Mereka mengizinkan Khilafah bohongan itu untuk meneruskan eksistensinya sampai itu mati secara alami pada 1543. Saat itu pun mereka tidak tergesa-gesa menambahkannya pada banyak gelar terkemuka yang dengannya mereka bisa merias diri. Mereka punya alasan-alasan serius untuk kemasabodohan ini.
Kabar terbaru dari Angora/Ankara, Konstantinopel/Istanbul, dan Arabia ikut membawa banjir kesan dan ramalan. Dalam beberapa bulan, Sultan-Khalifah Utsmani terakhir, Wahiduddin Mehmed VI, terpaksa melarikan diri dari Turki, pertama ke Mekkah, kemudian ke Sanremo, untuk merenungkan kegoyahan kejayaan duniawi; sepupunya, Abdulmajid, yang ditunjuk memimpin Khilafah yang mulai sekarang hampir tidak “spiritual”, terpaksa turun takhta dan beremigrasi bersama keluarganya ke Swiss; Husein, Syarif Agung Mekkah, yang selama delapan tahun terakhir menjadi Raja merdeka Arabia Barat, merelakan dirinya diproklamirkan sebagai Khalifah di Transyordania dan barangkali di beberapa wilayah lain; dan demonstrasi-demonstrasi menentang semua keputusan ini berlangsung di Mesir, India, dan tempat-tempat lain. Tak heran publik ingin tahu bagaimana nasib dunia Muslim setelah semua peristiwa mengherankan ini.
Khalifah Bukan Pemimpin Spiritual Islam
Berlawanan dengan kekeliruan umum bahwa Khalifah adalah pemimpin spiritual kaum Muslim, sejenis paus Muslim, perlu diingat bahwa umat Muslim (atau jemaat Muslim, jika mengemukakannya dengan cara Barat) memiliki satu pemimpin spiritual saja dalam 13 abad eksistensinya: yaitu Muhammad, sang Nabi, Rasul Tuhan, yang menyampaikan wahyu yang darinya orang-orang beriman mendapatkan semua kebutuhan untuk mengatur kehidupan dan pemikiran mereka sesuai kehendak Allah. Selain sebagai alat untuk penyampaian sabda-sabda ini, sudah semestinya Muhammad di saat yang sama menjadi penafsir otentik firman Allah. Selagi penafsiran ini mengembang dan tumbuh hingga selesai, sang Rasul Tuhan adalah betul-betul pemimpin spiritual umatnya.
Dalam wahyu al-Qur’an tidak dibuat satupun ketentuan untuk pemangkuan salah satu dari fungsi-fungsi di atas oleh orang lain pada saat kematian Muhammad. Meski sebelum Muhammad terdapat para pendahulu yang mengerjakan tugas serupa di kalangan kaum-kaum lain, pekerjaannya dianggap pada dasarnya terkait dengan dan terbatas pada dirinya. Konsepsi ini begitu mendominasi pemikiran umatnya di awal-awal sehingga selama dua abad mereka mengira, hampir berlawanan dengan apa yang mereka anggap baik, bahwa seluruh hidup mereka semata-mata dikendalikan oleh firman Tuhan yang dihimpun dalam al-Qur’an dan oleh perkataan dan teladan perbuatan Nabi. Dinilai berdasarkan benar salahnya, gagasan ini sepenuhnya keliru, sebab itu tidak memperhitungkan evolusi besar (meluas bahkan ke bidang dogma dan hukum) yang dihasilkan oleh penyebaran Islam yang luar biasa pesat ke banyak negeri. Jika kita mau membandingkan sistem Islam yang berkembang tiga abad setelah kematian Muhammad, dengan al-Qur’an, kita mendapat kesan seperti bertemu seorang manusia dewasa yang terlihat paling akhir dalam buaian.
Melihat tak ada jalan sah untuk mengakui otoritas apapun selain Tuhan dan Rasul-Nya, generasi-generasi pertama Muslim mendapati diri mereka berada dalam kesulitan-kesulitan yang mulanya dihindari melalui perluasan sunnah secara artifisial dan ahistoris menyangkut perkataan dan perbuatan Muhammad. Dalam dua abad pertama, praktisnya tak ada jalan lain untuk pemecahan masalah baru dan urgen selain agar itu dibajui dengan bentuk sebuah naratif tentang Muhammad. Ribuan ucapan dan tindakan dinisbatkan kepadanya hanya untuk berfungsi sebagai fondasi untuk peraturan dan keputusan yang belakangan terlihat perlu. Dengan demikian, bagian utama tradisi kanonis menyangkut Muhammad adalah fiktif. Setelah menjalankan fungsi-fungsi Rasul Tuhan dan pemimpin spiritual umatnya semasa hidup, untuk waktu lama setelah kematiannya dia terus menjalankan fungsi terakhir ini dalam imajinasi para pengikutnya.
Tapi tiba waktu ketika prosedur ini tak lagi memungkinkan. Kumpulan tradisi fiktif tidak bisa ditambahkan tanpa batas, dan setelah dua abad, karakter permasalahan tak terpecahkan yang masih hadir tidak lagi memperkenankan fiksi bahwa Muhammad telah mengetahui dan memecahkannya. Tradisi kanonis kini bahkan cukup untuk mencakup bagian terbesar sebuah sistem dogmatika dan hukum solid yang, menurut sudutpandang kritis, merupakan ciptaan umat Muslim, dan sistem ini menyisakan semakin sedikit ruang untuk pengembangan atau modifikasi penting. Tapi itu belum sepenuhnya terkristalisasi; evolusi masyarakat dan negara berulangkali menuntut revisi penerapan atau penafsiran. Ya, pemeriksaan cermat terhadap struktur legislatif dan dogmatik yang dibangun dalam dua atau tiga abad mau tidak mau menampakkan, kepada para cendekiawan Muslim tanpa daya kritis tinggi sekalipun, bahwa tidak semua material yang digunakan berasal dari Muhammad. Mulai dirasakan kebutuhan akan sebuah organ terpercaya, yang hidup dan tetap hidup, dan yang bisa dimintai keterangan kapanpun terkait semua persoalan penting.
Kebutuhan ini mencari dan telah menemukan pemenuhan bukan dalam penunjukan seseorang atau sebuah lembaga khusus untuk melanjutkan pekerjaan Muhammad, tapi dalam penerimaan doktrin keparipurnaan umat Muhammad dalam keseluruhannya. Doktrin ini akhirnya menjadi fondasi seluruh sistem. Para cendekiawan, yang ditunjuk sebagai otoritatif oleh pendapat publik, berfungsi sebagai juru bicara jemaat paripurna ini. Muslim manapun yang ingin tahu dapat dengan mudah memastikan yang mana di antara karya-karya cendekiawan terdahulu ternyata terpercaya dan dapat dipercaya, dan siapa, di antara ulama-ulama hidup, yang dia dapat mintai keterangan dengan penuh percaya diri tentang urusan akidah dan hukum. Akan tetapi, otoritas ini tak pernah terpusat pada satu lembaga, dewan, atau sinode tertentu, dan apalagi pada satu orang. Secara teoritik itu senantiasa hampir tak berwujud; secara praktek kita mudah bertemu dengan wakil-wakilnya. Tak usah dikatakan lagi bahwa fatwa-fatwanya tidak identik di setiap waktu dan setiap tempat. Perbedaan pendapat di antara elemen-elemen kesatuan paripurna ini diperbolehkan secara tegas, bahkan diterima sebagai berkah Tuhan.
Keterangan di atas, tentang beberapa fakta utama dalam sejarah doktrin prinsip-prinsip dalam Islam, dapat membantu memperjelas bahwa sejak kematian Muhammad tidak pernah ada ruang dalam Islam untuk seorang pemimpin spiritual, yang bisa mengumumkan atau menjelaskan dogma atau menafsirkan dan melengkapi hukum ilahi, atau misalnya yang bisa mengatur kehidupan manusia dalam pengertian paling penuh. Oleh karenanya, sama sekali keliru menganggap Khalifah sebagai pemimpin spiritual kaum Muslim.