Demokrasi Amerika telah memimpin jalan dalam konflik berat melawan salah satu keburukan terburuk yang telah menimpa umat manusia beradab di zaman modern. Itulah dua gambaran mengagumkan tentang pelatihan yang diterima bangsa Amerika selama tiga abad pendudukan mereka.
Pada musim panas 1896 aku memberikan pidato di Chautauqua asli, yang didirikan dan dipimpin oleh Uskup John H. Vincent dari Gereja Episkopal Metodis, mengenai “Lima Sumbangsih Amerika Untuk Peradaban”. Dalam paragraf kedua dari terakhir, lima sumbangsih ini digambarkan dan digolongkan dengan ringkas sebagai berikut:
“Lima sumbangsih untuk peradaban ini—penjagaan perdamaian, toleransi beragama, pengembangan hak pilih pria dewasa, penyambutan pendatang baru, dan penyebaran kesejahteraan—kuanggap sebagai sungguh-sungguh ciri khas negara kita, dan saking pentingnya, terlepas dari kualifikasi dan deduksi yang diakui oleh setiap warga terus-terang berkenaan dengan masing-masingnya, kelimanya akan selalu diingat dengan penuh terimakasih oleh umat manusia. Kelimanya merupakan dasar layak untuk patriotisme kokoh dan berseri-seri. Kelimanya memiliki banyak kaitan, sebagai sebab maupun akibat, dengan kemakmuran materil AS; tapi kelimanya adalah lima sumbangsih moril pada esensinya, sebagai kemenangan nalar, ikhtiar, keberanian, kepercayaan, dan keadilan, di atas nafsu, egoisme, kelambanan, ketakut-takutan, dan ketidakpercayaan. Di bawah masing-masing perkembangan ini terdapat sebuah sentimen etika yang kuat, sebuah maksud moral dan sosial yang berat. Untuk kerja demikianlah banyak negara demokrasi cocok.”
Tadinya aku ingin menekankan dalam paragraf ini bahwa kelima sumbangsih tidaklah materil tapi moril, bukan bukti materialisme kasar dan egois pada rakyat Amerika, tapi sebaliknya bukti kualitas spiritual baik sebagai hasil dari pengalaman mereka dalam kebebasan sosial dan politik, dalam konflik kronis dengan berbagai musuh mereka—sebagiannya manusia, dan sebagiannya kekuatan-kekuatan Alam yang merugikan.
Sepuluh tahun sebelumnya, di peringatan ke-250 First Parish Church di Cambridge, dalam sebuah pidato berjudul “Why we honor the Puritans”, aku berbicara menjelang akhir pidato sebagai berikut, mencoba menjawab pertanyaan: Apakah kita, keturunan kaum Puritan, memiliki cita-cita yang untuknya kita mau bersusah-payah dan menderita, dan kalau perlu mati?
“Perang Sipil memberi satu jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi aku percaya bahwa dalam perdamaian, selain dalam perang, bangsa kita telah menunjukkan ia punya cita-cita yang untuknya ia siap menanggung kerja berat, rasa sakit, dan kehilangan. Aku percaya bangsa lain tak pernah melihat dengan jelas langkah-langkah dalam progresinya sendiri itu, peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sendiri itu, yang generasi-generasi mendatang akan anggap sebagai mulia. Tapi aku berpikir kita bisa melihat beberapa cita-cita moral yang ke arahnya generasi kita berjuang. Kita berjuang ke arah perbaikan progresif kondisi manusia, perbaikan massa rata-rata. Kita mulai mendapatkan pemahaman membekas akan cita-cita demokratis sempurna itu: ‘Kita semua adalah anggota satu sama lain.’ Pengurangan bertahap pelaksanaan otoritas sewenang-wenang dalam keluarga, dalam pendidikan, dan dalam pemerintahan adalah satu cita-cita lain yang ke arahnya kita mendesak maju. Kita akhirnya mulai betul-betul percaya bahwa orang yang akan menjadi terhebat di antara kita haruslah pelayan kita.”
Alasan kenapa aku memberikan pidato untuk menghormati kaum Puritan itu adalah karena mereka “berhati gigih untuk sebuah cita-cita—bukan cita-cita kita, tapi cita-cita mereka—cita-cita mereka akan kebebasan sipil dan keagamaan. Di manapun dan kapanpun pria-pria dan wanita-wanita teguh mencurahkan hidup dan kekayaan mereka bukan pada tujuan materil tapi spiritual, di situ dan saat itulah para pahlawan dihasilkan, dan, puji Tuhan, dihasilkan untuk dikenang. Kaum Puritan berniat membangun teokrasi; mereka berdiri dalam sejarah sebagai pahlawan demokrasi.”
Ketika Perang Dunia terakhir baru berumur dua bulan, aku menerbitkan dalam Times New York sebuah surat berjudul “Kebesaran Bangsa yang Hakiki”. Aku mengatakan bahwa, “Di Amerika Utara terdapat dua komunitas besar—sebelum ini terilhami utamanya oleh cita-cita yang bersumber dari Inggris—yang tak pernah memelihara balatentara wamil, dan tak pernah membentengi perbatasan panjang mereka terhadap satu sama lain—Kanada dan AS. Keduanya dapat sewajarnya dikatakan bangsa-bangsa besar bahkan saat ini; dan keduanya memberi harapan luas untuk masa depan. Tak satupun dari kedua bangsa ini kekurangan ‘kualitas gigih dan gemar perang’ yang Sir Francis Bacon bicarakan; keduanya telah sering memperagakannya.” Dan kemudian aku menanyakan—Apa ambisi dan harapan sungguhan bangsa AS dan bangsa Kanada berkenaan dengan masa depan mereka sendiri? Pertanyaan itu kujawab sebagian sebagai berikut:
“Ekspektasi kebesaran mereka tentu tidak didasarkan pada konsepsi kekuatan militer yang tak terkalahkan, atau keinginan akan sarana fisik untuk memaksakan kehendak mereka pada tetangga mereka. Mereka berdua mempercayai persemakmuran bebas, yang dikelola secara adil, dan dengan maksud mengamankan untuk setiap individu semua kebebasan yang bisa dia laksanakan tanpa merugikan tetangganya dan kebaikan kolektif... Mereka percaya bahwa tujuan utama pemerintahan seharusnya adalah penggalakan kesejahteraan publik melalui sarana legislatif dan administratif; bahwa proses-proses pemerintahan seharusnya terbuka dan kasat mata, dan hasil-hasilnya terus dipublikasikan untuk disetujui atau tidak disetujui. Mereka percaya bahwa sebuah bangsa menjadi besar melalui produktivitas industri dan perdagangan dalam negeri dan luar negeri yang ditimbulkannya, melalui peningkatan bertahap kenyamanan dan kebaikan umum dalam populasi, dan melalui pemajuan sains, sastra, dan seni... Mereka berpikir bahwa perdamaian dunia paling bisa digalakkan dengan perjanjian publik khidmat antara bangsa-bangsa—bukan pangeran-pangeran atau kabinet-kabinet—perjanjian yang dibuat untuk ditepati, diperkuat oleh pelayanan timbal-balik dan jasa baik, dan diawasi oleh pengadilan yudisial internasional permanen yang dikuasakan untuk menyeru bangsa-bangsa terafiliasi agar mengerahkan kekuatan apapun yang mungkin diperlukan untuk menimbulkan kepatuhan pada dekrit-dekritnya... Cita-cita baru akan masih membutuhkan perlindungan dan dukungan—di dalam maupun di luar setiap bangsa—kekuatan publik terkendali, yang bertindak di bawah hukum nasional dan internasional, sebagaimana pikiran waras membutuhkan tubuh yang sehat dan kuat sebagai agennya. Kesehatan dan tenaga akan terus menjadi pelindung moralitas, keadilan, dan kemurahan.”
Di sini lagi-lagi aku berpendapat bahwa cita-cita bangsa Amerika bukan semata-mata kenyamanan fisik dan kekayaan pribadi dan nasional, tapi lebih kepada moralitas, keadilan, kemurahan, dan kebaikan spiritual dalam keluarga dan Negara.
