Itu bergantung pada “kejatuhan” Adam. Itu bergantung pada konsepsi seorang Tuhan yang mengizinkan, atau mengatur, dunia-Nya tiba pada sebuah keadaan sedemikian putus asa sampai-sampai hanya Putera-Nya sendiri yang bisa menyelamatkannya (atau lebih tepatnya bagian darinya) dari kebinasaan total.
Tak ada pemikiran yang lebih familiar bagi para pembaca literatur teologis Kristen daripada bahwa Kristen adalah “kata penutup” dalam perkembangan keagamaan. Ia agama sempurna, agama absolut.
Tapi, seperti M. Loisy, banyak orang jadi percaya bahwa tidak ada agama absolut. Barangkali alasan kenapa aku sendiri memegang kepercayaan ini dengan sangat kuat adalah karena aku dibesarkan di dalam sebuah keyakinan (dan masih bagian darinya) yang guru-gurunya biasa mempercayai, kurasa masih mempercayai, bahwa agama mereka, dan bukan Kristen, adalah agama sempurna dan absolut! Tak ada ide yang bisa lebih jenaka, atau lebih kekanakan, bagi orang-orang Kristen daripada bahwa, di antara semua keyakinan di dunia, Yudaisme semestinya mengklaim sebagai agama absolut! Sebab, bagi semua guru Kristen, Yudaisme adalah tegas-tegas agama tak sempurna, hanya karena itu merupakan persiapan historis untuk Kristen. Yang satu adalah benih, yang satu lagi adalah bunga. Ketidakmatangan terdahulu digantikan oleh keindahan penggenapan. Hampir tak satupun teolog Kristen membaca kitab-kitab Yahudi. Kenapa harus? Tapi penstudi-penstudi Yahudi sering membaca kitab-kitab Kristen. Dan tentu menggelikan mendapati “keabsolutan” dan kesempurnaan ini sama-sama diklaim oleh guru-guru masing-masing keyakinan.
Apakah klaim Yahudi memiliki kemiripan sama sekali? Ada beberapa orang, kukira, yang masih percaya bahwa bumi ini datar. Setidaknya aku ingat beberapa tahun lalu menerima sebuah pamflet yang membuktikan kedataran tersebut hingga membuat aku puas sama sekali. Apakah klaim Yahudi atas “kesempurnaan” atau “keabsolutan” Yudaisme sama jenisnya—sekadar mood tak karuan, kesintasan eksentrik, yang tak perlu diberi perhatian sekecil apapun? Kebanyakan orang akan terus menganggap begitu. Tapi aku mengira ia lebih bisa menjelaskan dirinya dibanding para pengusung bumi datar menjelaskan keeksentrikan “saintifik” mereka. Tapi, barangkali,—sebagaimana M. Loisy bakal berpendapat—di mana kaum Yahudi paling bisa menjelaskan diri mereka adalah dalam mengorek lubang-lubang di dalam kepercayaan diri Kristen yang kalem, sementara di mana kaum Kristen berbuat sebaik-baiknya adalah dalam mengorek lubang-lubang di dalam ketenangan Yahudi yang tak kurang majunya!
Apa itu Yudaisme yang para guru Kristen anggap sebagai “tak sempurna” dan sebagai “persiapan”? Tak pelak lagi itu adalah Yudaisme Perjanjian Lama, atau Yudaisme abad pertama masehi. Bahwa Yudaisme telah berkembang sejak saat itu di jalannya sendiri, bahwa ada banyak bentuk Yudaisme hari ini, bahwa Yudaisme Liberal adalah salah satu dari bentuk-bentuk ini—semua ini kurang disadari dan kurang dianggap. Tapi ini wajar. Sebab, biar bagaimanapun, jumlah total orang Yahudi sangat kecil.
Kristen yang para guru Yahudi anggap begitu inferior dibanding Yudaisme tidak terlalu sebatas kitab atau zaman, tapi meski demikian Perjanjian memainkan peran sangat besar di dalamnya. Memandang Kristen sebagai agama Perjanjian Baru barangkali tidak terlalu menyebalkan bagi orang Kristen dibanding memandang Yudaisme sebagai agama Perjanjian Lama bagi banyak orang Yahudi. Semua orang Yahudi Liberal, bagaimanapun juga, akan dengan leluasa dan blak-blakan mengakui banyak ketidaksempurnaan keagamaan dalam Perjanjian Lama; lebih diragukan seberapa jauh orang-orang Kristen Liberal sekalipun mau bakal mengakui banyak ketidaksempurnaan keagamaan dalam Perjanjian Baru. Oleh karenanya, barangkali, agak lebih pantas bila orang-orang Yahudi mencoba menyudutkan Kristen pada petikan-petikan menyakitkan dan tak nyaman di dalam Perjanjian Baru dibanding bila orang-orang Kristen mengadopsi metode yang sama dengan Perjanjian Lama dan kaum Yahudi.
Superioritas yang Yahudi modern temukan dalam Yudaisme, atau ketidakcukupan dan kemerosotan yang dia temukan dalam Kristen, barangkali tidak sama dengan yang ditemukan (dalam kedua hal) oleh leluhur zaman pertengahannya. Yahudi Liberal tentu saja merupakan murni ciptaan zaman modern. Dan pandangannya terhadap Yudaisme, bahkan dalam superioritas-superioritasnya, bakal tak dapat dipahami, atau, jikapun dapat dipahami, menjijikkan, bagi orang-orang Yahudi yang sezaman dengan Konstantin, Aquinas, dan Luther.
Jelas-jelas mustahil di sini untuk merenungkan doktrin ilahi. Yahudi Unitarian kaku hampir tidak memahami (ini dapat diakui dengan leluasa) doktrin filosofis Trinitas. Di sisi lain, Trinitarian hampir tidak memahami arti utuh Unitarianisme Yahudi. Di tingkat yang lebih rendah, aku pikir, mungkin sudah pada tempatnya diklaim oleh Yahudi bahwa Unitarianisme murninya telah, selama bergenerasi-generasi, menjaga dirinya bebas dari jenis atau macam kemusyrikan/pemberhalaan apapun. Itu telah membawa anggota-anggota agamanya yang kurang berpendidikan ke dalam kontak intelektual lebih erat dengan anggota-anggota paling berpendidikan. Itu telah menjadi ikatan yang menautkan orang bijak dan orang bodoh, orang terpelajar dan massa. Tuhan Esa, Bapak dan Raja, sudah pasti dikonsepsikan secara berbeda oleh Yahudi bodoh dan Yahudi filsuf. Tapi si bodoh dan si filsuf sama-sama yakin bahwa semua singgungan materil di dalam Alkitab Ibrani adalah murni metaforis. Seni yang indah, tapi mematerialkan dan melayani kemusyrikan, tidak menghalangi keutuhan keyakinan ini. Keesaan dan spiritualitas Tuhan adalah kepercayaan setiap orang Yahudi. Dan Tuhan esa ini adalah keesaan dalam karakter-Nya selain dalam eksistensi-Nya. Dia adalah Bapak; Dia adalah Penguasa; Dia adalah Hakim. Dia menghukum dan mengganjar; Dia menyembuhkan dan mengampuni; terutama Dia mengampuni dan mengasihi. Tidak ada yang namanya Bapak yang Agung atau Adil dan di saat yang sama Putera yang Pengampun dan Pengasih. Tuhan esa-lah yang memiliki semua [sifat] ini; oleh karenanya keadilan-Nya adalah ampunan-Nya; ampunan-Nya adalah keadilan-Nya. Kebenaran-Nya adalah kasih-Nya; kasih-Nya adalah kebenarannya. Tidak ada kemungkinan konflik di antara mereka. Semua ini adalah kebenaran familiar bagi setiap Yahudi, jahil ataupun terpelajar. Aku kira itu sudah menjadi kebenaran familiar untuk banyak sekali generasi.
Judul asli | : | The Perfection of Christianity—A Jewish Comment<i=1da_CekTWfzy-gpGgUv6aGNDByIvI2zPE 459KB>The Perfection of Christianity—A Jewish Comment (1916) |
Pengarang | : | Claude Goldsmid Montefiore |
Penerbit | : | Relift Media, Oktober 2023 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |