Skip to content
Paganisme Monoteistik: Mungkinkah Monoteisme Semit Lahir Dari Paganisme Arya – Relift Media

Paganisme Monoteistik: Mungkinkah Monoteisme Semit Lahir Dari Paganisme Arya Bacaan non-fiksi filsafat

author _Henry Robert Reynolds_; author _Henry Allon_; date _1873_ genre _Filsafat_; category _Ulasan_; type _Nonfiksi_ Setelah arketip agama Yunani dibawa oleh para emigran Arya pertama dari kampung halaman mereka, diperkirakan tambahan ide-ide belakangan dari sumber yang sama bakal diterima dengan ranjing oleh anak-cucu mereka. Bahwa itu memang terjadi secara aktual dan historis, hal ini dibuktikan oleh tulisan-tulisan Persia maupun Yunani. Segala hal yang cenderung memperkuat ikatan penaut individu dengan sesamanya mau tak mau berkontri­busi kebaikan bersama. Dengan demikian, semua penemuan sains itu, dan semua pengungkapan filsafat itu, yang meng­ajari kita eksistensi ikatan kekeluargaan dan fitrah bersama, sepantasnya digolongkan di antara raihan-raihan terpenting untuk umat manusia. Filologi dan etnologi telah berkontri­busi banyak untuk tujuan ini; etnologi mengajari manusia bahwa mereka adalah anggota dari satu keluarga besar; filo­logi menunjukkan pertalian yang ada antar berbagai anggota cabang dominan ras itu—ras Arya—yang kepadanya dunia berutang hampir segala hal berguna atau besar. Filologi menunjukkan bukti-bukti pertalian luas dalam bahasa-bahasa Hellen, Teuton, India, dan Persia, menelusuri bekas-bekas sebuah arketip lampau dalam berbagai bahasa mereka. Namun, tak seorangpun pernah mencoba menelusuri sumber bersama serupa untuk berbagai bentuk ide Teosofis yang dijumpai di kalangan berbagai bangsa ini; tapi ada indikasi-indikasi, historis maupun intrinsik, akan sebuah Arketip Teo­sofis Arya yang tidak kurang konkret dan jelas daripada Arke­tip Filologis yang kami sebutkan. Membayangkan manusia di masa kecilnya memecahkan persoalan besar eksistensi lewat konsepsi intuitif akan se­orang Pencipta ilahi segala sesuatu, sama dengan berasumsi terlalu banyak dan menyematkan kepadanya sebuah ketaja­man dalam penyelidikan teosofis, yang tidak ada analoginya dalam sejarah progres manusia ke arah-arah lain. Takjub oleh fenomena-fenomena di sekelilingnya, manusia berinsting penasaran mencoba mempenetrasi penyebab-penyebabnya dan memeriksanya dengan maksud menemukan agensi yang menyebabkannya. Dia menengok sekeliling dirinya, meninjau bergiliran dunia hewan dan sayur, tapi pada keduanya dia tidak bisa menemukan apa yang dia cari, penyebab agung segalanya. Para manusia dan binatang menghidupi jatah waktu mereka dan meninggal; pohon-pohon bertumbuh dan melayu; tapi keseluruhannya terus berjalan seperti sebelum­nya, tanpa mempedulikan dan tanpa terpengaruh oleh peru­bahan tersebut. Berikutnya dia memandang tanah dan laut, dan ideal miliknya tidak ada di sana. Tapi tetap ada sesuatu yang merembesi dan mempengaruhi segalanya, yang meng­gembirakan dan membangkitkan segalanya, yang tanpanya seluruh tanah/bumi tampak mati; yaitu cahaya atau panas, sebab dia belum belajar memisahkan keduanya. Maka, inilah agen yang dia cari-cari; dan di atas dirinya, dalam semua semaraknya, jauh lebih tinggi bahkan daripada yang bisa dicapai oleh penerbangan mentalnya, terdapat orb yang dari­nya kekuatan universal ini berasal. Dan di Timur, di wilayah matahari, apakah mengherankan bahwa manusia di zaman-zaman awal membungkuk di hadapan Lord hari dan meng­akuinya sebagai Tuhan? “Ex Oriente lux” adalah benar dalam lebih dari satu pengertian, sebab dari terbitnya matahari datanglah ide samar pertama manusia akan Tuhan; dan dari Timur datanglah berkas-berkas pertama cahaya intelektual ke dunia. Pemujaan cahaya adalah hasil alami dari tendensi me­ngamati fenomena-fenomena fisik yang senantiasa menjadi ciri ras Arya; penggembala Irani, sewaktu memantau gem­balanya di malam hari di bawah bintang-bintang besar tenang di langit Timur, dan melihat begitu banyak pantulan Tuhan dalam beribu-ribu cahaya mereka, tanpa sadar sedang menempuh jalan penyelidikan yang sama yang membawa pada temuan-temuan Galileo dan Newton. Tapi kita harus memulai dari apa yang manusia sudah lakukan; bukan dari apa yang dia bakal atau mungkin akan lakukan. Dalam mencoba menyadari konsepsi utama manu­sia akan Tuhan, biar bagaimanapun kita hanya menganalisa pikiran kita sendiri, yang seluruhnya tersusun dari gagasan-gagasan prakonsepsi. Oleh karenanya, kesimpulan-kesimpu­lan kita tidak memiliki bobot, sebab akal purba tidak memiliki prasangka tradisional demikian dan tidak bakal menalar dengan cara tersebut. Kita tertuntun kepada kesimpulan bahwa ide-ide Arya lama bersembunyi dalam sistem-sistem keagamaan kita se­pasti kata-kata Sanskerta lama bersembunyi dalam bahasa-bahasa kita, kita tertuntun bukan oleh hipotesis teoritis belaka, tapi oleh pemeriksaan fakta-fakta sejarah; nyatanya, sebuah hasil dengan nilai apapun tidak bisa diperoleh melalui proses lain, sebab, sebagaimana Bacon postulatkan,
“Sola spes est in verâ inductione”.
Nama Arya masih tetap hidup dalam nama asli Persia (Iran), dan bekas-bekas paling jelas keyakinan Arya kuno yang masih tertinggal dapat ditemukan dalam sistem-sistem keagamaan negeri tersebut. Kita akan berusaha menelusuri keyakinan kuno ini melalui perkembangan berturut-turutnya di Persia, untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk agama lain, dan untuk memperlihatkan kondisi aktualnya di masa kini. Pernyataan-pernyataan terawal tentang keyakinan kuno Persia termuat dalam tradisi-tradisi sebuah dinasti yang me­merintah jauh sebelum raja pertama yang disebutkan dalam sejarah Persia (Keyumars), dan yang barangkali sezaman dengan tokoh-tokoh terawal kronologi Alkitab pasca-banjir besar. Dinasti ini dinamakan Mahabádí, sebuah kata yang jelas-jelas berasal dari India. Rekaman tentang pangeran-pangeran awal ini termuat dalam sebuah karya berjudul “Desatir”; perihal hakikat dan otentisitasnya kami akan perlu mengatakan beberapa patah kata. Itu ditulis dalam sebuah bahasa bernama Asmáni, atau “Samawi”, yang M. Troyer (pe­nerjemah terpelajar buku Dabistán i Mazáhib) anggap seba­gai “cincin perantara baru dalam rantai hermetik yang meng­hubungkan idiom-idiom Jermanik dengan bahasa-bahasa Asiatik lama; itu adalah,” sambungnya, “mungkin dialek terkuno [bahasa] Dari, yang dituturkan, jika bukan di Fars, di negara-negara timurlaut Kekaisaran Persia, yakni di Sogdia dan Bamian. Ketika itu tak lagi dituturkan, seperti beberapa bahasa lain dari zaman-zaman silam, dinasti Mahabádi dilestarikan dalam sebuah buku atau fragmen buku, yang kesendiriannya mirip dengan Alkitab Ibrani atau Zendavesta Persia.” Desatir mengklaim kepurbakalaan sejauh-jauhnya, dan disertai oleh sebuah terjemahan dan tafsir Persia, meng­aku sebagai karya dari Sasan kelima, yang hidup di zaman Khosrau Parvíz (tokoh sezaman Kaisar Heraklius) dan yang wafat pada tahun 643 M. Perihal dinasti Mahabádí. Sir William Jones berkata:
“Sudah dibuktikan oleh bukti paling jernih, bahwa sebuah monarki kuat didirikan di Iran jauh sebelum pemerintahan Asyur atau Pishdadí; bahwa itu hidup berabad-abad; dan bahwa sejarahnya tertanam pada sejarah bangsa India/Hindu, yang mendirikan monarki Ayodhya dan Indraprestha; bahwa bahasa kekaisaran Persia pertama merupakan induk Sanskerta, dan kare­nanya induk Zend dan Parsi, dan juga Yunani, Latin, dan Gotik, sebagaimana bahasa bangsa Asyur adalah induk bahasa bangsa Khaldea/Kasdim dan Pahlavi.”
Raja tersebut, di antara orang-orang Arya awal ini, menya­tukan dalam personanya sendiri fungsi raja-penguasa dan pendeta tinggi, sebagaimana Melchisedek (Raja Salem) dan sebagaimana kita dapati di kalangan bangsa Yunani dan Romawi awal, dan bahkan semua bangsa Arya lain. Sang raja adalah pengurai hukum sekuler dan sekaligus nabi, προφ­ήτης, atau pengurai hukum-hukum langit. Kitab pertama Desatir adalah bukunya Mahabad, sang Abad Agung, Abad terakhir dari dinasti tersebut yang disebut demikian; bahkan, nama tersebut kemungkinan besar meng­indikasikan ras secara kolektif, dan doktrin-doktrin yang ter­muat di dalam buku itu dapat dianggap sebagai tabulasi ide-ide keagamaan yang dicapai di bawah kekuasaan mereka. Dari doktrin-doktrin ini kita menyimpulkan penyembahan cahaya masih merupakan dasar kredo mereka, tapi itu sudah dielaborasi dan dispiritualisasi. Sebuah langkah progresif penting telah diambil, dan cahaya telah diakui sebagai mani­festasi atau simbol zahir dari sebuah kekuatan yang lebih misterius lagi, Tuhan. Tak saja cahaya merembesi semesta dan (masih menganggapnya tak terpisahkan dari dan menyatu dengan panas) membentuk elemen semesta yang memberi kehidupan, tapi semesta materil tidak bisa dilihat tanpanya. Maka, cahaya adalah medium penciptaan, simbol daya cipta sang Pencipta. Dengan demikian, dalam kosmo­goni Musaik, cahaya juga merupakan hasil dari penciptaan di hari pertama. Kepada medium atau simbol ini Mahabad memberi nama Inteligensi Primal, atau Khirid; dan setelah mempersonifi­kasi cahaya secara umum, dia lanjut menganggap cahaya-cahaya individual yang lebih rendah, atau benda-benda pem­beri cahaya, semisal matahari, bulan, dan bintang-bintang, sebagai inteligensi-inteligensi lebih rendah. Namun, dia ber­hati-hati menjelaskan bahwa mereka ini tidak memiliki eksis­tensi terpisah atau fungsi independen, melainkan bagian integral dari cahaya orisinil. Maka, di sini kita memiliki inti­sari teosofi Arya, konsepsi kesatuan/keesaan Tuhan. Supaya lebih jelas, kita akan ikhtisarkan langkah-langkah yang de­ngannya konsepsi ini dicapai: Cahaya adalah agen yang me­rembesi segalanya. Itu menampakkan, memanifestasikan, dan menciptakan semua benda/makhluk yang eksis, dan, sebaliknya, tidak ada yang bisa eksis tanpa cahaya. Oleh karenanya cahaya adalah eksistensi. Tapi, jika eksistensi bisa dirujukkan kepada cahaya, cahaya sendiri harus, secara analogi, dirujukkan kepada sesuatu yang lain, dan itu adalah sang agung tak dikenal, Mazdam, atau Tuhan.
Judul asli : The Monotheism of Paganism<i=1_Ocr4mH1Q61al8OmZZAZggaer7OF-xbO 481KB>The Monotheism of Paganism
Pengarang : ,
Penerbit : Relift Media, Juli 2024
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Paganisme Monoteistik: Mungkinkah Monoteisme Semit Lahir Dari Paganisme Arya

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2024)