Skip to content
Panteisme India dan Pesimisme Brahmana Sebelum Buddha – Relift Media

Panteisme India dan Pesimisme Brahmana Sebelum Buddha Bacaan non-fiksi religi

author _Hermann Oldenberg_; date _1881_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Jika dalam Buddhisme dilakukan upaya bangga untuk mengkonsepsikan keterbebasan yang di dalamnya manusia sendiri membebaskan dirinya, untuk menciptakan keyakinan tanpa tuhan, spekulasi Brahmanik-lah yang telah mempersiapkan jalan untuk pemikiran ini. Dasar-dasar spekulasi India bermula dari puisi liris Rig Veda. Di sini, dalam monumen tertua puisi Vedik, di antara lagu-lagu acara pengurbanan dan doa kepada Agni dan Indra untuk memohon perlindungan, kemakmuran, dan kemenangan, kita menemukan upaya-upaya berani per­tama dari akal merenung, yang membelakangi ranah ber­anekaragam dunia dewa-dewa dan mitos-mitos, dan—dalam mengandalkan kemampuannya sendiri secara sadar—meng­hampiri enigma-enigma eksistensi dan pemulaian:
“Tidak apapun tidak pula nihil eksis, langit cerah nun di sana tidak ada, tidak pula atap lebar angkasa yang terhampar di atas. Apa yang meliputi semua? Apa yang menaungi? Apa yang menyembunyikan? Apakah jurang air tanpa dasar? “Tidak ada kematian—tapi tidak ada apapun yang kekal, Tidak ada perbatasan antara siang dan malam; Sang Tunggal bernafas tanpa nafas sendirian, Selain-Nya tidak ada apa-apa sejak saat itu. “Kegelapan ada, dan semua mulanya diselubungi Dalam kemuraman mendalam—samudera tanpa cahaya— Benih yang masih terliputi dalam sekam Meletup, satu alam, karena panas kuat. “Siapa yang tahu rahasia? Siapa yang mengumumkannya di sini, Dari mana, dari mana ciptaan bermacam-macam ini bersumber? Dewa-dewa sendiri mewujud belakangan— Siapa yang tahu dari mana ciptaan agung ini bersumber? “Dia yang darinya semua ciptaan agung ini berasal, Entah kehendak-Nya mencipta atau bisu, Pelihat Paling Tinggi yang ada di langit tertinggi, Dia tahu itu—atau barangkali bahkan Dia tidak tahu.”
Dan dalam sebuah lagu lain, berkatalah seorang penyair, yang terasingkan dari keyakinan terhadap dewa-dewa lama, mencari satu Tuhan, “yang sendirian menjadi Tuhan atas semua yang bergerak”:
“Dia yang memberi nafas, Dia yang memberi tenaga; Yang perintahnya ditakzimkan oleh dewa-dewa terang, Yang bayangnya adalah keabadian, yang bayangnya adalah kematian; Siapakah Tuhan yang kepada-Nya kita akan persembahkan pengurbanan kita? “Dia yang melalui keagungan-Nya gunung-gunung bersalju ini ada, Dan laut, kata mereka, dengan sungai jauh itu (Rasâ)— Dia yang kawasan-kawasan ini adalah dua lengan-Nya; Siapakah Tuhan yang kepada-Nya kita akan persembahkan pengurbanan kita? “Dia yang melalui-Nya langit terang dan bumi kokoh— Dia yang melalui-Nya angkasa didirikan, bahkan angkasa tertinggi— Dia yang mengukur ruang di langit? Siapakah Tuhan yang kepada-Nya kita akan persembahkan pengurbanan kita? “Dia yang dengan keperkasaan-Nya mengawasi bahkan perairan Yang mengandung kekuatan dan menghasilkan api pengurbanan, Dia yang seorang diri adalah Tuhan di atas semua tuhan; Siapakah Tuhan yang kepada-Nya kita akan persembahkan pengurbanan kita?”
Setiap bait lirik berakhir dengan kata-kata ini: “Siapakah Tuhan yang kepada-Nya kita akan persembahkan pengurba­nan kita?” Jelas sekali gap yang terdapat antara kidung-kidung bertanya seperti ini dan keyakinan tegas zaman sebe­lumnya, yang mengetahui tapi tidak bertanya tentang dewa-dewa yang kepadanya mereka mesti berkurban. Kita hanya bisa mengulas secara ringkas kilasan pemiki­ran sadar pertama orang-orang India ini menyangkut perta­nyaan-pertanyaan fundamental alam semesta dan kehidu­pan. Perkembangan spekulasi—atau lebih tepatnya swa-per­kembangannya dari dunia fantasme-fantasme—pertama-tama memangku bentuk progresif tersambung di sebuah masa yang lebih belakangan (mungkin jauh lebih belaka­ngan) daripada masa kidung-kidung ini (yang dikutip dari Rig Veda). Itu adalah periode produksi kesusasteraan subur dan bercabang luas yang telah melahirkan kumpulan karya pe­ngurbanan tiada habisnya dan koleksi mistik dogma-dogma dan diskursus-diskursus, ditulis dalam prosa, yang biasanya dinamai Brâhmana, Aranyaka, dan Upanishad. Zaman karya-karya ini, yang satu-satunya bisa kita andalkan untuk porsi uraian kita ini, hanya bisa kita tetapkan secara taksiran dan dalam batas-batas tertentu. Kita hampir tidak terlalu keliru jika menempatkan awal-mula mereka antara abad 9 dan 10 sebelum era Kristen. Perkembangan pemikiran, yang sedang maju di periode ini seraya tampaknya bersandar pada landasan keyakinan lama terhadap dewa-dewa, betul-betul meruntuhkan keyakinan tersebut dan menerobos kehampaan gagasan-gagasan fantastik tiada habisnya, hingga akhirnya menciptakan sebuah dasar pemikiran keagamaan baru, ke­percayaan terhadap Kesatuan/Ketunggalan universal tak ter­usik dan tak dapat diubah, yang berada di balik dunia duka­cita dan impermanensi, dan yang kepadanya orang-orang terbebaskan kembali, meninggalkan dunia ini. Selain itu, di atas fondasi ini pula, berabad-abad sesudah para pemikir Brahmanik meletakkannya, dibangun doktrin dan gereja yang dinamai dengan nama Buddha. Sekarang kita lanjut menelusuri selangkah demi selang­kah proses swa-penghancuran pemikiran keagamaan Vedik itu, yang telah membuahkan Buddhisme sebagai hasil posi­tifnya. Pada waktu proses ini dimulai, semua gerak spiritual yang dijalankan di India terkonsentrasi pada satu fokus, pengur­banan. Dunia yang mengelilingi para Brahmana adalah tem­pat pengurbanan; perkara yang dia ketahui adalah terutama perkara tugas-tugas pengurbanan. Dia harus memahami pe­ngurbanan beserta semua rahasianya, sebab memahami ada­lah kekuatan yang menundukkan segalanya. Dengan kekua­tan ini para dewa telah merantai para iblis—“perkasa”, demi­kian bunyi janji untuk orang-orang yang memiliki pengeta­huan, “dia menjadi perkasa, dan musuh dan pendebatnya menjadi tak berdaya, barangsiapa yang memiliki pengeta­huan demikian”. Elemen-elemen yang menyusun pengetahuan ini (yakni tentang makna ritus-ritus pengurbanan sakral) adalah dua rangkap; sebagian bersumber dari pusaka spiritual masa lalu, dan lainnya adalah perolehan baru. Di satu sisi, ada peninggalan yang diwariskan dari zaman kepercayaan sederhana terhadap Agni, Indra, dan Varuna, dan seluruh rombongan dewa-dewa, yang di hadapan mereka para kakek-moyang dan leluhur membungkuk dalam doa dan pengurbanan. Setiap tangan yang memegang sesajen me­nunjuk pada dewa-dewa ini. Ketika pesajen mencengkeram alat sakral, dia berkata, “Aku mencengkerammu atas pang­gilan dewa Savitar, dengan lengan-lengan para Aswin, dengan tangan-tangan Pushan.” Jika objek pengurbanan hendak ditahbiskan dengan percikan air, dia berkata kepada air, “Indra telah memilih kalian sebagai sekutu-sekutunya dalam penaklukan Vritra; kalian telah memilih Indra sebagai sekutu kalian dalam penaklukan Vritra.” Dan dari dini pagi sampai malam, di tempat pengurbanan berkumandang puji-pujian dan lagu-lagu untuk Ushas, merah fajar, perawan ilahi, yang, dengan kuda-kuda berkilaunya, menghampiri tempat tinggal manusia, membagikan berkah; untuk Indra, yang—terbakar oleh tegukan soma—mematahkan legiun-legiun iblis dengan petirnya dalam pertempuran liar; untuk Agni, dewa lunak, tamu dari surga, yang bercahaya di permukiman manusia, dan membawa hadiah-hadiah pengurbanan mereka ke surga. Tapi dunia dewa-dewa lama, dewa-dewa daging dan darah yang hidup, tidak bisa lagi memuaskan pikiran zaman kemudian. Menjadi lebih kuat lagi tendensi untuk menamai, dengan nama-nama diri, kekuatan-kekuatan yang mengatur dunia luas dan kehidupan manusia. Ada ruang; orang-orang India menamainya “kawasan-kawasan dunia”. Ada waktu, dengan daya cipta dan hancurnya; orang-orang India me­namainya “tahun”. Ada musim-musim, rembulan, siang, dan malam, tanah dan udara, matahari (“dia yang membakar”), dan angin (“dia yang meniup”). Ada daya-daya nafas, yang mengarungi tubuh manusia. Ada pikiran dan omongan, “yang saling menyatu tapi terpisah”. Gerakan-gerakan dan operasi-operasi daya-daya ini mengatur arus semesta, dan mendatangkan untung dan malang kepada manusia. Dan kini manusia mencari sebuah jawaban, dalam bahasa baru zaman mereka sendiri, untuk pertanyaan yang ditimbul­kan kepada pikiran oleh pengurbanan dan dunia-dewa-dewa, yang kepadanya pengurbanan dipersembahkan. Lalu atmos­fer memangku sebuah status di mana misteri-misteri dan simbol-simbol bertambah. Di sekeliling si Brahmana di altar pengurbanan, dan terutama dalam tugas sakral yang dia laksanakan di situ, dewa Agni dan dewa Savitar tidak akan lagi hadir sendirian, tapi di situ akan ada semua daya-daya tersembunyi yang mondar-mandir di alam semesta, “sebab alam semesta”, konon, “dipengaruhi oleh gerakan pengurba­nan”. Apa yang mata lihat dalam sesajen bukan sekadar apa adanya atau kelihatannya, tapi ada sesuatu yang lebih jauh—sesuatu yang ditandakannya. Omongan dan tindakan memi­liki signifikansi ganda, yang zahir dan yang tersembunyi; dan, jika pengetahuan manusia mengetahui yang zahir, dewa-dewa mencintai yang tersembunyi dan membenci yang zahir. Angka-angka memiliki daya misterius, kata-kata dan sukukata-sukukata memiliki daya misterius, ritme-ritme me­miliki daya misterius. Ada sebuah permainan imajiner antara gaya-gaya imajiner yang tidak tunduk pada hukum persepta­bilitas. Konsekrasi (dîkshâ) melarikan diri dari dewa-dewa; mereka mencarinya berbulan-bulan; mereka tidak menemu­kannya dengan musim panas ataupun musim dingin, tapi mereka menemukannya dengan bulan-bulan musim sejuk (çiçira); oleh karenanya manusia harus mengkonsekrasi dirinya ketika bulan-bulan musim sejuk sudah datang. Metra terbang ke langit untuk membawakan tegukan soma; suara berbicara tegak di musim-musim tersebut. Sistem sesajen adalah tipe tahun, atau, singkatnya, pe­ngurbanan adalah tahun; pendeta-pendeta seremoni adalah musim-musim tahun; objek-objek yang disajenkan adalah bulan-bulan. Kita mesti mengimpor sesuatu yang asing ke dalam permainan-permainan pikiran ini jika kita berupaya menelusuri di dalam mereka garis demarkasi tajam antara yang eksis dan yang menandakan, antara realitas dan perlambangannya; yang satu menumpangtindih yang lain. “Prajâpati (Pencipta) menciptakan sebagai citranya sesuatu berupa sesajen. Oleh karenanya orang-orang mengatakan sesajen adalah Prajâpati. Sebab dia menciptakan itu sebagai citranya.” Pagi demi pagi, dan malam demi malam, dua sesajen ditempatkan dalam api sakral; yang satu adalah masa lalu, yang satu lagi adalah masa depan; yang satu adalah hari ini, yang satu lagi adalah hari esok. Hari ini adalah pasti; oleh karenanya, yang pertama dari kedua sesajen tersebut akan dilakukan dengan pengucapan formula pengurbanan, sebab omongan adalah kepastian. Hari esok adalah tak pasti; oleh karenanya, sesajen kedua akan dilakukan dalam kebungka­man, sebab kebungkaman, seperti kata orang India, adalah yang tak pasti. Di dunia awan misteri-misteri yang simpang-siur ini, tak terbilang musuh-musuh nasib anak-anak manusia bersem­bunyi dan tersembunyi dari mata orang jahil; siang dan malam terus bergulir, dan membawa pergi berkah-berkah yang telah dimenangkan oleh amal-amal baik manusia; di atas alam siang dan malam yang berganti, matahari (“dia yang bersinar”) ditakhtakan; dan “dia yang membakar adalah kematian. Karena dia adalah kematian, maka makhluk-mak­hluk yang tinggal di bawahnya mati; mereka yang tinggal di luarnya adalah dewa-dewa; oleh karenanya dewa-dewa abadi. Berkas-berkas sinarnya adalah jejak-jejak, yang dengannya semua makhluk ini terbelenggu pada kehidupan. Kehidupan siapapun yang dia inginkan, dia tarik kepada dirinya dan dia pun meninggal—dia pun mati.” Tapi orang bijak tahu formula-formula dan sesajen, yang meninggikannya ke atas kawasan siang dan malam yang bergulir, dan ke atas dunia, di mana matahari, dengan panasnya, memiliki kuasa atas hidup dan mati. Siang dan malam tidak merampas imbalan atas kerja-kerjanya; dia membebaskan kehidupannya dari kema­tian—“Itulah keterbebasan dari kematian, yang terdapat dalam sesajen Agnihotra”. Dengan begitu dunia menggelap—karena kesukaan ras ini—menjadi sebuah arena muram untuk pergerakan bentuk-bentuk tak bernyawa yang tak terbatas jumlahnya. Simbol-simbol ditumpuk tanpa henti di atas simbol-simbol; ke mana­pun pikiran menuju, dewa-dewa baru dan daya-daya ajaib baru berhadapan dengannya, masing-masing sama-sama tak berwujud seperti selebihnya. Benar bahwa Tuhan, yang ada sebelum semua dewa dan semua eksistensi, pencipta dunia-dunia, Prajâpati, yang sendirian di awan dan ingin “agar Aku menjadi majemuk, agar Aku menghasilkan makhluk-makh­luk”, menonjol di atas semua; dan dalam kerja keras pen­ciptaan yang melelahkan Dia mengeluarkan dari diri-Nya sendiri dunia-dunia, dewa-dewa dan manusia-manusia, ruang dan waktu, pikiran dan omongan. Tapi pikiran Prajâ­pati sekalipun, rajanya entitas-entitas, tidak membangkitkan tanggapan yang lebih nyaring dari dada orang beriman; citra Pencipta melayang malas di antara yang lain dalam kabut kelabu besar tak berbentuk, yang melingkungi dunia makh­luk-makhluk.
Judul asli : Indian Pantheism and Pessimism Before Buddha<i=1pUNNe0sfjbCHgNUnEHMRnQzrgnXM7TO0 552KB>Indian Pantheism and Pessimism Before Buddha
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, April 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Panteisme India dan Pesimisme Brahmana Sebelum Buddha

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)