Aku bertemu seorang pelayan di ruang depan, dan mengangkat kartuku kepadanya sambil tersenyum. Kulihat rambut di kepalanya berdiri, dan dia lari seperti rusa ke pintu, dan lalu merunduk, menuruni tangga panjang menuju pekarangan.
(Orang akan ingat, sekitar sebulan lalu ada tarif khusus yang ditawarkan kepada khalayak untuk perjalanan pulang-pergi ke Kota Washington. Karena harga karcis sangat rendah, kami mendapat pinjaman dua puluh dolar dari seorang warga Austin berjiwa sosial, dengan menggadaikan mesin cetak dan sapi kami, dengan jaminan tambahan berupa nama saudara kami dan sebuah wesel kecil atas nama Walikota Hutchinson sebesar $4.000.
Kami membeli karcis perjalanan pulang-pergi, dua papan roti Wina, dan sepotong keju cukup besar, yang kami serahkan kepada satu anggota staf peliputan kami, dengan instruksi untuk pergi ke Washington, mewawancarai Presiden Cleveland, dan mendapatkan berita eksklusif, jika memungkinkan, sebelum semua suratkabar Texas lain.
Reporter kami datang kemarin pagi, via jalan tanah Manor, dengan sepotong besar kantong kapas lipat diikatkan di telapak kakinya.
Rupanya dia kehilangan karcis di Washington, dan setelah membagi roti Wina dan keju dengan beberapa pencari jabatan yang kecewa yang pulang melalui rute yang sama, dia tiba di rumah dalam keadaan lapar, ingin makan, dan dengan nafsu makan lumayan besar.
Walau agak terlambat, kami berikan gambaran wawancaranya dengan Presiden Cleveland.)
Aku adalah reporter utama di jajaran staf The Rolling Stone. Kira-kira sebulan lalu, redaktur pelaksana masuk ke ruangan di mana kami berdua sedang duduk mengobrol, dan berkata: “Oh, ngomong-ngomong, pergilah ke Washington dan wawancarai Presiden Cleveland.” “Baik,” kataku. “Jaga dirimu.” Lima menit kemudian aku duduk di sebuah gerbong penumpang mewah, melambung-lambung di atas kursi elastis bersarung mahal. Aku tidak akan berpanjang-lebar tentang insiden-insiden dalam perjalanan. Aku diberi kuasa penuh untuk membuat diriku nyaman, dan untuk tidak segan mengeluarkan biaya yang bisa kupenuhi. Untuk suguhan isi perutku, persediaannya berlimpah. Wina maupun Jerman sudah dipilih untuk menyediakan bahan makanan pilihan yang cocok dengan citarasaku. Aku bertukar gerbong dan kemeja hanya satu kali dalam perjalanan. Seorang asing ingin aku juga menukar selembar uang kertas dua dolar, tapi aku menolak dengan angkuh. Pemandangan sepanjang jalan ke Washington beranekaragam. Kau menemukan sebagiannya di satu sisi dengan menengok ke luar jendela, dan saat mengalihkan pandangan ke sisi lain, mata terkejut dan terhibur menemukan bagian lain. Ada banyak sekali anggota Knights of Pythias di atas kereta. Salah satu dari mereka mendesakku untuk menyerahkan kopor kecil yang kubawa, tapi dia tak berhasil. Setibanya di Washington, kota yang langsung kukenali karena aku sudah baca sejarah George, aku turun dari gerbong tergesa-gesa sampai lupa untuk mengongkosi utusan Tn. Pullman. Aku langsung pergi ke Kapitol. Dalam semangat kejenakaan, aku sudah membuat sebuah representasi bulat berupa “batu yang menggelinding”. Itu dari kayu, dicat warna gelap, dan kira-kira seukuran bola meriam kecil. Aku sudah sematkan padanya anting-anting berseluk sepanjang kira-kira tiga inchi untuk mengindikasikan lumut. Aku sudah memutuskan untuk menggunakan ini sebagai ganti kartu, berpikir orang-orang akan mudah mengenalinya sebagai lencana suratkabarku. Aku sudah mempelajari susunan Kapitol, dan berjalan langsung ke kantor pribadi Bpk. Cleveland. Aku bertemu seorang pelayan di ruang depan, dan mengangkat kartuku kepadanya sambil tersenyum. Kulihat rambut di kepalanya berdiri, dan dia lari seperti rusa ke pintu, dan lalu merunduk, menuruni tangga panjang menuju pekarangan. “Ah,” kataku pada diri sendiri, “dia salah satu pelanggan kami yang lalai membayar.” Sedikit lebih jauh aku bertemu sekretaris pribadi Presiden, yang habis menulis sebuah surat tarif dan membersihkan senapan bebek untuk Bpk. Cleveland. Ketika kutunjukkan padanya lencana suratkabarku, dia loncat ke luar jendela tinggi menuju rumah kaca berisi bunga-bunga langka.
Aku adalah reporter utama di jajaran staf The Rolling Stone. Kira-kira sebulan lalu, redaktur pelaksana masuk ke ruangan di mana kami berdua sedang duduk mengobrol, dan berkata: “Oh, ngomong-ngomong, pergilah ke Washington dan wawancarai Presiden Cleveland.” “Baik,” kataku. “Jaga dirimu.” Lima menit kemudian aku duduk di sebuah gerbong penumpang mewah, melambung-lambung di atas kursi elastis bersarung mahal. Aku tidak akan berpanjang-lebar tentang insiden-insiden dalam perjalanan. Aku diberi kuasa penuh untuk membuat diriku nyaman, dan untuk tidak segan mengeluarkan biaya yang bisa kupenuhi. Untuk suguhan isi perutku, persediaannya berlimpah. Wina maupun Jerman sudah dipilih untuk menyediakan bahan makanan pilihan yang cocok dengan citarasaku. Aku bertukar gerbong dan kemeja hanya satu kali dalam perjalanan. Seorang asing ingin aku juga menukar selembar uang kertas dua dolar, tapi aku menolak dengan angkuh. Pemandangan sepanjang jalan ke Washington beranekaragam. Kau menemukan sebagiannya di satu sisi dengan menengok ke luar jendela, dan saat mengalihkan pandangan ke sisi lain, mata terkejut dan terhibur menemukan bagian lain. Ada banyak sekali anggota Knights of Pythias di atas kereta. Salah satu dari mereka mendesakku untuk menyerahkan kopor kecil yang kubawa, tapi dia tak berhasil. Setibanya di Washington, kota yang langsung kukenali karena aku sudah baca sejarah George, aku turun dari gerbong tergesa-gesa sampai lupa untuk mengongkosi utusan Tn. Pullman. Aku langsung pergi ke Kapitol. Dalam semangat kejenakaan, aku sudah membuat sebuah representasi bulat berupa “batu yang menggelinding”. Itu dari kayu, dicat warna gelap, dan kira-kira seukuran bola meriam kecil. Aku sudah sematkan padanya anting-anting berseluk sepanjang kira-kira tiga inchi untuk mengindikasikan lumut. Aku sudah memutuskan untuk menggunakan ini sebagai ganti kartu, berpikir orang-orang akan mudah mengenalinya sebagai lencana suratkabarku. Aku sudah mempelajari susunan Kapitol, dan berjalan langsung ke kantor pribadi Bpk. Cleveland. Aku bertemu seorang pelayan di ruang depan, dan mengangkat kartuku kepadanya sambil tersenyum. Kulihat rambut di kepalanya berdiri, dan dia lari seperti rusa ke pintu, dan lalu merunduk, menuruni tangga panjang menuju pekarangan. “Ah,” kataku pada diri sendiri, “dia salah satu pelanggan kami yang lalai membayar.” Sedikit lebih jauh aku bertemu sekretaris pribadi Presiden, yang habis menulis sebuah surat tarif dan membersihkan senapan bebek untuk Bpk. Cleveland. Ketika kutunjukkan padanya lencana suratkabarku, dia loncat ke luar jendela tinggi menuju rumah kaca berisi bunga-bunga langka.
Judul asli | : | A Snapshot at the President<i=1X_Om8CXFwnXgM8mXEK4GDyEcohjc28-z 166KB>A Snapshot at the President (1911) |
Pengarang | : | O. Henry |
Penerbit | : | Relift Media, September 2022 |
Genre | : | Jurnalisme |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |