Skip to content
Toko Buku – Relift Media

Toko Buku Cerita fiksi filsafat

author _Aldous Huxley_; date _1920_ genre _Filsafat_; category _Cerpen_; type _Fiksi_ Kulihat di sini literatur adalah barang mewah; ia mengambil ruang proporsionalnya di sini di tempat barang keperluan ini. Tetap saja, yang menghibur adalah ia bertahan, pastinya bertahan. Rasanya ini memang tempat yang mustahil untuk menemukan toko buku. Semua usaha dagang lain di jalan ini bertujuan menyediakan keperluan paling sederhana untuk wilayah jorok dan sibuk ini. Di sini, jalan arteri utama, terdapat gemerlap dan kehidupan semu yang dihasilkan oleh lalu-lalang kendaraan. Hampir khayali, hampir meriah. Tapi petak-petak kampung kumuh yang luas menjamur di mana-mana. Para penduduk belanja di jalan raya; mereka berlalu, memegang gumpalan daging yang terlihat lengket bahkan dari balik bungkus kertas; mereka memurahkan linolium di pintu-pintu bersalut; kaum hawa, bertopi bonet hitam dan bersyal hitam, pergi mengesot ke pasar dengan kantong-kantong jerami lapuk. Bagaimana mungkin mereka, tanyaku, membeli buku? Tapi ada satu toko mungil; jendela-jendelanya dipasangi rak, dan terdapat punggung-punggung buku cokelat. Di sebelah kanan, sebuah toserba besar meluap ke jalan dengan furnitur murahnya; di sebelah kiri, jendela-jendela bertirai sebuah rumah makan mengumumkan keunggulan makan malam enam péni dalam huruf putih terkelupas. Di antara mereka, saking sempit hingga nyaris tidak menghalangi persimpangan makanan dan furnitur, adalah toko kecil itu. Satu pintu dan satu jendela gelap empat kaki, itulah lebar bagian mukanya. Kulihat di sini literatur adalah barang mewah; ia mengambil ruang proporsionalnya di sini di tempat barang keperluan ini. Tetap saja, yang menghibur adalah ia bertahan, pastinya bertahan. Pemilik toko sedang berdiri di lawang pintu, seorang pria mungil, berjanggut uban dan dengan mata sangat aktif di sudut-sudut tasmak yang menjembatani hidung panjang tajam. “Jualannya bagus?” tanyaku. “Lebih baik di masa kakekku,” tuturnya, menggeleng sedih. “Kita semakin tak berbudaya,” usulku. “Itu gara-gara pers murahan. Yang fana menenggelamkan yang permanen, yang klasik.” “Jurnalisme ini,” aku sependapat, “atau lebih tepat keseharian remeh ini, adalah kutukan zaman kita.” “Hanya cocok untuk—” Kedua tangannya tergenggam seolah dia sedang mencari-cari kata. “Untuk api.” Pak tua menekankan dengan penuh kemenangan, “Bukan: untuk tukang jahit.” Aku tertawa simpatik atas gairahnya. “Senang rasanya kita satu pandangan,” kataku. “Boleh aku lihat-lihat sedikit harta-karunmu?” Di dalam toko suasananya temaram cokelat, harum dengan bahan kulit tua dan aroma debu halus khas yang melekat pada halaman buku-buku terlupakan, laksana bahan pengawet rahasia-rahasia mereka—seperti pasir kering gurun Asia yang di bawahnya terletak harta-karun dan rongsokan seribu tahun lampau, masih utuh. Aku membuka jilid pertama yang kusentuh. Itu buku gambar fesyen, diwarnai dengan teliti dalam warna magenta dan ungu, marun dan solferino dan puce dan corak-corak hijau lumer yang oleh generasi terdahulu disebut “dukacita Werther”. Wanita-wanita cantik dengan rok dalam crinoline berenang menyeberangi halaman demi halaman dengan lebar ayunan ala kapal berpaviliun. Kaki mereka digambarkan kurus dan rata dan hitam, seperti daun-daun teh, yang malu-malu menonjol keluar dari bawah rok dalam mereka. Wajah mereka lonjong, licin dengan rambut hitam mengkilap, dan mengekspresikan kemurnian tak bernoda. Aku kepikiran tokoh-tokoh fesyen modern kita, dengan tumit dan lengkung kura-kura kaki mereka, muka rata mereka dan senyum undangan manyun. Sulit sekali untuk tidak menjadi deteriorasionis1. Aku gampang tergerak oleh simbol; ada sedikit Quarles dalam watakku. Tak punya pikiran filosofis, aku lebih suka melihat abstraksiku tercitrakan secara konkrit. Dan terbetik kemudian bahwa kalau aku ingin sebuah lambang untuk menggambarkan kesakralan pernikahan dan pengaruh rumah, tak ada cara lebih baik selain memilih dua kaki kecil hitam mirip daun teh yang menyeruak santun dari bawah keliman rok dalam lebar yang menyamarkan. Sementara tumit dan kura-kura kaki lincah semestinya melambangkan—oh well, sebaliknya.
Judul asli : The Bookshop<i=1MpahGTThSG4S94a2NQons597a_93hTbL 233KB>The Bookshop
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Juli 2018
Genre :
Kategori : ,

Unduh