Skip to content
Misiku ke Volga – Relift Media

Misiku ke Volga Bacaan non-fiksi petualangan

author _Ibnu Faḍlān_; date _921_ genre _Petualangan_; category _Memoir_; type _Nonfiksi_ “Aku bisa melihat kerajaan Islam sedang berkembang dan kekayaan kaum Muslim diperoleh secara halal. Itulah kenapa aku meminta itu. Jika aku ingin membangun benteng dengan perak dan emasku sendiri, aku bisa saja melakukannya. Aku ingin uang Amirul Mukminin membawa berkah padaku.” Dalam surat dari al-Hasan bin Yiltawar, raja kaum Saqalibah, yang diterima oleh Amirul Mukminin al-Muqtadir, sang raja meminta al-Muqtadir untuk mengirim orang-orang untuk mengajarinya hukum dan memperkenalkan kepadanya atur­an Islam berdasarkan syariat, dan untuk membangun se­buah masjid dan sebuah mimbar dari mana dia bisa meng­umumkan nama al-Muqtadir ke seluruh kerajaannya. Dia juga memohon kepadanya untuk membangun sebuang ben­teng untuk melindunginya dari raja-raja yang menentang­nya. Semua permintaannya dikabulkan. Perwakilan raja kaum Saqalibah di istana adalah Nadzir al-Harami. Aku, Ahmad bin Fadlan, diutus untuk membaca­kan surat al-Muqtadir kepadanya, untuk mempersembahkan kepadanya hadiah-hadiah resmi yang ditunjuk, dan untuk mengawasi para yuris dan pengajar. Nadzir mengidentifikasi besaran uang yang harus dibawakan kepadanya, untuk me­nutupi biaya pembangunan dan untuk menggaji para yuris dan pengajar. Biaya-biaya ini akan ditutupi oleh Arthakhu­shmithan, salah satu tanah milik Ibnu al-Furat di Khwarazmi. Utusan dari raja kaum Saqalibah untuk khalifah adalah sese­orang bernama Abdullah bin Bashtu al-Khazari. Utusan kha­lifah adalah Sawsan al-Rassi. Maula Sawsan adalah Nadzir al-Harami. Takin al-Turki, Bars al-Saqlabi, dan aku menyertai­nya. Seperti kukatakan, aku ditugasi tanggungjawab berikut: aku mempersembahkan kepadanya hadiah-hadiah resmi untuknya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, dan panglima-panglimanya. Aku juga menyerahkan obat yang di­minta sang raja, secara tertulis, dari Nadzir. Kami berangkat dari Baghdad, Kota Damai, pada hari Kamis, 12 Safar 309 [21 Juni 921]. Kami menginap satu hari di Nahrawan, lalu berkuda dengan susah-payah sampai kami tiba di al-Daskarah, di mana kami menginap tiga hari. Lalu kami berangkat tanpa menunda-nunda atau menyimpang dan datang ke Hulwan, di mana kami menginap dua hari. Dari sana kami berangkat ke Qirmisin, di mana kami me­nginap dua hari lagi, dan selanjutnya tiba di Hamadzan, di mana kami menginap tiga hari. Kami berangkat ke Sawah dan, setelah dua hari, lanjut ke Rayy, di mana kami menginap sebelas hari, sampai Ahmad bin Ali, saudaranya Su’luk, me­ninggalkan Khuwar al-Rayy. Lalu kami berangkat ke Khuwar al-Rayy dan tiga hari kemudian ke Simnan, terus ke al-Damghan, di mana kafilah kami kebetulan bertemu dengan Ibnu Qarin, yang sedang berdakwah mewakili sang dai. Kami menyembunyikan jati diri kami dan bergegas ke Nishapur, di mana kami bertemu Hammawayh Kusa, polisi lapangan Khurasan. Lili bin Nu’man baru saja terbunuh. Lalu kami ber­lanjut ke Sarakh, Marw, dan Qushmahan, di tepi gurun Amul. Kami menginap tiga hari di sana dan berganti dengan unta untuk perjalanan gurun. Kami menyeberangi gurun menuju Amu dan kemudian tiba di Afrn, pos terdepan Tahir bin Ali, di sisi lain sungai Jaihun.

Bukhara

Kami melewati Baykand menuju Bukhara, di mana kami langsung mendatangi al-Jayhani, menterinya emir Khura­san, yang di sana dikenal sebagai syeikh kepala. Dia sudah memesankan tempat tinggal untuk kami dan sudah me­nunjuk seseorang untuk melayani semua keperluan dan urusan kami dan memastikan kami tak mengalami kesulitan dalam mendapatkan apa yang kami butuhkan. Setelah bebe­rapa hari, kami mengadakan pertemuan dengan Nasr bin Ahmad. Kami mendapati dia masih anak-anak dan bahkan tak memiliki janggut. Kami menyambutnya sebagaimana layaknya seorang emir. Dia menyuruh kami duduk. Kata-kata pertamanya adalah: “Bagaimana kabar maulaku, Amirul Mukminin, ketika kalian meninggalkannya? Semoga Allah memberinya umur panjang dan menjaganya, rombongan­nya, dan sahabat-sahabat jiwanya.” “Dia sehat,” jawab kami. Dia berkata, “Semoga Allah menambah kesehatannya!” Kemudian dibacakan surat kepadanya. Itu memberi instruksi berikut: tanah Arthakhushmithan harus dipindahtangankan oleh al-Fadl bin Musa al-Nasrani, agennya Ibnu al-Furat, ke­pada Ahmad bin Musa al-Khwarazmi; kami harus dibekali dengan dana, dengan sebuah surat kepada gubernurnya di Khwarazmi yang isinya memerintahkannya untuk tidak menghalangi kami, dan dengan sebuah surat kepada gar­nisun di Gerbang Bangsa Turki, yang akan membekali kami dengan kawalan dan tidak menahan kami. “Di mana Ahmad bin Musa?” tanyanya. “Kami meninggalkan Kota Damai tanpa dia, dan dia berangkat empat hari kemudian,” kami jawab, dan dia berkata, “Aku mendengar dan mematuhi perintah-perintah maulaku, Amirul Mukminin, semoga Allah mem­berinya umur panjang!” Al-Fadl bin Musa al-Nasrani, agennya Ibnu al-Furat, mendengar kabar angin tentang ini dan memikirkan rencana untuk menangani Ahmad bin Musa. Dia menulis kepada para deputi inspektur jalan raya Khurasan, di distrik militer Sarakhs-Baykand, sebagai berikut: “Suruh mata-mata kalian memantau Ahmad bin Musa di karavanserai-karavanserai dan pos-pos pantau. Deskripsi dirinya terlampir. Orang yang menangkapnya harus menahannya sampai kita menentukan hukuman secara tertulis.” Ahmad bin Musa kemudian di­tangkap di Marw dan dirantai. Kami menginap dua puluh delapan hari di Bukhara. Abdullah bin Bashtu dan para anggota lain dari rombongan kami terus-menerus berkata, “Jika kita berlama-lama, serangan musim dingin akan mem­buat kita akan melewatkan penyeberangan. Ahmad bin Musa akan menyusul kita dan akan bergabung dengan kita.” Al-Fadl bin Musa menganjurkan ini. Aku memperhatikan di Bukhara dirham-dirham dibuat dari logam-logam warna yang berbeda. Salah satu dari mereka, dirham ghitrifi, dibuat dari kuningan merah dan kuning. Itu diterima berdasarkan nilai numeris ketimbang bobot; seratus dirham ghitrifi setara dengan satu dirham perak. Sebagai mahar untuk kaum wanita, mereka membuat ketentuan berikut: fulan bin fulan menikahi fulanah binti fulan, dengan beribu-ribu dirham ghitrifi. Ini juga berlaku pada pembelian tanah dan pembelian budak—mereka secara rinci menyebutkan dirham ghitrifi. Mereka memiliki dirham-dirham lain, dibuat hanya dari kuningan kuning, di mana empat puluh dirham ini setara dengan satu danaq, dan satu jenis dirham kuningan kuning lain yang disebut samarqandi, di mana enam samarqandi setara dengan satu danaq.

