Ini akan mengkoreksi kekeliruan historis besar yang dilakukan dalam menerima nasab klan Yahudi oleh bangsa-bangsa Arya besar Eropa sebagai silsilah mereka.
Di zaman ini, ras Arya telah memainkan peran amat menonjol dalam sejarah umat manusia. Ras-ras Arya barat kini menjadi pemimpin di bidang sains dan kekuatan materil. Sebelum orang-orang Arya Barat ini memulai arak-arakan kemajuan mereka, saudara-saudara senior mereka, orang-orang Arya Timur, dulu memperagakan kekuatan-kekuatan pembangunan mereka dalam beberapa cabang aktivitas manusia. Mereka unggul terutama di bidang agama, yakni sentimen yang memandu manusia dalam cara menjalani hidup.
Kini telah menjadi fakta mapan bahwa orang-orang Arya Timur telah memberi pengaruh besar pada pertumbuhan keagamaan umat manusia. Hinduisme dan Buddhisme jelas-jelas berasal-usul Arya. Agama Zoroaster yang merupakan mata rantai penghubung pemikiran Arya dan Semit juga adalah agama Arya dan memiliki kemiripan paling banyak dengan Hinduisme dalam hal kepercayaan dan adat-istiadatnya. Gaya Zend-Avesta serupa dengan gaya Veda dan bahkan kata Zend diduga berasal dari kata Chhand, kata Sanskerta untuk Ayat-ayat Veda. Dogma Yudaisme sebagian besar didasarkan pada agama Zoroaster dan di samping itu Kristen meminjam banyak dari Buddhisme.
Hinduisme, dalam bentuk kunonya yakni Vedisme, merupakan yang paling tua di antara sistem-sistem ini. Selain itu, ia telah bersentuhan sedekat-dekatnya dengan sistem-sistem lain dan telah hidup lebih lama dari mereka semua. Buddhisme adalah anak kandungnya, dan ketika Buddhisme (yang sedang bersemangat) berbalik untuk memberantasnya, sebuah konflik pecah di India yang berlangsung selama hampir seribu tahun. Pergumulan ini tidak ditandai dengan insiden-insiden yang menggemparkan dan menakutkan akal manusia seperti dalam sejarah agama-agama Semit.
Belum lama pergumulan tersebut selesai, Hinduisme, yang kehabisan banyak tenaga, terpanggil untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan Islam. Yudaisme berbentuk proselitisasi ini muncul seperti badai dari Arabia dan menyebar ke timur maupun barat. Segera ia menyapu seluruh Afrika Utara dan Spanyol; dan sedang maju pesat ketika bertemu pasukan-pasukan Kristen yang dikerahkan di medan Paris. Kristen beruntung, sebuah perpecahan meletus di kubu Muslim dan balatentara Kristen menang. Itu masa genting untuk Kristen. Seandainya Charles Martel dikalahkan, kata Gibbon, “Para mullah (imam) Muslim akan sedang memberi kuliah tafsir-tafsir al-Qur’an kepada hadirin berkhitan di kampus-kampus Oxford hari ini.” Usai menghancurkan Zoroastrianisme di Persia, badai ini menghantam Hinduisme selama 800 tahun, yang kesabaran dan heroisme para martirnya dalam perjalanan abad-abad menumpulkan mata pedang Muslim. Perang ini hampir belum berakhir ketika muncul satu musuh berat lain di atas kancah. Kristen datang ke India ditopang oleh pengaruh materil dan kekuatan kekayaan, dan itu telah beroperasi di sana selama tiga ratus tahun terakhir.
Dalam kondisi itu, sudah sepantasnya seorang juru selamat agung muncul di sebuah negeri yang kaya akan tradisi-tradisi demikian. Para nabi dan para juru selamat selalu muncul di kalangan bangsa-bangsa yang diinjak dan dilindas, karena kondisi bangsa menuntut pesan rahmat dan kasih. Para juru selamat ini merupakan inkarnasi kasih dan rahmat dan karenanya diyakini sebagai ilahi. Tahun 1824 akan tetap penting dalam sejarah India abad 19, karena pada tahun tersebut seorang nabi terlahir di sebuah keluarga Brahmana bersahaja di sebuah negara bagian Hindu India Barat.
Tidak terjadi hal supranatural atau tak natural pada saat kelahiran Swami Dayanand, karena itu tidak diperlukan untuk misi hidupnya. Sewaktu masih berusia 13 tahun, hati nuraninya dibangunkan oleh sebuah insiden biasa. Adalah kebiasaan Hindu untuk sembahyang malam pada malam tertentu setiap tahun dan mengkhususkannya untuk beribadah pada dewa Siwa. Kedua orangtua Dayanand pergi tidur setelah terus terjaga untuk beberapa lama, ketika dia mengamati bahwa beberapa tikus keluar dari satu sudut dan berlarian menginjaki patung sang dewa. Dalam benaknya timbul keraguan kuat terkait kepercayaan-kepercayaan masyarakatnya. Bahkan pada usia itu, dia sudah mempelajari kitab-kitab suci dengan seksama, tapi mulai saat itu dia membaca mereka dari sudutpandang baru. Dia melihat dirinya dihadapkan dengan persoalan besar: mengapa ada begitu banyak agama dan mengapa ada begitu banyak sekte dalam setiap agama.
Delapan belas tahun lebih berlalu. Dia berumur 21 ketika dua kematian terjadi dalam keluarganya, yaitu pamannya dan saudarinya. Sang pemuda berhadap-hadapan dengan kematian. Pemandangan kematian melahirkan pemikiran serius dalam diri kita masing-masing, tapi pemikiran itu jarang meninggalkan kesan yang bertahan lama. Dalam kasus Swami Dayanand, pengalaman ini adalah titik balik hidupnya. Itu memberi impuls besar kedua pada akal belianya dan menjadi penyebab renunsiasinya. Dia menyelinap pergi dari rumah, tapi kedua orangtuanya berhasil menangkapnya dan langsung membuat persiapan pernikahannya untuk mengikatnya pada dunia. Sekali lagi dia melarikan diri, tapi tidak dibawa pulang kali ini. Lalu menyusullah periode asketisisme. Tahun-tahun dihabiskan di hutan-hutan dan gunung-gunung dalam meditasi sendirian atau bersama para asketik agung. Itu adalah jalan penyempurnaan diri. Andai dia puas dengan kesadaran diri semata seperti orang-orang sejenisnya, dia tidak akan repot-repot untuk datang lagi ke dunia pergumulan dan pertikaian. Tapi Swami Dayanand telah bertekad mengambil sebuah jalan lain. Dia tidak bisa puas dengan keselamatan dirinya, ketika umat manusia lainnya terbenam dalam kejahilan dan kegelapan. Dia harus temukan suatu obat untuk keburukan. Akhirnya dia bertemu seorang bijak renta yang buta, Virganand, yang menanamkan pada pikirannya soal pentingnya Veda. Itu adalah kunci pemecahan keraguan dan kesulitannya. Itu adalah cahaya yang dia terima dari gurunya dan dia membulatkan tekad untuk menyebarkannya.
Kebenaran itu satu. Tapi bisakah kita mengetahui kebenaran dan kepalsuan? Jalan terakhir kita adalah nalar. Tapi nalar semata tidak bisa menjadi panduan yang aman. Itu sangat dikeruhkan oleh awan prasangka sampai-sampai menuntun orang-orang yang dibesarkan secara berlainan menuju kesimpulan-kesimpulan berlainan. Oleh karenanya kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan nalar. Solusi Dayanand agak baru. Dia menangani persoalan ini secara historis dan menerapkannya pada metode perbandingan. Memperlakukan subjek agama dengan metode ini, kita jadi tahu bagaimana bermacam-macam bentuk dan formulasi telah ditambahkan pada agama dan bagaimana mereka telah mengubah, memelintir, dan mencacatkan agama; hingga agama, sekarang, telah menjadi belenggu untuk orang-orang yang tak punya harapan dalam kejahilan mereka seperti banteng yang melilitkan tali tambatnya ke sekelliling pohon dan berdiri terikat dan terantai padanya. Kembalinya Dayanand ke Veda adalah seperti berputar baliknya muka banteng yang pasti mengembalikannya ke kebebasan awalnya yang utuh. Swami Dayanand menyatakan prinsip ini dalam kata-kata filsuf Schopenhauer, bahwa “kearifan para peramal Arya tidak bisa ditepiskan oleh peristiwa-peristiwa Galilea; di sisi lain, kearifan primitif umat manusia akan mengalir kembali ke Eropa dan menciptakan perubahan dalam pengetahuan dan pemikiran kita”.
Posisinya dalam Hinduisme adalah posisi seorang reformis seperti sang Buddha agung. Dia melihat bahwa banyak adat-istiadat dan kredo buruk telah merayap masuk ke dalam Hinduisme modern yang darinya ia perlu dimurnikan dan dipulihkan ke bentuk Vedik murninya. Berkenaan dengan agama-agama besar lain, dia berpikir bahwa jika ditafsirkan secara semestinya, ajaran-ajaran mereka semua bisa ditelusuri dari Veda. Dia mulai mendakwahkan pemikirannya. Dia menjumpai tentangan keras, bukan hanya dari imam-imam Kristiani dan Muslim, tapi juga dari para pandit Hindu.
Judul asli | : | A Great Aryan Movement<i=1QXJscLR3vS7CO6xwy7rIfm1l3Q9oqn7g 382KB>A Great Aryan Movement (1913) |
Pengarang | : | Bhai Parmanand |
Penerbit | : | Relift Media, November 2022 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |