Semit murni ini, emigran awal dari gurun-gurun Arabia, adalah dan masih merupakan kekuatan pendorong, prinsip kehidupan, dan jiwa kesatuan etnis baru bani Israel yang muncul dari bermacam-macam persilangan.
Bani Israel lahir dari persilangan tiga (bahkan mungkin empat) tipe manusia berbeda: Semitik, Suriah (atau lebih tepatnya Het), dan Indo-Eropa. Mungkin darah Turani, atau, sebagaimana lebih sering dipanggil di Jerman, darah Sumeria-Akkadia, juga mengalir dalam pembuluh para leluhur awal.
Agar pembaca dapat memahami dengan jelas bagaimana persilangan ini terjadi, aku harus terlebih dulu memberi sketsa historis ringkas. Itu akan menyegarkan ingatan berkenaan dengan fakta-fakta familiar dan membantu membuat sejarah asal-muasal ras Yahudi dapat dimengerti.
Kendati istilah “Semit”, sebagaimana diterapkan pada sebuah ras otonom murni yang eksis sejak permulaan masa, boleh dibilang sebuah ciptaan khusus Tuhan, adalah sudah pasti abstraksi belaka, tetap saja itu tidak seberesiko kata “Arya”; sebab hari ini masih eksis sebuah kaum yang diduga mewakili tipe Semit purba yang murni dan tak ternoda, yakni Badui gurun Arab. Mari kita buang Semit tak jelas dan batasi diri pada Badui riil. Diduga, dan ada banyak alasan bagus untuk dugaan ini, bahwa beberapa ribu tahun sebelum masehi, manusia-manusia yang sangat mirip dengan orang-orang Badui hari ini bermigrasi dari Arabia dalam sebuah arus nyaris tanpa putus ke timur dan utara, memasuki negeri di antara dua sungai. Arabia itu sehat, jadi populasinya bertambah; tanah amat tandus, jadi sebagian penduduknya harus mencari nafkah di tempat lain. Tampaknya, kadang-kadang gerombolan migrasi besar yang terdiri dari orang-orang bersenjata keluar mengembara; dalam kasus-kasus demikian, populasi surplus diusir dengan kekuatan tak tertahankan dari kampung halaman mereka, ditinggalkan sebagai penakluk di negara-negara tetangga; dalam kasus-kasus lain, keluarga-keluarga tunggal beserta kawanan ternak mereka mengembara secara damai melintasi perbatasan bertanda tak pasti dari satu tempat gembala ke tempat lain; jika mereka tidak seketika itu juga berbelok ke barat, sebagaimana banyak dari mereka lakukan, mungkin saja mereka maju sampai ke Eufrat, sehingga, mengikuti arus, menempuh jalan mereka ke utara. Di zaman sejarah (di bawah bangsa Romawi dan sesudah Muhammad) kita memiliki contoh-contoh patut diingat terkait cara ringkas dalam menyingkirkan populasi berlebih; di Negara-negara besar beradab antara Tigris dan Eufrat, Semitisasi juga merupakan pekerjaan massa besar tapi lebih damai. Bahkan, di manapun, sebagaimana di Akkadia Babilonia, orang-orang Semit berkontak dengan sebuah kebudayaan matang, kuat, dan mandiri, mereka menang atasnya melalui peleburan dengan masyarakat tersebut—sebuah proses yang dalam kasus bangsa Babilonia bisa kita telusuri sekarang secara hampir selangkah demi selangkah. Bani Israel, di sisi lain, beremigrasi sebagai penggembala sederhana dalam kelompok-kelompok kecil dan, demi mengamankan ternak mereka, terpaksa menghindari semua operasi perang; jumlah kecil mereka akan menjadikan mereka tak mampu melaksanakan operasi perang bagaimanapun juga. Cerita Alkitab tentu saja memberi kita hanya cerminan redup tradisi-tradisi lisan purba mengenai pengembaraan terawal keluarga Badui ini; selain itu tradisi-tradisi itu banyak dipalsukan oleh miskonsepsi, teori, dan maksud para juru tulis yang lahir belakangan; tapi tetap tak ada alasan untuk meragukan ketepatan detil-detil umum yang diberikan, terlebih lagi mereka tak mengandung sesuatu yang tak probabel. Segalanya memang sangat dipersingkat; seluruh keluarga-keluarga menyusut menjadi satu orang (sebuah adat-istiadat universal Semitik, “yang hanya kita jumpai dalam kasus orang-orang Semit,” kata Wellhausen); para leluhur lain hanyalah nama tempat-tempat di mana bani Israel sudah lama menetap; pergerakan yang membutuhkan beberapa generasi untuk diselesaikan dinisbatkan pada satu individu. Kebutuhan ini, yakni untuk menyederhanakan hal kompleks, untuk merapatkan apa yang terpisah jauh, sama alaminya pada kaum ini sebagaimana pada penyair yang berkreasi secara sadar. Sehingga, contohnya, Alkitab menggambarkan Abraham (saat sudah menikah) sebagai beremigrasi dari distrik Ur, di aliran bawah Eufrat, ke Mesopotamia utara, di kaki rangkaian pegunungan Armenia, ke Paddan-Aram, yang begitu sering dibicarakan oleh kitab Kejadian dan yang terletak di sisi jauh Eufrat, di antara Eufrat dan anak sungai Khabur, dalam garis lurus sekitar 375 mil, tapi mengikuti lembah dan garis bidang gembala sekurangnya 937 mil dari Ur (lihat peta di halaman 365); tapi lebih dari itu, Abraham ini konon bergerak belakangan dari Paddan-Aram ke arah baratdaya, menuju tanah Kanaan, dari sana ke Mesir dan akhirnya (aku tak perhitungkan perjalanan-perjalanannya yang lebih pendek) dari Mesir ke Kanaan lagi dan semua ini disertai oleh begitu banyak kawanan ternak sehingga dia terpaksa (dalam rangka menemukan tanah gembala yang cukup untuk mereka) untuk berpisah dari kerabat-kerabat terdekatnya (Kejadian xiii.). Terlepas dari pemadatan ini, tradisi tua Ibrani mengandung semua hal yang perlu kita ketahui, khususnya di tempat-tempat di mana tradisi tertua hadir di depan kita dalam bentuk paling tak dipalsukan, dan kupasan Biblikal sudah memberi kita informasi penuh berkenaan dengan itu.
Judul asli | : | Origin of the Israelite, The Genuine Semite, The Syrian, The Amorites, Comparative Numbers<i=169SVX_i2Fy-EETEpHTW262w98yXNM8P_ 538KB>Origin of the Israelite, The Genuine Semite, The Syrian, The Amorites, Comparative Numbers (1899) |
Pengarang | : | Houston Stewart Chamberlain |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2023 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |