Skip to content
Hantu Masa Depan – Relift Media

Hantu Masa Depan Cerita fiksi filsafat

author _Frank R. Stockton_; date _1895_ genre _Filsafat_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ Kami adalah hantu masa depan. Kami adalah orang-orang yang akan tinggal di kota ini bergenerasi-generasi dari sekarang. Tapi kami semua tidak tahu itu, terutama karena kami tidak memikirkan itu dan tidak cukup mempelajarinya untuk tahu hal itu. Pada suatu musim panas, belum lama ini, aku dan sahabatku Bentley berada di sebuah dusun kecil dengan pemandangan lembah hening nan tenteram yang dilintasi sungai berarus pelan, berkelok-kelok di antara hamparan hijau sebelum berbelok di ujung sebaris perbukitan rendah dan menghilang dari pandangan. Di balik sungai ini, jauh sekali, tapi kelihatan dari pintu pondok tempat kami tinggal, terdapat sebuah kota. Di antara kabut yang melayang di atas lembah, kami bisa melihat garis-bentuk menara-menara dan atap-atap tinggi; bangunan-bangunan bercirikan penghematan dan bisnis membentang sampai ke tepi sungai di seberang. Bagian-bagian kota yang lebih jauh, rupanya kota kecil, lenyap dalam atmosfer musim panas berkabut. Bentley masih muda, berambut terang, dan seorang penyair; aku seorang filsuf, atau mencoba menjadi filsuf. Kami bersahabat baik, dan datang ke kawasan tenteram ini untuk bekerja bersama. Walaupun kami sudah lari dari kesibukan dan selingan-selingan kota, penampilan kawasan luar sebuah kota ini, yang sejauh pengamatan kami tidak memberi pengaruh pada karakter sunyi lembahnya, membangkitkan minat kami. Tak ada sampan berlalu-lalang di sungai; tak ada jembatan dari tepi ke tepi; tak ada satupun tempat tinggal terpencar dan setengah jembel yang umumnya dijumpai di pinggiran kota; tak ada suara lonceng-lonceng di kejauhan menjangkau kami; dan tak ada lingkaran asap sekecil apapun naik dari suatu bangunan. Menjawab pertanyaan kami, bapak kos bilang kota di seberang sungai itu dibangun oleh seorang pria, yang visioner, dan yang punya lebih banyak uang daripada akal sehat. “Kota itu tidak sebesar yang kalian kira, tuan-tuan,” katanya, “karena kabut di lembah ini membuat segalanya tampak lebih besar dari aslinya. Bukit-bukit itu, misalnya, kalau kalian hampiri, tidak setinggi kelihatannya dari sini. Tapi kota itu cukup besar, dan sangat terlalu besar; itu membuat bangkrut pembangun dan pemiliknya, yang, saat datang dan mati, tidak punya cukup sisa uang untuk memasang batu nisan yang layak di kuburannya sendiri. Dia punya ide aneh: dia ingin kotanya rampung sebelum siapapun tinggal di dalamnya, jadi dia terus bekerja dan membelanjakan uang tahun demi tahun sampai kota itu selesai dan tak menyisakan satu sen pun. Selama tempat itu dibangun, ratusan orang datang kepadanya untuk membeli rumah, atau menyewa rumah, tapi dia tak mau dengar hal semacam itu. Tidak boleh ada yang tinggal di kotanya sampai semuanya selesai. Bahkan para pekerjanya diharuskan pergi pada malam hari untuk indekos. Itu adalah kota, tuan-tuan, di mana tak seorangpun pernah tidur untuk satu malam saja. Ada jalan-jalan di sana, dan tempat-tempat bisnis, dan gereja-gereja, dan aula-aula publik, dan segala yang dibutuhkan oleh kota sarat penduduk; tapi semuanya kosong dan lengang, dan sudah seperti itu sejauh yang bisa kuingat, dan aku datang ke kawasan ini saat masih kecil.” “Dan tak seorangpun menjaga tempat itu?” tanya kami, “tak seorangpun melindunginya dari gelandangan yang bisa saja merebut bangunan-bangunan itu?” “Tidak banyak gelandangan di bagian pedesaan ini,” kata­nya, “dan kalaupun ada, mereka tidak bakal pergi ke kota itu. Itu dihantui.” “Oleh apa?” tanya kami. “Well, tuan-tuan, aku hampir tak bisa pastikan; makhluk-makhluk ganjil yang bukan darah dan daging, cuma itu yang kutahu. Banyak sekali orang yang tinggal di sekitar sini sudah mendatangi tempat itu sekali seumur hidup, tapi setahuku tak ada yang pergi ke sana dua kali.” “Terus para pelancong,” kataku, “apa mereka tidak penasaran untuk menjelajahi kota aneh tak berpenghuni itu?” “Oh ya,” jawab tuan rumah kami, “hampir semua pengun­jung ke lembah ini pergi ke kota ganjil itu—biasanya dalam rombongan kecil, karena itu bukan tempat di mana seseorang mau berjalan-jalan sendirian. Kadang mereka melihat-lihat, kadang tidak. Tapi aku tak pernah tahu ada pria atau wanita yang menunjukkan keinginan untuk tinggal di sana, biarpun itu kota yang sangat bagus.”
Judul asli : The Philosophy of Relative Existences<i=1vJgHpDTZ5K662HvYIkTYwLQVxleqHoMK 177KB>The Philosophy of Relative Existences
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Agustus 2019
Genre :
Kategori : ,

Unduh