Aku mimpi menjadi orang lain, kau tahu, hidup di bagian dunia berbeda dan di waktu berbeda. Aku mimpi itu setiap malam. Setiap malam aku bangun ke dalam kehidupan lain itu. Adegan-adegan segar dan kejadian-kejadian segar—sampai aku menjumpai yang terakhir.
Pria bermuka pucat itu memasuki gerbong di Rugby. Gerakannya lamban walau didesak oleh portirnya, dan sewaktu dia masih di peron pun, aku lihat betapa sakitnya orang ini. Dia jatuh ke pojok menyenggolku sambil mendesah, berusaha membetulkan syal safarinya tapi tak selesai, dan terdiam, dengan mata bengong. Tak lama dia kemudian tergerak oleh pengamatanku, mendongak padaku, dan menggapai suratkabarnya dengan tangan tak bergairah. Lalu dia melirik lagi ke arahku.
Aku pura-pura membaca. Aku khawatir aku sudah mempermalukannya tanpa sadar, dan seketika aku kaget mendapatinya bicara.
“Maaf?” kataku.
“Buku itu,” ulangnya, mengarahkan jari kurus, “soal mimpi.”
“Sudah jelas,” jawabku, itu adalah Dream States-nya Fortnum-Roscoe, dan judulnya tercantum pada sampul.
Dia tertunduk bisu sejenak seolah mencari kata-kata. “Ya,” akhirnya dia bersuara, “tapi mereka tak memberitahumu apa-apa.”
Aku tidak menangkap maksudnya sesaat.
“Mereka tidak tahu,” tambahnya.
Aku menatap wajahnya sedikit lebih perhatian.
“Ada mimpi-mimpi,” katanya, “dan mimpi-mimpi.”
Aku tak pernah berdebat tentang hal semacam itu.
“Aku kira—” dia ragu. “Apa kau pernah bermimpi? Maksudku, bermimpi dengan gamblang.”
“Aku jarang bermimpi,” jawabku. “Aku ragu apa aku mengalami tiga mimpi gamblang dalam setahun.”
“Ah!” ujarnya, dan sejenak tampak mengumpulkan pikirannya.
“Mimpi-mimpimu tidak bercampur dengan ingatanmu?” tanyanya tiba-tiba. “Kau tak mendapati dirimu dalam keragu-raguan: apakah ini terjadi atau tidak?”
“Nyaris tak pernah. Kecuali keraguan sebentar kadang-kadang. Aku kira tak banyak orang merasakan itu.”
“Apa dia bilang—?” Dia menunjuk buku. “Bilang itu terjadi sekali-sekali dan memberi penjelasan biasa tentang intensitas kesan dan semacamnya untuk menjawab ketidakterjadiannya secara rata-rata. Aku kira kau tahu sesuatu tentang teori-teori ini—”
“Sedikit sekali—selain bahwa mereka keliru.”
Tangan kerempengnya memainkan tali jendela sebentar. Aku bersiap meneruskan membaca, dan itu rupanya menimbulkan komentar berikutnya. Dia mencondong ke depan seakan-akan mau menyentuhku.
“Tak adakah sesuatu yang disebut mimpi berturut-turut—yang terjadi malam demi malam?”
“Aku yakin ada. Ada kasus-kasus dalam kebanyakan buku yang membahas masalah mental.”
“Masalah mental! Ya. Aku berani bilang ada. Itu tempat yang pas untuk mereka. Tapi yang kumaksud—” Dia melihati buku-buku jarinya yang kelihatan tulang. “Apakah hal semacam itu selalu berarti mimpi? Apakah itu mimpi? Ataukah sesuatu yang lain? Tidak mungkinkah itu sesuatu yang lain?”
Aku pasti sudah mengabaikan pembicaraan ngototnya kalau bukan karena wajahnya yang gelisah dan tegang. Sekarang aku ingat tatapan mata pudarnya dan pelupuk bernoda merah—mungkin kalian hafal tatapan itu.
“Aku tidak sedang berdebat soal pendapat,” katanya. “Ini sedang membunuhku.”
“Mimpi-mimpi.”
“Kalau kau sebut mereka mimpi. Malam demi malam. Gamblang!—begitu gamblang...ini—” (dia menunjuk pemandangan yang mengalir di jendela) “serasa tak nyata jika dibandingkan! Aku hampir tak bisa ingat siapa diriku, sedang dalam urusan apa aku...”
Dia berhenti sejenak. “Bahkan saat ini—”
“Mimpinya selalu sama—maksudmu?” tanyaku.
“Sudah berakhir.”
Judul asli | : | A Dream of Armageddon<i=10illehesvZGPlOJavxbbTNixQXlvcM9X 383KB>A Dream of Armageddon (1901) |
Pengarang | : | H. G. Wells |
Penerbit | : | Relift Media, Mei 2020 |
Genre | : | Perang |
Kategori | : | Fiksi, Cerpen |