Skip to content
Eropa: Antara Arya dan Yahudi – Relift Media

Eropa: Antara Arya dan Yahudi Bacaan non-fiksi sejarah

author _Algernon Bertram Mitford_; date _1911_ genre _Sejarah_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Mereka tahu bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya tiga peninggalan besar yang mereka warisi: syair dan seni dari bangsa Yunani, hukum dan keterampilan bernegara dari bangsa Romawi, dan, yang terbesar, ajaran Kristus. Oleh merekalah, dengan bantuan-bantuan ini, didirikan kebudayaan abad 19. Ini adalah cerita tentang kenaikan pemikiran, agama, syair, pengetahuan, peradaban, seni; cerita tentang semua elemen itu yang menyusun kehidupan kompleks Indo-Eropa hari ini—cerita tentang apa yang Chamberlain sebut “Der Germane”. Dan di sini biar kujelaskan secara definitif apa yang Chamberlain maksud dengan “Der Germane”; yang jelas bukan orang Jerman, sebab sebutannya akan “Der Deutsche”. Bagi sebagian orang, nama itu mungkin menyesatkan; tapi dia telah mengadopsinya, dan aku akan harus menggunakan­nya lagi, jadi mari kita ambil penjelasannya tentang itu. Dalam istilah ini, dia memasukkan bangsa Kelt, bangsa Jerman, bangsa Slavia, dan semua ras Eropa utara yang darinya bangsa-bangsa Eropa modern bersumber (yang jelas juga bangsa Amerika Serikat). Bangsa Prancis tidak secara spesifik disebutkan, tapi jelas dari lebih dari satu petikan bahwa mereka juga termasuk. Karena memang kenapa mereka mesti disisihkan? Tapi terkesan hampir paradoks mendapati Louis XIV diklaim sebagai “Germane tulen” lan­taran melawan gangguan Paus, dan menentang Paus yang tak pernah dilakukan raja Katolik manapun; dan dicela seba­gai seorang Germane yang tak setia pada “Germanentum”-nya lantaran persekusi tak tahu malu yang dia lakukan ter­hadap umat Protestan! Maka, dalam Germane, Chamberlain mendeskripsikan ras dominan abad 19. Aneh memang awal-mula sejarah ras itu. Jauh di Asia, di balik perbentengan gunung besar India, di zaman yang begitu jauh sampai-sampai tradisi dan fabel pun membisu tentang mereka, bermukim sebuah ras manusia kulit putih. Mereka adalah penggembala kambing, penggem­bala domba, pengolah tanah, penyair, dan pemikir. Mereka dinamakan Arya—orang ningrat atau kepala keluarga—dan dari mereka turun kasta dominan India, orang-orang Persia, dan bangsa-bangsa besar Eropa. Sejarah migrasi-migrasi Arya, tanggal-tanggal mereka, perkara-perkara mereka, hilang dalam awan masa lalu misterius. Yang kita tahu hanyalah bahwa ada sekurangnya tiga pengembaraan besar: dua ke arah selatan menuju India dan Persia, satu, atau mungkin beberapa, menyeberangi benua besar Asiatik menuju Eropa. Apa yang mendorong kaum amat berbakat ini dari ladang dan padang rumput mereka? Apakah mencari perubahan iklim? Apakah tekanan dari bangsa Mongol? Ada beberapa alasan untuk menduga bahwa perbedaan pendapat keagamaan mungkin ada kaitan dengan itu. Sebagai contoh, roh-roh jahat di dalam Zendavesta, kitab sucinya kaum Zoroaster, adalah dewa-dewa di dalam Rigveda, puisi-puisi sucinya kaum Arya India, dan sebaliknya. Walaupun begitu, ke manapun orang-orang Arya pergi, mereka menjadi tuan. Bangsa Yunani, bangsa Latin, bangsa Kelt, bangsa Teuton, bangsa Slavia—semua ini orang Arya; hampir tak tersisa satupun jejak para aborigin negara-negara yang mereka serbu. Begitu pula di India, “Varna”-lah, warna, yang mem­bedakan Arya kulit putih penakluk dari orang kulit putih keok, Dasyu, sehingga meletakkan fondasi kasta. Milik rumpun Arya cabang Teuton-lah tempat pertama di dunia, dan cerita Foundations of Nineteenth Century adalah cerita tentang kemenangan Teuton. Meski sama sekali tidak mengabaikan, atau tidak lalai untuk menerangkan, peradaban Asyur atau Mesir, buku ber­cakupan luas ini menisbatkan peletakan Fondasi Abad 19 pada pekerjaan seumur hidup tiga bangsa: dua dari mereka, Yunani dan Romawi, keturunan Arya, yang ketiga, Yahudi, keturunan Semitik. Perihal syair dan seni Yunani, Chamberlain menulis dengan seluruh gairah menggebu-gebu ala seorang kekasih. “Setiap inchi tanah Yunani itu sakral.” Homer, pendiri sebuah agama, pencipta dewa-dewa, berdiri sendirian di puncak. Dia adalah, boleh dibilang, Warwick-nya Olimpus. “Bahwa sese­orang sampai meragukan eksistensi penyair Homer, itu tidak akan memberi kesan baik kecerdasan zaman kita kepada generasi-generasi mendatang.” Baru seratus tahun sejak Wolf memulai teorinya bahwa tidak ada yang namanya penyair Homer—bahwa Iliad dan Odyssey adalah sebungkus lagu-lagu rakyat dari banyak masa dan banyak penyair yang direkatkan menjadi satu. Oleh siapa? tanya Chamberlain. Mengapa tidak ada lagi “penyunting-penyunting yang cakap” seperti itu? Apa perekatnya tak ada atau perekat otak? Schiller langsung mencela pemikiran itu sebagai “benar-benar barbar” dan menyatakan Wolf sebagai “iblis tolol”. Goethe mulanya tersangkut oleh pemikiran itu, tapi ketika dia memeriksa syair-syair itu lebih cermat, dari sudutpandang si penyair, dia mengakui salah dan sampai pada kesimpulan bahwa hanya ada satu Homer. Dan kini “Homer memasuki abad 20, milenium keempat kemasyhurannya, lebih besar dari sebelumnya”. Tak ada karya seni besar, urai Chamber­lain, yang pernah dihasilkan oleh kolaborasi sejumlah orang kecil. Orang yang menciptakan kepercayaan sebuah kaum, kata Aristoteles, “meramal sebelum semua penyair lain”. Jika syair Yunani dan seni Yunani adalah warisan utama abad 19 di kedua cabang kebudayaan manusia itu, maka kita boleh menyatakan dengan aman bahwa Homer di arah tersebut mendominasi semua pengaruh lain dan merupakan nabi pertama kebudayaan Indo-Eropa kita. Tak pernah, memang, api suci syair dan seni membara dengan lidah-lidah api yang lebih murni daripada di Yunani kuno. Homer diikuti oleh galaksi terang penyair-penyair. Drama tragis Æschylus dan Sophocles, farce-farce Aristo­phanes, idil-idil Theocritus, ode-ode Pindar, lirik-lirik cantik Anacreon, telah menjadikan kejeniusan Yunani sebagai penguji yang dengannya semua karya sesudahnya harus dinilai. Dalam arsitektur dan seni pahat, bangsa Yunani belum pernah ditandingi; seni lukis mereka kurang kita ketahui; tapi orang-orang yang berada di bawah pengaruh seorang Feidias dan seorang Praxiteles, dapat kita katakan dengan aman, tidak bakal sabar dengan seorang pemulas belaka. Maka syair dan seni adalah esensi kehidupan Yunani; mereka merasuk jiwa dan menggetarkan setiap serat orang-orang Hellen kuno. Filsafat mereka, pemikiran dalam yang bergetar dalam otak mereka, adalah syair. Plato sendiri, seperti Montesquieu katakan, adalah salah satu dari empat penyair besar umat manusia. Dia adalah Homer-nya pemi­kiran, penyair yang terlalu besar, menurut Zeller, untuk menjadi seorang filsuf. Kecuali menjadi Plato sendiri; dan semangatnya hari ini masih semuda dan sesegar seperti ketika dia begitu dirasuk oleh selera keindahan sampai-sampai membuat kuliah Sokrates-nya hanya dalam adegan-adegan terindah, dan berdoalah kepada dewa agung Pan agar dia indah pada diri dalamnya, dan agar diri luarnya selaras dengan itu. “Banyak yang telah datang berselang telah ter­benam dilupakan; sementara Plato dan Aristoteles, Demo­kritus, Euclid, dan Archimedes terus hidup di tengah-tengah kita, merangsang dan mengajar, dan figur setengah fabel Pythagoras bertambah besar setiap abad.”
Judul asli : Der Germane, The influence of Judaism on Indo-European civilisation...<i=1d1v2ZLKXvl4U4u6EUwX5i85bUZF4XPZN 386KB>Der Germane, The influence of Judaism on Indo-European civilisation...
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Eropa: Antara Arya dan Yahudi

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)