Skip to content
Islam dan Nasionalisme Turki – Relift Media

Islam dan Nasionalisme Turki Bacaan non-fiksi politik

author _Snouck Hurgronje_; date _1924_ genre _Politik_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Mereka mengizinkan Khilafah bohongan itu untuk meneruskan eksistensinya sampai itu mati secara alami pada 1543. Saat itu pun mereka tidak tergesa-gesa menambahkannya pada banyak gelar terkemuka yang dengannya mereka bisa merias diri. Mereka punya alasan-alasan serius untuk kemasabodohan ini. Kabar terbaru dari Angora/Ankara, Konstantinopel/Is­tanbul, dan Arabia ikut membawa banjir kesan dan ramalan. Dalam beberapa bulan, Sultan-Khalifah Utsmani terakhir, Wahiduddin Mehmed VI, terpaksa melarikan diri dari Turki, pertama ke Mekkah, kemudian ke Sanremo, un­tuk merenungkan kegoyahan kejayaan duniawi; sepupunya, Abdulmajid, yang ditunjuk memimpin Khilafah yang mulai sekarang hampir tidak “spiritual”, terpaksa turun takhta dan beremigrasi bersama keluarganya ke Swiss; Husein, Syarif Agung Mekkah, yang selama delapan tahun terakhir menjadi Raja merdeka Arabia Barat, merelakan dirinya diproklamir­kan sebagai Khalifah di Transyordania dan barangkali di beberapa wilayah lain; dan demonstrasi-demonstrasi menen­tang semua keputusan ini berlangsung di Mesir, India, dan tempat-tempat lain. Tak heran publik ingin tahu bagaimana nasib dunia Muslim setelah semua peristiwa mengherankan ini.

Khalifah Bukan Pemimpin Spiritual Islam

Berlawanan dengan kekeliruan umum bahwa Khalifah ada­lah pemimpin spiritual kaum Muslim, sejenis paus Muslim, perlu diingat bahwa umat Muslim (atau jemaat Muslim, jika mengemukakannya dengan cara Barat) memiliki satu pe­mimpin spiritual saja dalam 13 abad eksistensinya: yaitu Muhammad, sang Nabi, Rasul Tuhan, yang menyampaikan wahyu yang darinya orang-orang beriman mendapatkan se­mua kebutuhan untuk mengatur kehidupan dan pemikiran mereka sesuai kehendak Allah. Selain sebagai alat untuk penyampaian sabda-sabda ini, sudah semestinya Muhammad di saat yang sama menjadi penafsir otentik firman Allah. Se­lagi penafsiran ini mengembang dan tumbuh hingga selesai, sang Rasul Tuhan adalah betul-betul pemimpin spiritual umatnya. Dalam wahyu al-Qur’an tidak dibuat satupun ketentuan untuk pemangkuan salah satu dari fungsi-fungsi di atas oleh orang lain pada saat kematian Muhammad. Meski sebelum Muhammad terdapat para pendahulu yang mengerjakan tugas serupa di kalangan kaum-kaum lain, pekerjaannya di­anggap pada dasarnya terkait dengan dan terbatas pada dirinya. Konsepsi ini begitu mendominasi pemikiran umat­nya di awal-awal sehingga selama dua abad mereka mengira, hampir berlawanan dengan apa yang mereka anggap baik, bahwa seluruh hidup mereka semata-mata dikendalikan oleh firman Tuhan yang dihimpun dalam al-Qur’an dan oleh perkataan dan teladan perbuatan Nabi. Dinilai berdasarkan benar salahnya, gagasan ini sepenuhnya keliru, sebab itu tidak memperhitungkan evolusi besar (meluas bahkan ke bidang dogma dan hukum) yang dihasilkan oleh penyebaran Islam yang luar biasa pesat ke banyak negeri. Jika kita mau membandingkan sistem Islam yang berkembang tiga abad setelah kematian Muhammad, dengan al-Qur’an, kita men­dapat kesan seperti bertemu seorang manusia dewasa yang terlihat paling akhir dalam buaian. Melihat tak ada jalan sah untuk mengakui otoritas apapun selain Tuhan dan Rasul-Nya, generasi-generasi pertama Mus­lim mendapati diri mereka berada dalam kesulitan-kesulitan yang mulanya dihindari melalui perluasan sunnah secara artifisial dan ahistoris menyangkut perkataan dan perbuatan Muhammad. Dalam dua abad pertama, praktisnya tak ada jalan lain untuk pemecahan masalah baru dan urgen selain agar itu dibajui dengan bentuk sebuah naratif tentang Muhammad. Ribuan ucapan dan tindakan dinisbatkan kepa­danya hanya untuk berfungsi sebagai fondasi untuk peratu­ran dan keputusan yang belakangan terlihat perlu. Dengan demikian, bagian utama tradisi kanonis menyangkut Muha­mmad adalah fiktif. Setelah menjalankan fungsi-fungsi Rasul Tuhan dan pemimpin spiritual umatnya semasa hidup, un­tuk waktu lama setelah kematiannya dia terus menjalankan fungsi terakhir ini dalam imajinasi para pengikutnya. Tapi tiba waktu ketika prosedur ini tak lagi memungkin­kan. Kumpulan tradisi fiktif tidak bisa ditambahkan tanpa batas, dan setelah dua abad, karakter permasalahan tak ter­pecahkan yang masih hadir tidak lagi memperkenankan fiksi bahwa Muhammad telah mengetahui dan memecahkannya. Tradisi kanonis kini bahkan cukup untuk mencakup bagian terbesar sebuah sistem dogmatika dan hukum solid yang, menurut sudutpandang kritis, merupakan ciptaan umat Mu­slim, dan sistem ini menyisakan semakin sedikit ruang untuk pengembangan atau modifikasi penting. Tapi itu belum sepe­nuhnya terkristalisasi; evolusi masyarakat dan negara ber­ulangkali menuntut revisi penerapan atau penafsiran. Ya, pe­meriksaan cermat terhadap struktur legislatif dan dogmatik yang dibangun dalam dua atau tiga abad mau tidak mau me­nampakkan, kepada para cendekiawan Muslim tanpa daya kritis tinggi sekalipun, bahwa tidak semua material yang digunakan berasal dari Muhammad. Mulai dirasakan kebu­tuhan akan sebuah organ terpercaya, yang hidup dan tetap hidup, dan yang bisa dimintai keterangan kapanpun terkait semua persoalan penting. Kebutuhan ini mencari dan telah menemukan pemenu­han bukan dalam penunjukan seseorang atau sebuah lem­baga khusus untuk melanjutkan pekerjaan Muhammad, tapi dalam penerimaan doktrin keparipurnaan umat Muhammad dalam keseluruhannya. Doktrin ini akhirnya menjadi fondasi seluruh sistem. Para cendekiawan, yang ditunjuk sebagai otoritatif oleh pendapat publik, berfungsi sebagai juru bicara jemaat paripurna ini. Muslim manapun yang ingin tahu da­pat dengan mudah memastikan yang mana di antara karya-karya cendekiawan terdahulu ternyata terpercaya dan dapat dipercaya, dan siapa, di antara ulama-ulama hidup, yang dia dapat mintai keterangan dengan penuh percaya diri tentang urusan akidah dan hukum. Akan tetapi, otoritas ini tak per­nah terpusat pada satu lembaga, dewan, atau sinode tertentu, dan apalagi pada satu orang. Secara teoritik itu senantiasa hampir tak berwujud; secara praktek kita mudah bertemu dengan wakil-wakilnya. Tak usah dikatakan lagi bahwa fat­wa-fatwanya tidak identik di setiap waktu dan setiap tempat. Perbedaan pendapat di antara elemen-elemen kesatuan pari­purna ini diperbolehkan secara tegas, bahkan diterima se­bagai berkah Tuhan. Keterangan di atas, tentang beberapa fakta utama dalam sejarah doktrin prinsip-prinsip dalam Islam, dapat mem­bantu memperjelas bahwa sejak kematian Muhammad tidak pernah ada ruang dalam Islam untuk seorang pemimpin spiritual, yang bisa mengumumkan atau menjelaskan dogma atau menafsirkan dan melengkapi hukum ilahi, atau misal­nya yang bisa mengatur kehidupan manusia dalam penger­tian paling penuh. Oleh karenanya, sama sekali keliru meng­anggap Khalifah sebagai pemimpin spiritual kaum Muslim.
Judul asli : Islam and Turkish Nationalism<i=199IhY4N0_SDNP_qF2xvppVqAfcXJXGVf 364KB>Islam and Turkish Nationalism
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, April 2025
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Islam dan Nasionalisme Turki

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2025)