“Mengapa aku tak tahu ini sebelumnya? Mengapa tak ada yang memberitahuku apa akibat tembakau untuk manusia? Aku tak pernah mengira ada bahaya di dalamnya. Para dokter merokok, para pendakwah merokok; setiap orang merokok; tentu saja aku berpikir, itu pasti tak berbahaya.”
Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha berumur 40-an masuk ke kantorku dalam kondisi kalut. Tanpa sempat duduk, dia berkata dengan suara yang bergetar karena emosi:
“Dokter, aku diberitahu bahwa aku mengidap miokarditis (jantung tembakau), disertai tubulus (
cast) dan albumin [dalam urin], dan dokterku tidak bisa berjanji aku akan hidup lebih dari satu setengah atau dua tahun lagi. Kini aku ingin kau memberitahuku bagaimana untuk hidup, agar aku punya waktu sepuluh tahun lagi untuk mengembangkan bisnisku. Aku kepala sebuah perusahaan bisnis di mana teman-temanku berinvestasi beberapa tahun lalu setelah aku meyakinkan mereka, dan sejauh ini belum mendatangkan imbal-balik. Perkembangan berjalan lebih lamban dari yang kami sangka dan akan butuh sepuluh tahun lagi untuk menjadikannya betul-betul sukses sehingga menjamin imbal-balik bagus untuk investasi teman-temanku. Aku sangat dibutuhkan untuk bisnis ini. Jika aku gagal, segalanya akan gagal dan teman-temanku akan kehilangan setiap dolar mereka. Aku harus punya lebih banyak waktu, dengan begitu aku akan “berhasil” dan setiap orang akan bahagia. Katakan, dokter, bagaimana aku bisa terus berdiri selama sepuluh tahun lagi saja. Akan kulakukan apapun yang kau katakan, makan apapun yang kau perintahkan, mengikuti aturan apapun yang kau tuliskan.
“Aku sudah berhenti merokok, tentu saja. Aku berhenti begitu menemukan apa akibatnya untukku. Aku tak bakal pernah mengisap satu cerutu pun andai aku tahu itu berbahaya. Kini aku sudah berhenti. Aku akan segera baik-baik saja, bukan? Nah, tolong katakan apa yang bisa kulakukan untuk hidup sepuluh tahun lagi dan menjadikan bisnisku sukses.”
Selagi berhenti sejenak, si pembicara mencondong ke depan di kursinya dan dengan ekspresi gelisah dan penuh penantian menunggu jawaban. Aku hanya bisa berkata kepadanya, “Tuan yang terhormat, kami akan bekerja sungguh-sungguh untukmu, tapi masalahnya, marjin keselamatanmu sudah terpakai habis, cadanganmu hilang. Jantung, liver, dan ginjalmu sudah memikul beban begitu berat, melakukan begitu banyak pekerjaan berlebihan selama bertahun-tahun, sehingga mereka aus. Pembuluh darahmu mengeras dan menyusut, sangat menambah kerja jantung, sedangkan jantung merosot dan melemah, efek-efek standar dari nikotin; dan karenanya terbentuklah lingkaran setan. Kau seperti seseorang yang tadinya punya saldo jutaan tapi kini tabungan itu berkurang besar-besaran menjadi beberapa sen. Kekayaannya hilang. Penghematan dan reformasi tidak akan mengembalikan itu. Kami akan berbuat yang terbaik untukmu. Tapi dengan jantung dan ginjal yang rusak begitu parah, tak ada banyak alasan untuk harapan hidup yang panjang.”
“Tapi aku sudah berhenti merokok. Aku takkan pernah menyentuhnya lagi. Aku akan segera baik-baik saja, kan, dengan hidup hati-hati? Aku tak bisa tinggalkan bisnisku. Itu akan hancur berantakan dan membangkrutkan teman-teman yang percaya padaku. Dokter, kau harus membuatku tetap hidup bagaimanapun caranya. Jika kau tidak bisa memberiku sepuluh tahun, lima tahun saja. Aku bisa melakukan sesuatu dalam lima tahun. Lima tahun saja, Dokter. Aku harus hidup cukup lama untuk berhasil dan menyelamatkan teman-temanku dari kerugian.”
Sementara aku ragu-ragu, mencoba menemukan suatu kata yang akan menyampaikan seberkas kecil harapan untuk jiwa yang putus asa yang menghadapi tragedi dahsyat, orang itu membaca pikiranku dan melihat tak ada harapan. Dia loncat dari kursinya sebentar dan mondar-mandir di kantorku, menyisir akar rambutnya. Tiba-tiba dia berhenti beberapa detik, kemudian, dengan raut ngeri, putus asa, dan marah, dia menyerbuku, dan mengepalkan tangannya di depanku, lalu menjerit, “Mengapa aku tak tahu ini sebelumnya? Mengapa tak ada yang memberitahuku apa akibat tembakau untuk manusia? Aku tak pernah mengira ada bahaya di dalamnya. Para dokter merokok, para pendakwah merokok; setiap orang merokok; tentu saja aku berpikir, itu pasti tak berbahaya. Andai aku sekadar mengira bahwa tembakau akan merugikan kesehatanku atau bisnisku, aku akan sudah memotong tenggorokanku begitu aku merokok.
Mengapa aku tak tahu ini sebelumnya?”
Dengan sosok bergetar dan berteriak ini di depanku, dengan mata menyala yang menyorot padaku, aku merasa diriku mengerut terkoyak-koyak, seorang malang yang menjijikkan dan pengecut. Aku gemetar dan takut di hadapan mata menusuk itu. Inilah orang yang sudah kehilangan kesempatannya “untuk berhasil”, karena dia jahil akan kekuatan halus nikotin untuk menghancurkan manusia dan bisnis. Dan dia jelas-jelas merasa aku bertanggungjawab atas keruntuhannya, lantaran aku tahu tapi tidak memberitahunya. Aku khawatir penilaiannya tepat. Perasaan bersalah membayangiku. Kuputuskan untuk mencoba melakukan perbaikan. Maka lahirlah buku ini.