Dia membangkitkan sentimen, simpati, harapan, dan ketakutan “subjek”-nya. Dan subjeknya, yang daya kritisnya dininabobokan di bawah pengaruh suatu mimpi indah, menjadi penggemar skemanya. Tak sabar akan hasil, dia lupa memeriksa apakah skema yang diusulkan benar-benar membawa kepada hasil tersebut.
Inteligensia sekumpulan orang sama sekali tidak mewakili total kemampuan intelektual mereka, tapi hanya kapasitas rerata mereka; dan jika kita bisa mendapatkan ukuran tepat pemahaman massa, kita akan menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus, itu bahkan tidak mencapai rata-rata. Satu alasan untuk defisit inteligensia massa ini akan ditemukan dalam fakta bahwa tak seorangpun, jika ditegur serius, mau mengidentikkan dirinya dengan seluruh massa. Dengan demikian, banyak orang membantu mengungkapkan sebuah pendapat yang mereka tidak merasa bertanggungjawab secara pribadi atasnya.
Untuk beberapa alasan, massa besar orang sangat mudah disugesti. Pertama, massa besar kemungkinan tersusun dari banyak orang di bawah rata-rata pendidikan, dan orang-orang yang punya sedikit pengetahuan mudah dipengaruhi oleh pendapat apapun yang disodorkan dengan penonjolan diri yang besar. Kurangnya pengetahuan sering diiringi dengan kurangnya daya kritis. Alhasil, kedua, massa besar kemungkinan tidak menunjukkan banyak tentangan terhadap ide-ide baru, kecuali jika sebuah ide baru mengancam salah satu prasangka mapan mereka secara langsung dan tegas. Ketiga, bahkan di mana massa besar terdiri dari orang-orang terpelajar, profesor, doktor, atau orang-orang lain yang umumnya biasa berpikir independen, kecil kemungkinannya mayoritas orang sepenuhnya familiar dengan garis pemikiran si pembicara. Mereka mungkin setengah cuek terhadap subjeknya sebelum dia mulai berbicara; atau jika mereka kebetulan tertarik pada subjek, mereka belum membentuk pendapat mereka sendiri. Sebuah pendapat kini disajikan kepada mereka dalam keadaan sudah jadi, dan hal paling sederhana adalah menerima pendapat tersebut persis sebagaimana disodorkan.
Schiller dalam salah satu Xenion-nya mengungkapkan ide serupa; dia berkata tentang suatu dewan orang-orang terpercaya:
“Masing-masing dari mereka, ketika dipertimbangkan satu persatu, sudah pasti bijaksana, Tapi dalam kumpulan, mereka semua bertindak dan bertingkah seperti keledai.”Kumpulan-kumpulan besar selalu lebih mungkin untuk membuat kekeliruan daripada individu-individu tunggal. Banyak koki membasikan kaldu; bukan hanya karena ada terlalu banyak pendapat, tapi juga karena jika mereka membentuk satu massa, semua pengetahuan mereka bersama-sama tidak menyusun total tapi hanya rerata kebijaksanaan mereka. Sebagai sarana menerapkan kombinasi inteligensia sejumlah orang pada sebuah poin tertentu, telah diciptakan kaidah diskusi yang memungkinkan setiap pendapat didengar sebelum perhimpunan itu, sebagai sebuah kesatuan, memutuskan menerima ide atau rencana aksi tertentu. Dan ini adalah satu-satunya cara untuk bisa mengadakan suatu rapat/pertemuan di mana daya kritis anggota-anggota perorangan tidak akan diberangus, tapi pikiran semua orang diizinkan bekerjasama. Ada seni khusus untuk mensugestikan ide-ide kepada massa besar dan kita menyebutnya oratori. Seni ini sangat bernilai; dan itu paling bernilai dalam sebuah republik. Itu bisa dipakai untuk tujuan kebaikan dan keburukan. Seorang orator boleh jadi dapat mensugestikan ide-ide hina dengan kecerdikan yang sama seperti cita-cita mulia. Kami akan jelaskan metode-metode berbeda yang dipergunakan, karena dua alasan: pertama, untuk menerangkan seni oratori sebagai metode sugesti untuk digunakan secara praktis dalam melayani tujuan jujur dan sah; dan, kedua, untuk mewaspadai trik-trik para penyemu, yang tahu cara mendapatkan telinga audiens dan menyesatkan pendengar mereka. Seorang pensugesti ide-ide, yakni orator (entah dia guru, kuasa hukum, pendakwah, atau pedagang keliling—yang terakhir ini umumnya orator untuk dua telinga saja), harus selalu berbicara dalam bahasa audiensnya, yakni muridnya, kliennya atau juri, jemaatnya, pelanggannya. Dia harus—meminjam ungkapan Psikologi Eksperimental—beradaptasi dengan “subjek”-nya. Percuma berbicara dengan bahasa njlimet kepada audiens petani, dan akan rancu berbicara dalam ungkapan muluk kepada sekerumun pelaut. Si orator harus menempatkan diri pada level yang sama dengan intelek subjeknya; dia harus menemukan landasan bersama yang darinya dia dapat memulai; oleh karena itu dianjurkan memperkenalkan pertama-tama ide-ide yang familiar. Setelah ide-ide pertama ini diakui sebagai teman lama, dia bisa berangsur-angsur memperkenalkan ide-ide lain. Para orator tunggul pohon yang berkembang dan beroperasi di tengah-tengah kelas-kelas jelata mendapati bahwa masuk lewat sanjungan adalah yang paling cocok. Seorang pria jujur yang ide-idenya sudah menjelaskan sendiri tidak perlu merendahkan diri ke sarana semacam itu. Seorang pedagang keliling yang barang-barangnya tak berharga, mulai memuji selera subjeknya dan menambahkan bahwa setiap orang berselera bagus lebih menyukai barang-barang dagangannya. Seorang dalang dalam kampanye politik memuji-muji kecerdasan bangsa Amerika sampai setiap orang dari audiensnya merasa girang dan bangga secerdas itu. Lalu dia mencoba selangkah lebih jauh, menyatakan bahwa tak seorangpun, kecuali orang bego, bisa mempercayai prinsip-prinsip seperti yang dimiliki partai lain. Penyampaian ide adalah seni. Tapi para subjek yang menerima penyampaian ide mesti memahami hukum mekanis seni tersebut. Pengetahuan adalah sebuah pengawet, sebuah perlindungan terhadap sugesti buruk, sebab itu memberi sarana untuk membedakan baik dan buruk. Contoh bagus dari metode bagaimana, dalam keadaan paling sulit, ide-ide tertentu bisa disugestikan kepada massa orang yang tidak bersedia menerimanya, adalah adegan masyhur di forum Romawi dalam Julius Cæsar-nya Shakespeare. Brutus diminta memberi keterangan tentang pembunuhan Cæsar, dan dia menyuguhkan alasan hingga audiensnya puas. “Siapa di sini yang sebegitu hina,” tanyanya, “sampai-sampai mau menjadi budak?” Tentu saja, setiap orang ingin menjadi orang merdeka, menjadi warga Romawi. Terhadap pertanyaan “Mengapa Brutus bangkit melawan Cæsar?” dia menjawab: “Bukan lantaran aku kurang mencintai Cæsar, tapi lantaran aku lebih mencintai Roma... Karena Cæsar mencintaiku, aku berdukacita untuknya; karena dia beruntung, aku bersukacita atas itu; karena dia gagah berani, aku menghormatinya; tapi karena dia ambisius, aku membunuhnya.” Oratori Brutus alami, dan itu agung dalam kesederhanaannya. Falasi-falasinya diyakini oleh dia sendiri. Dia melakukan kejahatan mulia ketika menusuk teman kebapakannya; dan omongannya meyakinkan karena itu menunjukkan kemuliaan motifnya.
Judul asli | : | The Suggestibility of Crowds<i=1lRJhPqKRSGPvP4poZqY-23zI9-HJ_Peb 238KB>The Suggestibility of Crowds (1890) |
Pengarang | : | Paul Carus |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2024 |
Genre | : | Psikologi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |