Di setiap tempat orang-orang membicarakan tiada lain kecuali matinya matahari yang menjelang. Perang dilupakan dalam gambaran seram akan berputarnya bumi dalam kedinginan dan kegelapan total, sebuah massa materi tandus tak bernyawa!
Di tahun 2045 peradaban manusia dikejangkan oleh perang dunia raksasa. Itu konflik paling mengerikan dalam sejarah umat manusia. Pada abad sebelumnya sains membuat kemajuan amat besar. Kecepatan transportasi diperkencang hebat, kekuatan bahan peledak meningkat berkat proses penabrakan atom, dan, yang paling besar, sang ilmuwan brilian, Lafarge, menemukan sebuah kapal antariksa untuk transportasi antarplanet. Akan tetapi, semua temuan ini kini dimanfaatkan oleh negara-negara besar yang sedang berperang, untuk tujuan penghancuran. Hasilnya adalah pesta darah. Kematian tentara dan sipil, termasuk wanita dan anak-anak, mencapai ribuan setiap harinya. Bangunan-bangunan megah dibom dan hancur menjadi puing-puing mengepul. Kota-kota berubah menjadi tanah gundul tandus. Bumi begitu terkoyak oleh parit-parit perlindungan dan lubang-lubang bekas ledakan selongsong sampai-sampai penanaman palawija menjadi sulit dan pangan menjadi langka. Seluruh bumi terbungkus dalam selubung gas beracun dan bau tak sedap dari mayat-mayat yang membusuk.
Kedua negara besar yang sedang berperang itu adalah Demotian dan Diktorsian. Masing-masing adalah musuh mematikan bagi satu sama lain, dan masing-masing bertekad menumpas habis satu sama lain. Hanya satu kelompok kecil manusia, dipimpin oleh ilmuwan kenamaan Lafarge, yang menginginkan perdamaian. Hari demi hari, minggu demi minggu, mereka memperbarui permohonan perdamaian dan menawarkan diri untuk menengahi konflik, tapi sia-sia. Perang berlanjut dengan senjata pemusnah mematikan yang membuat peradaban jadi porak-poranda. Akhirnya Lafarge tak tahan lagi, dan suatu hari dia memanggil rapat kelompok perdamaian tersebut. Ketika para anggota sudah berkumpul, di antara mereka adalah puteranya, Nord, Lafarge bangkit dan berkata: “Tuan-tuan, selama bertahun-tahun aku, sebagai seorang ilmuwan, telah bekerja dan belajar untuk membawa kemakmuran dan kebahagiaan kepada masyarakat melalui kemajuan sains. Aku bukan satu-satunya; kalian, dan banyak lainnya, telah membantuku. Bersama-sama kita sudah meraih hasil-hasil bersejarah. Dengan temuan-temuan kita, masyarakat dapat menghasilkan kekayaan tak terbilang dan hidup selamanya dalam kemewahan. Tapi apa yang kita jumpai? Alih-alih menggunakan temuan kita untuk tujuan produktif, umat manusia, dalam kebodohannya yang bukan kepalang, sedang menggunakan itu semua untuk tujuan penghancuran! Aku berkeringat selama bertahun-tahun di laboratorium-laboratorium, aku pertaruhkan nyawa dengan melakukan eksperimen-eksperimen berbahaya, bukan untuk menemukan senjata-senjata kematian! Umat manusia tak berhak memakai temuan-temuanku dengan cara seperti itu! Ah...aku merasa seperti pembunuh! Kapal antariksaku sudah diubah dari sarana komunikasi antarplanet menjadi pesawat pengebom paling canggih. Ini penistaan...penistaan terhadap altar sains! Semua kerja kita sudah sia-sia, semua usaha kita untuk membuat perdamaian sudah gagal. Umat manusia telah memperlihatkan kejahilan dan kebengisan tak terbayangkan. Adapun aku—aku tidak akan memperjuangkan ini lagi! Aku tak tahan tinggal di rumah gila seperti itu! Jika masyarakat bumi ini cenderung pada penghancuran diri, biar saja begitu! Aku cuci tangan dari mereka selamanya!”
Judul asli | : | The Death of the Sun<i=1Fe32nkKfv5rgxlWdpVaJTVS5EMNS_WGd 205KB>The Death of the Sun (1940) |
Pengarang | : | Sid L. Sidney |
Penerbit | : | Relift Media, Desember 2020 |
Genre | : | Sci-Fi |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |