Skip to content
Jalan Pancasila Buddha – Relift Media

Jalan Pancasila Buddha Bacaan non-fiksi religi

author _Paul Dahlke_; date _1918_ genre _Religi_; category _Esai_; type _Nonfiksi_ Sila-sila ini merupakan aturan perilaku hasil rumusan sendiri, yang diterima dan diusahakan untuk dipatuhi dengan sukarela oleh individu—bukan untuk menyenangkan Tuhan, tapi untuk menyelaraskan dirinya secara moral dengan hasil-hasil pemikirannya. Ada lima sila dalam Buddhisme yang mengikat semua orang Buddhis. Yaitu:
  • Tidak mengambil nyawa makhluk apapun.
  • Tidak mengambil apa yang tidak diberikan.
  • Berpantang dari kelakuan seksual tak senonoh.
  • Berpantang dari omongan tak benar.
  • Berpantang dari minuman keras.
Sila-sila ini bukanlah perintah dalam pengertian Kristen. Tidak ada perumus hukum ilahi yang mengangkat telunjuk penuh ancaman dari balik awan. Sila-sila ini merupakan aturan perilaku hasil rumusan sendiri, yang diterima dan di­usahakan untuk dipatuhi dengan sukarela oleh individu—bukan untuk menyenangkan Tuhan, tapi untuk menyelaras­kan dirinya secara moral dengan hasil-hasil pemikirannya. Oleh karenanya sila-sila ini dimulai dengan kata-kata be­rikut: “Aku mengambil aturan pelatihan untuk berpantang...” Ini diulang untuk setiap sila. Perintah Yahudi-Kristen “Kau tidak boleh membunuh” berbunyi dalam formulasi Buddhis: “Aku mengambil aturan pelatihan untuk berpantang dari mengambil nyawa makhluk hidup.” Dari domain luas permainan kata-kata dan teorisasi yang terlampau teliti, di sini kita tiba pada fakta mental yang tidak ambigu: apakah tindakan mengambil nyawa berupa, secara moral, legal, atau konvensional, “penewasan” atau “pembunuhan”, ini mungkin soal perdebatan, dan kadang perdebatan sia-sia. Tapi frasa “Mengambil nyawa makhluk hidup” adalah jelas dan tidak ambigu. Apakah individu bisa menaati sila ini dalam semua situasi kehidupan, itu soal lain. Tapi jika dia tidak bisa melakukannya, intinya dia akan tahu bahwa dia sudah melanggar aturan yang dirumuskan sen­diri: dia akan mengalami rasa bersalah dan akan berusaha lagi dan lagi untuk berbuat lebih baik di masa mendatang. Perintah Yahudi-Kristen “Kau tidak boleh mencuri” ber­bunyi dalam versi Buddhis sebagai berikut: “Aku mengambil aturan pelatihan untuk berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan.” Apa yang kita katakan tentang perintah per­tama berlaku juga di sini. Apakah pencomotan barang milik orang lain bisa disebut “mencuri”, itu dapat diperdebatkan. Tapi jika kita berkata, “Tidak mengambil apa yang tidak di­berikan,” itu jelas dan siapapun tahu apa implikasinya. Pe­rintah tersebut menahannya dalam ikatan-ikatan yang ketat tapi tidak ambigu. Perintah Yahudi-Kristen “Kau tidak boleh berzina” ber­bunyi dalam formulasi Buddhis: “Aku mengambil aturan pela­tihan untuk berpantang dari kelakuan seksual tak senonoh.” Di sini pun aturan Buddhis rumusan sendiri jauh lebih luas dan lebih tegas. Seseorang mungkin dapat menahan diri dari zina tapi dia mungkin tak dapat menghindari kelakuan sek­sual tak senonoh jenis lain dan jauh dari kehidupan suci. Dan hanya kesucianlah yang penting jika yang konsernnya bukanlah mendirikan penghalang sosial dan pagar lindung, melainkan meninggikan moralitas secara umum. Perintah Yahudi-Kristen “Kau tidak boleh berbohong” di­rumuskan dalam Buddhisme sebagai: “Aku mengambil atur­an pelatihan untuk berpantang dari omongan tak benar.” Apa yang dikatakan tentang sila pertama dan kedua berlaku pula di sini. Betapa amat ambigunya konsep “berbohong”! Tapi teori yang terlampau teliti tentang itu mengalami kemun­duran begitu seseorang tak lagi berpegang pada konsep ter­sebut, melainkan mengikuti fakta-fakta. Setiap orang tahu apa artinya itu: tidak menggunakan omongan tak benar yang tak sejalan dengan fakta-fakta. Namun, kondisi sosial saat ini telah sangat menyulitkan penjalanan ketat sila yang satu ini. Bagi hampir kita semua, kebohongan “konvensional” atau “putih” telah menjadi semacam jalan darurat untuk melin­dungi diri dari brutalitas kehidupan modern. Bahkan orang yang berusaha menempuh kehidupan Buddhis yang baik kadang akan merasa sangat sulit untuk hidup tanpa jalan darurat itu; tapi besar sekali bedanya apakah seseorang me­lakukan sesuatu dengan perasaan bersalah atau tak ber­salah. Jika itu dilakukan dengan perasaan bersalah, dia akan terus memeranginya; dan jika kondisi sosial seseorang se­demikian rupa sehingga perang batinnya tidak membuahkan kesuksesan eksternal, maka dia akan mencoba mengubah keadaan ini dengan kembali ke kondisi kehidupan lebih se­derhana yang tidak menuntut alat kedustaan konvensional rumit semacam itu. Tapi jika itu ternyata terlalu mustahil, dia setidaknya akan memendam kerinduan akan kondisi-kon­disi lebih sederhana dan lebih jujur itu. Banyak keuntungan yang diperoleh untuk kemajuan batin jika seseorang tidak puas dengan dirinya sendiri; dan ini akan demikian ketika dia tahu bahwa hidupnya tidak selaras dengan aturan perilaku rumusannya sendiri. Adapun sila kelima “Aku mengambil aturan pelatihan untuk berpantang dari minuman keras”, tidak ada padanan­nya dalam kode moralitas Yahudi-Kristen. Kristen terutama menunjukkan ketidakacuhan sangat mengherankan dalam hal ini; hasilnya berupa kelonggaran moral yang belum per­nah berlaku dalam agama lain manapun. Buah anggur merupakan salah satu tanaman terpenting di Palestina kuno, dan minuman anggur merupakan bagian penting dari makanan harian. Meski Kristus mencela kera­kusan, dia tidak melihat ada yang salah dalam meminum anggur. Dia sendiri mencontohkan minum anggur dalam salah satu babak terpenting dari karirnya. Karenanya tak heran di awal Zaman Pertengahan, biara-biara sudah me­nonjol dalam budidaya anggur dan kemudian dalam pem­buatan miras dan spiritus khusus.
Judul asli : The Precepts in Buddhism<i=1nDdFZnWWV79cudzVZoSZak9qSabnuHbe 215KB>The Precepts in Buddhism
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, Mei 2023
Genre :
Kategori : ,

Unduh

  • Unduh

    Jalan Pancasila Buddha

  • Koleksi

    Koleksi Sastra Klasik (2023)