Khwarazm

Aku mendengarkan peringatan Abdullah bin Bashtu dan lainnya perihal serangan musim dingin. Kami meninggalkan Bukhara dan kembali ke sungai, di mana kami menyewa perahu menuju Khwarazm, lebih dari dua ratus farsakh dari tempat kami menyewa perahu. Kami bisa mengadakan per­jalanan hanya setengah hari. Perjalanan seharian adalah mustahil dikarenakan hawa dingin. Ketika kami sampai di Khwarazm, kami dipertemukan dengan emir, Muhammad bin Iraq Khwarazm-Shah, yang memberi kami sambutan hangat dan ramah dan tempat menginap. Tiga hari kemudian dia memanggil kami, menanyai kami soal keinginan untuk memasuki kerajaan bangsa Turki. “Aku tak bisa biarkan kalian lakukan itu,” katanya. “Aku tak boleh biarkan kalian mempertaruhkan nyawa. Aku berpikir semua ini muslihat yang dirancang oleh bujang ini.” (Maksudnya Takin.) “Dia dulu tinggal di sini sebagai pandai besi, ketika mengelola perdagangan besi di negeri kaum kafir itu. Dia orang yang membohongi Nadzir dan memaksanya untuk bicara kepada Amirul Mukiminin dan untuk membawa surat raja Saqalibah kepadanya. Yang mulia emir,” (maksudnya emir Khurasan) “lebih berhak untuk menyerukan nama Amirul Mukminin di luar sana, jika saja dia bisa menemukan cara aman untuk melakukannya. Dan lagi ada seribu suku kafir di jalan kalian. Ini jelas-jelas penipuan yang diselinapkan kepada khalifah. Demikianlah nasehatku. Sekarang aku tak punya jalan lain selain menulis kepada yang mulia emir, agar dia bisa me­nulis kepada khalifah (semoga Allah memberinya kekuatan!) dan berkonsultasi dengannya. Kalian akan tetap di sini sam­pai jawaban datang.” Kami membiarkan situasi begitu saja tapi kemudian kembali dan menekannya. “Kami membawa perintah dan surat Amirul Mukiminin, jadi mengapa kau harus berkonsultasi?” kami bilang. Pada akhirnya, dia mem­beri kami izin dan kami berlayar di sungai dari Khwarazm ke al-Jurjaniyah. Jarak melalui air adalah lima puluh farsakh. Aku memperhatikan dirham-dirham di Khwarazm di­campuri dan tidak seharusnya diterima, karena terbuat dari timah dan kuningan. Mereka menyebut dirham mereka tazijah. Beratnya empat setengah danaq. Para penukar uang menukartambah tulang domba, gasing, dan dirham. Mereka adalah orang-orang paling aneh dalam cara berbicara dan berperilaku. Ketika berbicara, mereka terdengar seperti burung jalak yang menyeru. Ada sebuah desa berjarak satu hari yang disebut Ardwa, yang penduduknya dinamakan al-Kardaliyah. Ketika berbicara, mereka terdengar persis seperti katak yang berkuak. Di akhir shalat mereka mengingkari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridhai­nya.

Al-Jurjaniyyah

Kami menginap beberapa hari di al-Jurjaniyah. Sungai Jaihun membeku sama sekali, dari hulu sampai hilir. Esnya setebal tujuh belas jengkal. Kuda-kuda, bagal-bagal, keledai-keledai, dan gerobak-gerobak menggunakannya seperti jalan dan itu tidak bergeming—bahkan tidak berkeriat-keriut. Itu tetap begitu selama tiga bulan. Kami mengira negeri yang sedang kami datangi adalah gerbang “dingin jahanam” menuju ke­dalaman Neraka. Ketika salju turun, itu disertai badai salju liar yang menderu. Ketika orang-orang di sini ingin menghormati satu sama lain dan bersikap dermawan, mereka mengatakan: “Datang­lah ke rumahku agar kita bisa mengobrol; aku punya api yang menyala.” Ini adalah kebiasaan mereka untuk mengungkap­kan kedermawanan dan keramahan tulus. Allah Yang Maha Agung telah berbuat baik kepada mereka dengan menjadi­kan kayu bakar berlimpah dan sangat murah; segerobak sarat kayu tagh hanya berbiaya dua dirham lokal, dan gerobak-gerobak mereka bisa memuat sekitar tiga ribu ratl. Normalnya, pengemis-pengemis mereka tidak berdiam di luar pintu tapi masuk ke rumah, duduk sebentar, dan ber­diang dekat api. Lalu mereka berkata, “Bakand,” yang artinya “roti”. Kami tinggal di al-Jurjaniyah untuk waktu lama: beberapa hari Rajab dan sepanjang Sya’ban, Ramadan, dan Syawal. Kami tinggal di sana begitu lama karena cuaca begitu dingin. Bahkan, aku dengar, dua orang habis mengendarai dua belas unta untuk mengangkut muatan kayu bakar dari hutan ter­tentu tapi lupa membawa batu api dan kotak sumbu dan melalui malam tanpa api. Keesokan pagi, saking dinginnya, mereka mati membeku, begitu pula unta-unta mereka. Cuaca sangat dingin sampai kau tak bisa menjumpai siapa­pun saat berkeliling di pasar dan jalanan. Di sana aku biasa meninggalkan mandi, dan, setiap sampai rumah, aku biasa memperhatikan janggutku dan melihat sebalok es. Aku ter­paksa mencairkannya di api. Aku biasa tidur di sebuah bilik, di dalam sebuah bilik lain, dengan tenda yurt Turki dari kulit binatang di sebelah dalamnya, dan biasa tercekik dalam mantel dan kulit bulu, dan bahkan dengan itu pun pipiku kadang membeku dan menempel ke bantal. Aku melihat wadah-wadah yang dibungkus dalam kulit domba agar mereka tidak retak dan pecah, tapi ini tak ada gunanya sama sekali. Aku bahkan melihat tanah ternganga menjadi retak-retak besar dan pepohonan besar kuno terbelah dua karena hawa dingin. Pertengahan Syawal 309 (Februari 922), musim mulai berganti dan Jaihun mencair. Kami mulai membeli barang-barang yang kami perlukan untuk perjalanan. Kami membeli unta-unta Turki, mengkonstruksi rakit kulit unta untuk menyeberangi semua sungai yang harus kami seberangi di kerajaan bangsa Turki, dan mengemas perbekalan berupa roti, milet, dan daging asap untuk mencukupi tiga bulan. Penduduk setempat yang mengenal kami memberitahukan dalam bahasa yang tegas untuk mengenakan banyak pakaian yang semestinya di luar ruangan. Mereka memberi kami gambaran menakutkan tentang cuaca dingin dan menanam­kan kesan pada kami perlunya menganggap serius urusan itu. Tapi ketika kami mengalaminya sendiri, itu jauh lebih parah dari yang mereka gambarkan, meskipun masing-masing kami mengenakan tunik, kaftan, kulit domba, selimut kuda, dan burnous dengan hanya mata kami yang