yang menyediakan sarana bagi pengiklan dan politisi untuk bisa berbicara kepada jutaan orang di tempat duduk perapian mereka. Di sini lagi-lagi seruan yang diberikan dalam kon­teks omongan sehari-hari bisa menarik masyarakat terlepas dari tingkat dan kelengkapan pendidikan baca-tulis mereka. Melalui medium ini para demagog dan negarawan me­mangku kembali sebagian dari kekuasaan yang hilang akibat pertambahan besar populasi dan unit-unit politik.

Peran Propaganda di Negara Demokrasi

Kemajuan teknologi menghasilkan perkembangan industri skala besar, yang pada gilirannya memperbesar konflik-kon­flik di dalam masyarakat modern dan mempertajam propa­ganda-propaganda. Hari ini kita melihat banyak konflik di dalam masyarakat kita—konflik antara kelompok pekerja dan kelompok pemilik, antara kelompok pekerja dan kelompok pekerja lain, antara kelompok pemilik dan kelompok pemilik lain, antara petani dan konsumen, antara pekerja dan petani, antara petani dan pengusaha pabrik. Pertumbuhan teknologi juga membuat masyarakat mo­dern jauh lebih rumit, lebih rentan terhadap dislokasi [sosial] dan terhadap periode depresi, periode pengangguran, dan periode kelaparan—yang efek-efeknya bertanggungjawab atas bertambahnya konflik di dalam masyarakat. Tapi teknologi sebagian besar bertanggungjawab juga atas perkembangan demokrasi di Amerika Serikat. Pertama, ekspansi teknologi menuntut dan hidup dari literasi—literasi di kalangan jutaan pekerja. Perkembangan sistem sekolah negeri di negara ini menjawab permintaan akan pria dan wanita melek huruf dari sektor teknologi yang bertumbuh. Kedua, kemajuan pesat teknologi meruntuhkan perbedaan kelas; itu menciptakan kondisi untuk sebuah populasi yang cair dan bergerak. Selama ekspansi seratus tahun terakhir dan lebih, para pekerja Amerika merasa mudah untuk naik dari satu kelas ke kelas lain. Seorang pembuat sepatu atau wiraniaga sepatu bisa menjadi, dalam kurun separuh umur­nya, pemilik jaringan toko besar; seorang tukang bata bisa menjadi bankir terkemuka di Northwest. Di masa-masa dulu tuntutan kelas-kelas bawah bisa di­abaikan; mereka tak punya kekuatan, dan terlebih mereka “sadar posisi”. Kemelekhurufan rakyat Amerika memberi mereka kekuatan sebagai pekerja, sebagai konsumen, dan sebagai pemilik suara. Kekuatan mereka yang bertambah dan kemelekhurufan mereka (dua-duanya bisa dikaitkan dengan kemajuan teknologi) berkontribusi pada pertum­buhan usaha-usaha dan teknik-teknik propaganda. Hari ini, dilakukan seruan propaganda yang kuat untuk mendukung mereka—sebagai pekerja, sebagai konsumen, sebagai pemi­lik suara. Di sebuah negara demokrasi seperti AS terdapat perang propaganda—“tarung bebas” di mana banyak kelompok memperebutkan supremasi di bidang komersial, politik, keagamaan, dan sosial. Setiap empat tahun dalam kampanye pilpres, kita melihat pertempuran politik didramatisir—per­tempuran memperebutkan kontrol blok-blok besar suara. Salah satu senjata utama yang dipakai untuk meraih duku­ngan jutaan suara ini adalah propaganda. Selain dalam kampanye pemilu, propaganda juga senjata utama dalam konflik-konflik buruh-modal. Sebagai contoh, kemenangan seorang pemberi kerja dalam mogok kerja seringkali bergantung pada kesuksesannya dalam meng­galang dukungan kelompok-kelompok masyarakat lain lewat propaganda. Dia sering memakai propaganda untuk mendis­kreditkan para pemogok. Demikian pula, kemenangan para pegawai dalam mogok kerja biasanya bergantung pada ke­suksesan mereka dalam menggalang dukungan kelompok-kelompok lain lewat propaganda [negatif] terhadap pemberi kerja dan dengan menciptakan opini publik dan aksi yang simpatik kepada tuntutan dan program mereka. Namun, di negara demokrasi sekalipun, konflik antara modal dan buruh tidak selalu diselesaikan oleh arus bebas propaganda. Ketiadaan uang untuk mendukung kampanye propaganda mungkin menghalangi; pemerintah mungkin kadang beraksi sebagai “wasit”; kadang lagi mungkin diambil jalan pemaksaan. Tapi kesuksesan kedua pihak bergantung pada dua hal: (1) kesuksesan propaganda mereka, dan (2) kondisi materil yang di dalamnya dan melaluinya propaganda mereka beroperasi. Dalam hal ini, kondisi materil dapat dianggap sebagai pro­paganda. Sebagai contoh, periode depresi itu sendiri sering beroperasi sebagai propaganda. Interaksi kondisi materil dan propaganda kelompok-kelompok terorganisir dapat diilus­trasikan dalam contoh berikut: Pada 1936, City Projects Council di New York City, bagian dari program bantuan pengangguran nasional besar, me­nyiapkan slip untuk diberikan oleh anggota mereka kepada para pedagang dan pemilik toko ketika membayar pembe­lian. Pada slip ini tercetak informasi bahwa uang yang dibayarkan untuk barang-barang adalah uang “bantuan”. Dengan cara itu, Council mencoba menunjukkan kepada pe­milik toko hubungan langsung antara penjualannya, pembe­lian mereka, belanja pemerintah, dan untuk menggalangnya ke pihaknya—ke pelanjutan bantuan pemerintah. Tujuan mereka adalah untuk menunjukkan kepada si pedagang ma­nunggalnya kepentingan yang ada di antara mereka (para pekerja nganggur) dan dia sendiri (perwakilan kelas mene­ngah). Periode depresi yang menghasilkan program pengang­guran nasional Presiden Roosevelt membuat kaum pekerja dan kelas menengah—pedagang dan petani—lebih sepakat mengenai kesejahteraan ekonomi mereka. Secara umum mereka menyepakati perlunya program belanja pengang­guran besar pemerintah. Berkebalikan dengan negara demokrasi adalah negara fasis, di mana propaganda adalah senjata yang disiapkan hanya oleh negara. Negara menggunakan senjata ini secara eksklusif; itu adalah monopoli pemerintah. Jerman Nazi, con­tohnya, menggunakan senjata tersebut untuk mendatang­kan ketaatan pada programnya. Kelompok-kelompok masya­rakat Jerman yang kepentingannya dirugikan oleh program Nazi tidak bisa menyeru kelompok-kelompok lain. Peme­rintah tidak mengizinkan propaganda apapun, tentangan apapun, terhadap propagandanya sendiri. Ia bahkan mela­rang penerimaan propaganda dari negara-negara lain lewat radio. Di negara-negara totaliter—Jerman, Italia, dan Rusia—propaganda dibekingi dengan pemaksaan. Kita kadang me­nemukan kombinasi propaganda dan pemaksaan bahkan di negara demokrasi. Kadang-kadang di AS, pada beberapa tahun terakhir, seorang walikota sebuah kota atau gubernur sebuah negara bagian, di mana terjadi mogok massal, me­nguatkan propaganda para pemogok atau pemberi kerja dengan menggunakan wewenang eksekutifnya, dibekingi kekuatan polisi atau Garda Nasional. Kapanpun ini terjadi, propaganda di sebuah negara demokrasi memiliki kemiripan dengan propaganda fasisme. Propaganda di AS tidak demokratis dalam dua hal lain: pertama, dalam arti bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok di masyarakat Amerika yang memiliki paling ba­nyak uang bisa memperoleh fasilitas terbaik untuk melak­sanakan propaganda mereka—iklan-iklan halaman penuh di surakabar dan majalah itu mahal biayanya, “waktu meng­udara” tidak terjangkau oleh sumberdaya keuangan banyak individu dan kelompok; dan kedua, melalui penyensoran terhadap beberapa propaganda. Sensor dan kekerasan ber­sekutu erat dalam praktek dan dalam aksi anti-demokratis. Keduanya biasanya bergandengan tangan. Di AS kita melihat kombinasi ini di daerah kekuasaannya Huey Long, Louisiana. Penerapan pemaksaan jenis apapun, semisal penyensoran, adalah gerakan menjauh dari demokrasi. Sebagian beragumen bahwa banyaknya propaganda yang berkonflik di sebuah negara demokrasi membuahkan kebi­ngungan dan, karenanya, non-aksi—khususnya ketika diper­lukan aksi segera. Dan memang benar bahwa negara-negara demokrasi lebih lambat beraksi daripada negara-negara totaliter, di mana keinginan satu orang—atau satu kelompok kecil orang-orang—adalah final, terlepas dari apa yang di­inginkan para warganya. Namun, ini adalah harga yang harus kita bayar untuk demokrasi. Kita tidak beraksi sama cepatnya—tapi, minimal secara teoritis, ketika kita betul-betul beraksi, aksi itu selaras dengan keputusan mayoritas besar masya­rakat, keputusan yang dicapai setelah masyarakat punya ke­sempatan untuk secara leluasa mempertimbangkan semua sisi persoalan, semua propaganda. Sebagaimana sudah diuraikan, untuk alasan tertentu, pada prakteknya ini tidak selalu berjalan; tapi memastikan­nya berjalan adalah tugas utama sekolah-sekolah.

Pentingnya Membuat Generasi Muda Kritis Terhadap Pihak Berwenang dan Mampu Mengenali Propaganda

Dapat dikatakan bahwa pendidikan, meski itu telah meng­ajari orang-orang membaca dan menulis, meski itu telah memberi mereka pengetahuan tentang banyak subjek ter­masuk subjek sains, belum menghasilkan sikap kritis dalam generasi muda terhadap apa yang dikatakan kepada mereka atau terhadap pihak berwenang yang meminta ketaatan mereka. Kelambatan antara kemampuan manusia untuk melihat hal-hal dan peristiwa-peristiwa secara lebih jernih terutama berbanding terbalik dengan kemampuannya yang mening­kat untuk mengendalikan lingkungan fisik dan materilnya. Demi memuaskan kebutuhan dan keinginannya, manusia mencapai kemajuan-kemajuan seperti: dari gua ke rumah modern; dari pemakan kerang, pemburu, penggembala, dan nomaden ke petani, pekerja pabrik, dan pengusaha pabrik; dari gerobak sapi ke pesawat udara; dari kuda dan kereta kuda ke mobil efisien; dari kano batang pohon ke Queen Mary. Maka, mesti ada peningkatan konstan dalam kemampuan manusia untuk melihat hal-hal dan peristiwa-peristiwa se­cara lebih lengkap. Pikirkan: daya persepsi instrumen sain­tifik yang digunakan dalam penyelidikan sistematis; bagai­mana daya persepsi orang-orang hari ini ditingkatkan oleh buku, suratkabar, telepon, telegram, radio, mikroskop, teles­kop, dan oleh televisi sampai taraf terbatas. Sejarah peningkatan persepsi dapat diukur dengan membandingkan peningkatan persepsi terhadap “bumi” oleh: suku-suku zaman pertengahan, Columbus, Jefferson, Perry, kartografer modern, geolog. Namun, sebetulnya terdapat kelambatan besar antara pe­rubahan-perubahan fisik dan kesadaran dan pemahaman manusia tentang perubahan itu, dan terdapat kelambatan lebih besar lagi antara kondisi-kondisi yang berubah di dunia dan penyesuaian aksi manusia dengan kondisi-kondisi ter­sebut. Semakin cakap dia menyesuaikan ide-ide dan aksi-aksinya dengan perubahan-perubahan di dunianya dan di organisasi ekonomi dan sosial, semakin bagus dia menye­suaikan diri dengan kenyataan “masa kini”. Ketika dia tidak melakukan penyesuaian-penyesuaian ini, dia sedang men­coba menangani setup masa kini dan masa depan dengan ide-ide dan aksi-aksi yang ditimbulkan oleh dan diadaptasi untuk setup berbeda. Sehubungan dengan ini, dikatakan bahwa tradisi menjadi pedoman dan tuhannya, dan nalar menjadi penjahat dan pengkhianat. Generasi muda seharusnya mulai mengetahui fakta-fakta dasar sebagai berikut: propaganda memainkan peran amat penting dalam kehidupan kita semua. Propaganda ini ada banyak; bangsa kita dan dunia dipenuhi oleh propaganda dan oleh konflik propaganda. Mereka datang dari kelompok ter­organisir atau wakil-wakil kelompok terorganisir. Mereka menyentuh setiap aspek kehidupan kita. Utamanya, mereka bersifat komersial, politik, keagamaan. Mereka sering me­nentukan merek pasta gigi yang kita pakai, jenis pakaian yang kita kenakan, tempat kita bersekolah, apa yang kita pikirkan dan lakukan tentang UU New Deal-nya Presiden Roosevelt, pemilihan calon walikota kita, atau perang di China atau Spanyol. Kita diumpani propaganda oleh partai-partai politik kita, sekolah-sekolah kita, gereja-gereja kita, klub-klub kita, suratkabar-suratkabar dan majalah-majalah kita, radio-radio dan film-film kita, dan bahkan buku-buku teks kita. Apapun yang dilakukan untuk membuat generasi muda kritis terhadap pernyataan samar atau terhadap otoritas yang meminta dukungan mereka, itu memberi kontribusi penting pada peningkatan persepsi mereka terhadap dunia tempat mereka hidup. Jika generasi muda mulai memahami peran propaganda dalam kehidupan mereka—dan kehidu­pan semua orang di masyarakat modern—kelambatan dalam daya persepsi manusia akan lumayan berkurang. Efek propaganda terhadap audiens tak kritis membahaya­kan demokrasi, lantaran itu membuka jalan bagi seorang demagog fasis. Para propagandis menggunakan trik-trik menyesatkan karena mereka tahu trik-trik ini akan bekerja. Trik-trik ini tidak akan bekerja jika orang-orang dididik untuk menantang dan untuk mempertanyakan—untuk membedakan antara propaganda dan bukti, antara propa­ganda dan narasumber, antara propaganda dan hasil akhir. Untuk melakukan ini, penting sekali para siswi dan siswa mengetahui bahwa muslihat-muslihat propaganda bergan­tung pada: (1) Ketidaktepatan omongan. Generasi muda mesti bisa bertanya, “Apa artinya ini? Apa yang sedang dinyatakan oleh klaim ini?” Sebagai contoh, ketika mereka ditanya dengan pertanyaan semisal “Apakah Jepang ras inferior?”, mereka mesti menolak menjawab lantaran samarnya pertanyaan tersebut. Justru, mereka mesti bertanya, “Inferior? Dalam hal apa? Perawakan? Mentalitas? Budaya? Status ekonomi?” Mereka bisa membandingkan pertanyaan semacam itu dengan slogan-slogan iklan familiar semisal “Bir adalah ter­baik.” Apa yang dimaksud dengan “terbaik”? “Terbaik” untuk apa? Kenapa “terbaik”? (2) Ketiadaan bukti. Ketika generasi muda ditanya dengan pertanyaan semisal “Apakah Negro lebih cerdas daripada orang kulit putih?”, mereka mesti menyadari bahwa mereka hanya dibenarkan dalam ide apapun yang mereka pegang jika mereka mengetahui bukti, angka, dan statistik—atau jika mereka mengetahui narasumber untuk pernyataan demi­kian. Dan, narasumber pun mesti dipertanyakan secara ilmiah. Pendekatan semacam ini lantas membawa ke pemerik­saan narasumber, ke kriteria narasumber yang “bagus”. Beberapa kriteria yang diusulkan adalah: (1) Apakah nara­sumber tersebut ilmiah dalam metode-metodenya; yakni apakah dia mengawali dengan hipotesis, yang hanya dia pegang sebagai hipotesis sampai itu dibuktikan oleh riset—fakta, angka, statistik; (2) Apakah narasumber punya kepen­tingan pribadi penting yang dipertaruhkan? Dia mungkin punya dan tetap menjadi narasumber bagus, tapi fakta ada­nya kepentingan pribadi penting sering berakibat melalaikan kenarasumberannya. Penerimaan umum orang-orang awam terhadap seorang narasumber bukanlah sebuah kriteria andal. Narasumber populer dapat dibuat populer melalui propaganda itu sendiri. Melalui publisitas di media cetak dan lisan dan melalui efek-efek psikologis pengulangan, seseorang berkemampuan ter­batas dan berpengetahuan medioker dalam bidang tertentu mungkin jadi diterima oleh banyak orang sebagai seorang narasumber. Namun, jika seseorang diakui secara umum sebagai seorang pakar oleh orang-orang lain di bidangnya, ada alasan untuk menerimanya sebagai narasumber. Kolega-koleganya yang punya pengetahuan untuk meng­evaluasi dan menilai temuannya, tulisannya, pidatonya, telah mengecek dan mengecek ulang itu.
Judul asli : Propaganda: How to Recognize It and Deal with It<i=1UznUwavGetlyTWF_ggm6xVatKvnJ8okg 611KB>Propaganda: How to Recognize It and Deal with It
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Maret 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Mendidik Anak SMP & SMA Untuk Mengenali dan Menangkal Propaganda

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)