Dua bulan kemudian, dalam sebuah surat yang dicetak di suratkabar yang sama, aku berkata:
“Tugas terdekat AS adalah kiranya bersiap-siap, berdasarkan AD dan AL-nya saat ini, untuk menyediakan kuota efektif untuk pasukan internasional, pelayan sebuah mahkamah internasional, yang akan menghasilkan dari perang paling buruk ini bukan gencatan senjata, melainkan perdamaian abadi.” Kini, tugas adalah buah dari pengetahuan dan sentimen atau cinta.
“Kala tugas berbisik lirih, ‘Kau harus,’ Sang pemuda menjawab, ‘Aku bisa.’”Seruan pelayanan umat manusia ini ditaati dua tahun kemudian oleh bangsa Amerika dengan antusiasme sepenuh jiwa, yang memakan sedikit kehilangan harta-benda (pribadi atau publik), sedikit utang besar pemerintah, sedikit pajak tinggi, atau hilangnya nyawa atau kesehatan pemuda-pemuda mereka. Kesuksesan militer melawan pemerintah-pemerintah otokratis dan kebijakan penaklukan egois dan kejam mereka menjadi tujuan segenap bangsa ini, tak peduli apapun resikonya. Pemerintahan Nasional tadinya menahan diri dari masuk ke dalam Perang sengit antara negara-negara despot dan agresif dan pemerintah-pemerintah konstitusional, tadinya menghidupkan nasehat Washington kepada persemakmuran kecil lemah yang ditanam di jalur sempit pesisir timur AS kontinental—agar ia tetap jauh-jauh dari jeratan Eropa—dan berpuas diri dengan protes-protes lisan tak efektif terhadap pelanggaran “hak-hak netral”; tapi pada April 1917, Pemerintahan, Kongres, dan Rakyat masuk ke dalam Perang dahsyat dengan harapan dan maksud menghancurkan otokrasi di Eropa, mempromosikan demokrasi di setiap tempat, menyediakan sarana internasional untuk mencegah perang di masa depan, dan menjadikan dunia tempat lebih baik untuk ditinggali generasi masa depan. Tentu, ini sebuah ikhtiar moral luar biasa, yang hampir belum dimasuki oleh pertimbangan materil dan egois sama sekali. Selama 20 atau 30 tahun sebelum tekad tinggi ini, bangsa Amerika membuat beberapa sumbangsih lain bagi peradaban selain lima yang kubicarakan panjang-lebar pada 1896. Sumbangsih-sumbangsih ini sekarang akan diketengahkan. Demokrasi Amerika telah membuat sumbangsih sangat penting bagi kesejahteraan manusia dalam arti itu telah mengembangkan pada orang-orangnya sebuah kehalusan lebih besar dan penghormatan lebih dalam terhadap kaum wanita dan anak-anak daripada yang pernah diperagakan oleh ras atau bangsa lain manapun. Bersama perkembangan ini teriring pula semangat persahabatan simpatik dan semangat usaha kasih-sayang bersama untuk kebaikan anak-anak, yang merupakan perbaikan besar pada hubungan antar jenis kelamin yang sebelumnya berlaku di bangsa-bangsa lain atau di bawah bentuk-bentuk pemerintahan lain. Kini, pencapaian kebahagiaan lebih bergantung pada hubungan baik antar jenis kelamin dan pada kegembiraan rumahtangga dibanding pada kondisi hidup manusia lainnya. Oleh karenanya, sumbangsih Amerika untuk kesejahteraan manusia ini fundamental, sah, dan awet; dan ini adalah sumbangsih rohani atau moril, bukan materil. Kondisi-kondisi fisik dalam mana benua Amerika diduduki oleh orang-orang keturunan Inggris dan Amerika menjadi sebab sebagian untuk pencapaian moril ini. Di seantero benua, baris perintis riil—seringkali didahului oleh baris pasukan skirmiser yang terdiri dari para petualang pria—adalah baris keluarga-keluarga; para pria menyediakan perlindungan yang memungkinkan untuk baris tersebut, sementara para wanita sama-sama secara heroik merasakan bahaya dan kesulitan hidup. Sambil bergerak maju, baris perintis mengorganisir desa-desa, distrik-distrik, kota-kota, gereja-gereja, dan sekolah-sekolah yang mengambil tindakan bersama untuk pertahanan, pendidikan, dan agama, dan melalui organisasi-organisasi ini keluarga dilindungi dan diasuh. Selama tiga ratus tahun, perkembangan kehidupan keluarga di tanah segar ini telah berjalan tanpa rintangan apapun dari sistem feodal atau kekuasaan gerejawi, dan dengan pemupukan individualisme dalam kebebasan secara terus-menerus. Kondisi-kondisi fisik dalam mana masyarakat Amerika berkembang memiliki satu efek menarik lain terhadap karakter dan kebiasaan orang-orang tersebut. Setiap generasi menjumpai keburukan dahsyat, sebagian adalah akibat dari kekuatan Alam yang merugikan dan yang lain adalah akibat dari kebodohan atau kedurjanaan manusia, yang harus dilawan generasi tersebut, contohnya panas atau dingin tak biasa, kekeringan, badai, hama, wabah, penyakit menular, dan serangan kaum tak beradab atau orang-orang beradab yang bersekutu dengan kaum tak beradab. Karenanya timbul di komunitas-komunitas Amerika praktek melawan kuat keburukan-keburukan yang mendatangi mereka, dan bukan hanya melawan tapi juga mencoba mencegahnya. Kerjasama dalam melawan atau mencegah keburukan dan pelanggaran telah menjadi sekolah pelatihan demokrasi Amerika. Inisiatif dalam aksi kerjasama ini seringkali datang dari individu-individu “penerang dan pemimpin”; tapi usaha kerjasama biasanya dilakukan oleh sebuah kelompok, kadang kecil tapi seringkali besar, atau dipikul oleh seluruh komunitas. Kerjasama warga pribadi untuk tujuan publik itu telah mencirikan bangsa Amerika selama tiga ratus tahun. Dua reformasi anyar di bidang kesehatan publik—Amandemen Pelarangan Miras dan penekanan penyakit-penyakit kelamin dan tindak asusila dikomersialisasi yang menghasilkan dan menyebarkan penyakit tersebut—dalam tahun-tahun belakangan adalah produk kerjasama warga pribadi ini untuk tujuan publik. Masuknya AS ke dalam Perang Dunia memberi dorongan besar pada kedua reformasi ini; tapi legislasi Pelarangan Miras berkembang secara bertahap selama hampir 30 tahun di Kansas, dan di beberapa negara bagian selatan selama 10 atau 12 tahun, sementara jalan ke arah penekanan dan pemusnahan akhir penyakit-penyakit kelamin diperlihatkan selama beberapa tahun sebelum Perang oleh perhimpunan-perhimpunan pribadi. Hasil dari pelarangan—semasa Perang—penjualan alkohol di dan dekat kamp atau barak Angkatan Darat Nasional yang terbentuk menunjukkan kepada jutaan orang Amerika bagaimana keburukan jahat alkoholisme bisa berhasil dilawan dan dikurangi, dan dengan sabar dibasmi, dan membawa langsung pada pengadopsian Amandemen Pelarangan Miras oleh mayoritas pemilih Amerika. Dengan demikian, demokrasi Amerika telah memimpin jalan dalam konflik berat melawan salah satu keburukan terburuk yang telah menimpa umat manusia beradab di zaman modern. Itulah dua gambaran mengagumkan tentang pelatihan yang diterima bangsa Amerika selama tiga abad pendudukan mereka atas tanah Amerika dari kebiasaan mereka melawan keburukan fisik atau moril yang diakibatkan oleh gaya hidup mereka, sementara mereka bebas untuk mengatasi atau tunduk pada keburukan-keburukan itu. Itulah cara Tuhan membentuk karakter sehat dalam individu ataupun ras. Metode melawan keburukan-keburukan ini paling mencolok di bidang kedokteran atau kesehatan publik. Sesuai dengan itu, profesi kedokteran dijunjung lebih tinggi dan diberi status lebih baik dalam masyarakat Amerika daripada di tempat lain manapun di dunia. Itu telah menjalankan pengaruh lebih kuat pada urusan komunitas daripada di bangsa lain manapun. Di banyak desa atau kota kecil di seantero AS, dokter telah menjadi, dan masih merupakan, warga terkemuka, dan penasehat tetap untuk bukan hanya pertemuan kota, tapi juga untuk keluarga-keluarga utama di kota atau distrik. Dia adalah orang yang paling bisa memberitahu komunitasnya bagaimana menyerang dan mencegah keburukan yang memapar mereka. Di masa belakangan, dokter di komunitas-komunitas Amerika sering mengungguli pengacara dan pendeta sebagai warga berpengaruh. Di banyak komunitas manufaktur Amerika hari ini dokter lebih kompeten daripada anggota lain untuk menunjuki komunitas bagaimana melawan atau mencegah keburukan yang menimpa mereka. Kerjasama perlawanan terhadap keburukan di dunia modern merupakan sarana besar kemajuan sosial dan industri; dan di komunitas-komunitas demokratis, dokterlah yang memberi contoh terbaik untuk akurasi dalam menentukan fakta, kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, dan ketidakpamrihan dan semangat publik dalam gaya hidupnya. Adalah mode di dalam negeri dan luar negeri untuk menggambarkan masyarakat Amerika dan motif-motifnya sebagai materialistik dalam kadar tertinggi, dan untuk mengutip—sebagai ilustrasi doktrin ini—jumlah dan nilai luar biasa penemuan-penemuan yang telah disumbangkan oleh para penemu Amerika kepada industri-industri produktif dan mata pencaharian secara umum, misalnya telegraf, telepon, mesin jahit, mesin potong rumput, mesin penuai, mesin cetak putar, dan mesin-mesin yang menghasilkan cahaya, panas, dan tenaga dari listrik. Tapi meski penemuan-penemuan tersebut memang berkontribusi besar pada kontrol manusia atas alam dan pada pemanfaatannya atas sumberdaya alam, para penemu itu sendiri produk jenis apa? Mereka telah menjadi, dan masih merupakan, manusia-manusia dengan bakat alami tak biasa yang berkembang sebagai individu dalam kebebasan masyarakat demokratis, sebuah masyarakat yang menghasilkan individu beranugerah alami langka secara lebih berlimpah daripada masyarakat lain, dan kemudian memberinya kebebasan untuk berkembang sesuai dengan kecenderungan dan pengabdian alaminya. Dengan kata lain, keunggulan baru dan luar biasa yang seluruh dunia dapatkan berkat daya temu Amerika tidaklah semata-mata berpangkal materialistik, tapi merupakan hasil mental dan spiritual dari karakter moral dan itikad baik komprehensif yang demokrasi kembangkan pada individu maupun kelompok. Sarana baru komunikasi berkat daya temu Amerika tidak lebih materialistik dalam hal esensi atau akibat dibanding kantor pos. Mereka mendekatkan orang-orang yang tinggal berjauhan, sehingga memfasilitasi interaksi manusia, yang mana baik dan bermanfaat secara umum, meski kadang biasa saja atau bahkan buruk. Dari ulasan ini terlihat bahwa bangsa Amerika sejak kolonisasi pertama orang-orang Eropa di Pesisir Atlantik telah terus-menerus berkontribusi tak hanya pada penggalakan kebebasan di antara umat manusia, tapi juga pada perbaikan semua kondisi hidup manusia yang menghasilkan kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan lebih besar. Ungkapan dalam Deklarasi Kemerdekaan bahwa setiap orang berhak atas “kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan” sangatlah signifikan sebagai penggambaran sasaran-sasaran bajik yang bangsa Amerika telah dan sedang coba gapai dengan terencana dan gigih, tak hanya untuk diri mereka sendiri tapi juga untuk semua manusia. Tapi bagaimana bangsa Amerika terpaksa hidup melewati abad-abad upaya terarah ini? Tidaklah berlebihan jika dikatakan mereka terpaksa hidup siap-sedia untuk menggunakan paksaan atau kekerasan terhadap lawan—manusia atau keburukan alam—dan bersiap untuk bertarung sepanjang waktu.
Judul asli | : | The Next American Contribution to Civilization<i=1RMC_Yf9kLmXQ9bwLcGhYjMt5YCZTOOlK 295KB>The Next American Contribution to Civilization (1922) |
Pengarang | : | Charles W. Eliot |
Penerbit | : | Relift Media, September 2023 |
Genre | : | Sejarah |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |