Skip to content
Ketika Wanita Menjadi Jurnalis – Relift Media

Ketika Wanita Menjadi Jurnalis Bacaan non-fiksi jurnalisme

author _James Matthew Barrie_; date _1893_ genre _Jurnalisme_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Pernyataan ini bakal terdengar dilebih-lebihkan, kalau saja tidak diketahui luas bahwa Jurnalisme Baru senantiasa mengendus skandal-skandal, dan bahwa para perempuan adalah pelayan terbaiknya. Sungguh beruntung perempuan-perempuan yang kini menghasilkan atau setengah menghasilkan penghidu­pan dari jurnalisme, karena kebanyakan dari mereka tidak akan diukur dengan nama buruk. Banyak jurnalis perem­puan yang namanya tidak menjadi buah bibir sedang mem­buktikan bahwa pers memberikan pekerjaan yang dalam segala hal sama terhormatnya untuk mereka seperti untuk kaum pria. Sampai tempo hari, opini hampir merata di negeri ini bahwa seorang perempuan tidak bisa mendapat nafkah­nya secara patut kecuali jika dia menempuh suatu profesi tertindas, misalnya profesi pengasuh, di mana dia tetap santun karena tidak bisa menjadi kurang ajar dengan upah­nya. Dengan kemandirian, sifat kewanitaannya bakal ming­gat. Rantai-rantai prasangka ini sedang patah, dan men­jelang permulaan abad berikutnya kita pasti akan mene­mukan bahwa jurnalis perempuan, melalui teladan kehidup­annya, telah berbuat sesuatu untuk mematahkan itu. Bahkan orang-orang yang mengeluhkan politisi perempuan, atau menjulurkan lidah mereka (tanpa diminta) kepada dokter perempuan, atau menggelengkan kepala kepada aktris, akan bisa mencela jurnalisme sebagai profesi tak wanita lantaran publisitasnya. Jurnalisme yang paling cocok untuk perem­puan bisa dikerjakan di rumah dan secara anonim, dan itu salah satu keunggulannya. Namun, ternyata—meski ini cuma kejadian saat ini—jurnalis-jurnalis perempuan paling ter­kemuka sedang berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan argumen-argumen ini dengan membuat diri mereka sama bisingnya dengan orgel jalanan. Jurnalisme Baru telah menemukan bahwa beberapa pe­rempuan yang dirasa berguna siap untuk “berbuat apa saja”. Sebagai contoh, ada Nona Nellie Fulan dari Amerika; tipe perempuan yang tumbuh besar sejak Martin Chuzzlewit di­minta memandang karakter-karakter kenamaan di negeri itu. Nona Nellie telah disyut di seluruh dunia oleh sebuah koran New York, yang berpendapat—mungkin sudah sepan­tasnya—bahwa karena dia sudah mengalahkan “rekor” Jules Verne, seorang perempuan Amerika telah mengelilingi dunia dalam kurang dari 80 hari. Namun, orang-orang berpikiran sehat—mereka yang bisa tetap tenang ketika seorang pah­lawan naik ke atas Niagara dengan sebuah tong, dan sadar bahwa cuma tong itu yang layak dikagumi—akan setuju bahwa jika hal semacam ini yang diharapkan dari para jurnalis perempuan, maka jurnalisme hampir bukan bidang untuk saudari-saudari mereka. Tentu saja, Nona Nellie, se­jauh yang kita tahu dari sisi ini, bukan jurnalis sama sekali. Dia berperilaku sebagai “artis” balai musik dan hanya dapat disamakan dengan perempuan yang berjalan di atas tali tegang atau unggul dalam “menendang tinggi”. Seperti para rivalnya ini, dia sangat berani, dan tak banyak lagi yang perlu dikatakan tentangnya. Banyak sekali penendang tinggi dan impersonator pria di negeri ini siap berangkat keliling dunia besok “dalam kostum” demi mengalahkan rekor Nona Nellie, jika Jurnalisme Baru kita mau mengirim mereka. Tapi, untungnya, Jurnalisme Baru negeri ini sampai sekarang belum menjadi kesuksesan finansial. Meski demikian, apa saja tidak disukai dalam hal-hal yang bisa dilakukan oleh para perempuan Jurnalisme Baru. Sudah diketahui umum mereka adalah pewawancara terbaik, sebab mereka bisa pergi ke mana kaum pria tidak dipersilakan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang dengannya pewa­wancara pria sekalipun bakal tersipu. Selebriti yang kamar kerjanya diterobos masuk oleh pewawancara perempuan berada dalam posisi canggung. Dia berhak menyuruh para pembantu untuk mengusir pewawancara pria dengan kaki mereka; tapi yang ada adalah pewawancara perempuan, dan pertanyaannya adalah bagaimana mengusirnya. Bagaimana dia masuk? Barangkali berpura-pura sebagai orang lain, jika memang dia tidak berjinjit di belakang seorang tamu. Dia mungkin diutus untuk pekerjaan itu setelah pria gagal men­dapat jalan masuk, dan dia bertekad untuk berhasil. Dia mungkin menunggu tenang berjam-jam sampai melihat pintu terbuka sedikit. Jika korbannya adalah seorang pe­ngacara, dia akan menggunakan nama salah satu kliennya; jika seorang dokter, dia akan menyebut dirinya pasien; jika seorang politisi, dia akan berpura-pura sebagai isteri dari agennya. Pendek kata, tidak ada kebohongan yang tidak akan dia pergunakan, dan hati nuraninya sudah sangat mati sehingga dia membanggakan metode-metodenya ketika itu berhasil. Sekarang dia sudah menguasai korbannya, dan korbannya berkata sopan kepadanya bahwa dia harus me­nolak diwawancara. Lantas dia duduk dan bersikukuh me­wawancarainya. Jalan terbijak si selebriti adalah tidak men­jawab pertanyaan apapun; tapi itu jalan yang tidak mudah ditempuh, sebab dia ahli dalam membuat jengkel. Sekalipun si selebriti membisu kepadanya, dia memeriksa ruangan. Dia “menghirup” furnitur dan pakaian “tuan rumah”-nya, dan menyambar kertas-kertas yang berserakan di meja tulisnya. Dalam perjalanan ke luar, dia mungkin bernasib mujur me­lihat anak korbannya, dan dia langsung melakukan peme­riksaan silang kepadanya. Para pembantu juga didesak. Para pewawancara perempuanlah yang bertanya kepada korban mereka apakah benar dia sedang mengajukan perceraian, dan apa bukti yang dia miliki, dan bangku mana yang di­lempar isterinya kepadanya. Pernyataan ini bakal terdengar dilebih-lebihkan, kalau saja tidak diketahui luas bahwa Jur­nalisme Baru senantiasa mengendus skandal-skandal, dan bahwa para perempuan adalah pelayan terbaiknya.
Judul asli : Woman and the Press<i=1uCd41tpp3RN71hDkQFsq5TjeGXOKSrgv 206KB>Woman and the Press
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Januari 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Ketika Wanita Menjadi Jurnalis

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)