kelihatan, celana, selapis celana berlapis lagi, legging, dan sepatu bot kulit binatang dengan sepatu bot lagi di luarnya. Menunggangi unta, kami mengenakan begitu banyak pakai­an tebal sampai kami tak bisa bergerak. Yuris, pengajar, dan para bujang yang meninggalkan Kota Damai bersama kami tetap tinggal, terlalu takut untuk memasuki kerajaan bangsa Turki. Aku terus maju dengan si utusan, saudara iparnya, dan kedua serdadu, Takin dan Bars. Pada hari kami berencana berangkat, aku berkata kepada mereka, “Utusan raja menemani kalian. Dia tahu segalanya. Dan kalian membawa surat khalifah. Surat-surat itu pasti menyebutkan empat ribu dinar musayyabi yang diper­untukkan untuk raja. Kalian akan berada di istana seorang raja non-Arab, dan dia akan meminta kalian membayarkan jumlah ini.” “Jangan khawatir soal itu,” sahut mereka, “dia tidak akan menanyakannya pada kami.” “Dia akan meminta kalian memberikannya. Aku tahu,” peringatku. Tapi mereka tak menghiraukan. Kafilah siap berangkat, jadi kami me­nyewa seorang pemandu bernama Falus, penduduk al-Jurjaniyah. Kami bertawakal pada Allah Yang Maha Kuasa, menitipkan nasib kami pada-Nya. Kami meninggalkan al-Jurjaniyah pada Senin 2 Dzulqai­dah 309 (Senin 4 Maret 922), dan menginap di sebuah pos terdepan yang disebut Zamjan, Gerbang Bangsa Turki. Ke­esokan pagi kami berjalan sampai ke sebuah pos pember­hentian yang disebut Jit. Salju turun begitu lebat sampai setinggi lutut unta. Kami terpaksa menginap di sana dua hari. Lalu kami terus berjalan lurus dan masuk ke kerajaan bangsa Turki melalui sebuah gurun tandus tak bergunung. Kami tak bertemu siapapun. Kami melintasinya selama sepuluh hari. Tubuh kami menderita luka-luka hebat. Kami kehabisan tenaga. Cuaca dingin menggigit, badai salju tak pernah berhenti. Itu membuat dingin Khwarazm terasa seperti musim panas. Kami lupa semua tentang penderitaan sebelumnya dan siap melepas roh. Suatu hari, dinginnya luar biasa menggigit. Takin sedang berjalan di sampingku, berbicara dalam bahasa Turkik ke­pada seorang Turki di sampingnya. Dia tertawa dan berkata, “Si Turki ini ingin tahu, ‘Apa yang Rabb kita inginkan dari kita? Dia sedang membunuh kita dengan dingin ini. Jika kita tahu apa yang Dia inginkan, maka kita tinggal berikan saja pada-Nya.’” “Katakan padanya,” jawabku, “bahwa Dia ingin kau ber­syahadat ‘Tiada tuhan selain Allah.’” “Yah, jika kami menge­nal-Nya, kami akan lakukan itu,” katanya sambil tertawa. Kami tiba di sebuah tempat di mana ada banyak sekali kayu tagh, dan menginap. Para anggota kafilah menyalakan api dan membuat apinya berjingkrak-jingkrak. Mereka mele­pas pakaian dan mengeringkannya dekat api. Lalu kami be­rangkat, berjalan secepat dan dengan energi sebanyak yang kami bisa, dari tengah malam sampai tengah hari atau shalat ashar, ketika kami berhenti untuk istirahat. Setelah lima belas malam, kami sampai ke sebuah gunung besar ber­batu-batu. Mata-mata air mengalirinya dan berkumpul membentuk danau di kakinya. Peringatan: mengandung kekasaran, kejorokan, keasusilaan.
Judul asli : Mission to the Volga
رحلة ابن فضلان<i=15coGuhra2Le4gPzjkUwkZils7B-a3fwO 614KB>Mission to the Volga<br/> رحلة ابن فضلان
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Desember 2022
Genre :
Kategori : ,

Unduh