Selain orang India dan orang Persia, tidak tampak Buddha, atau Zoroaster, atau bahkan Vêda, kecuali sebuah doktrin purba Arya yang darinya Vêda dan Zoroaster, dan Kristen sesudah mereka, lahir seluruhnya. Ini adalah fakta besar yang harus kita tampakkan.
Di zaman kuno terdapat bangsa-bangsa besar yang untuk mereka metafisika keagamaan hampir merupakan buku tersegel, meski itu mungkin telah eksis di dalam dinding-dinding tempat suci. Arkeologi dan sains bahasa sama-sama membuktikan bahwa bangsa-bangsa ini, kaum Arya seperti kita sendiri, memiliki doktrin-doktrin awal dan barangkali utuh, dan bahwa mereka baru meninggalkan tempat lahir bersama pada saat doktrin ini sudah mengandung elemen-elemen utama dan mapannya. Sebab-sebab bangsa Yunani, bangsa Latin, dan bangsa Utara kehilangan doktrin ini akan, begitu diselidiki, memunculkan poin-poin yang tidak bertentangan dengan persoalan saat ini. Satu subjek amat penting lain adalah menyelidiki alasan-alasan kenapa seluruh doktrin yang terpelihara beredar di antara dua bangsa besar Timur, dan jadi diadopsi sebagian saja oleh Yahudi. Di bawah kondisi apa dan karena alasan-alasan apa itu muncul kembali di masa Tiberius, di pesisir Syam, dan dari situ menyebar di bawah nama Kristen ke seluruh Barat? Ini adalah studi besar, yang saat ini menyibukkan pemikir-pemikir terbesar; tapi studi ini jauh dari kata selesai; ini bahkan baru dalam elemen-elemen pertamanya. Tapi kita tidak bisa tidak mengakui bahwa agama-agama, dulu dan masih, dinyalakan oleh satu prinsip bersama—oleh satu induk pemikiran. Ini adalah prinsip yang kita harus coba telusuri dari tengah-tengah analogi-analogi mereka yang dalam dan juga dangkal. Pemujaan-pemujaan juga, dalam berbagai bentuknya, harus dituntun balik ke leluhur bersamanya, untuk menguraikan cabang sains ini.
Aku sudah nyatakan sebelumnya bahwa tiga golongan fakta harus masuk ke dalam studi permasalahan agama, dan bahwa mendapatkan solusi melalui rekaman semata adalah mustahil. Dalam agama-agama terdapat sesuatu selain dogma-dogma abstrak; kalau tidak, mereka akan menjadi filosofi belaka. Selain teori-teori, yang mulanya diekspresikan secara gelap, dan yang kemudian harus diuraikan oleh para doktor Gereja, terdapat simbol-simbol dan ritus-ritus; dengan kata lain representasi gambar dogma-dogma dan berikutnya praktek-praktek. Para cendekiawan era kita menjadikan dogma-dogma sebagai urusan mereka yang paling awal, berusaha menemukan asal-usul historisnya di dalam kitab-kitab yang memuatnya. Kitab-kitab itu secara umum adalah tulisan-tulisan polemik para doktor dan rekaman-rekaman sakral yang memandu mereka. Oleh sebab itu, De Bunsen jadi bisa menunjukkan, melalui pembandingan yang sangat tercerahkan, bahwa doktrin-doktrin fundamental Kristen adalah tak lain dogma-dogma di dalam Zend-Avesta, yang diwariskan kepada St. Yohanes dan kepada kita melalui deretan penulis-penulis terinisiasi yang tak ada putusnya. Namun, kitab-kitab ini bukan segalanya. Berdampingan dengan monumen-monumen tertulis ini kita melihat fajar sebuah dunia baru, sebuah dunia yang tak dikenal oleh para pendahulu kita, tapi berkembang menjadi bukti sains agama yang paling bernilai.
Sejauh ini pengetahuan kita tentang monumen-monumen gambar timur sangat terbatas, pun kita tak bisa berharap mendapat banyak dari perjalanan-perjalanan individu. Tak ada hasil serius akan diperoleh sampai Pemerintah, demi kepentingan kemajuan, mendorong misi-misi permanen didirikan untuk tujuan penjelajahan. Kita dari Barat dikelilingi dengan monumen-monumen; mereka ada di ambang pintu kita dan di depan mata kita, dan mereka sebagian besar milik Kristen; katakombe-katakombe Romawi, tak diragukan lagi, sangatlah subur, dan begitu pula banyak tempat suci kuno Italia, Eropa, Asia barat, dan Mesir. Monumen-monumen ini umumnya simbolik dan terbuka untuk penafsiran, yang kadang diberikan oleh para penulis Kristen; tapi mereka jarang berhasil memecahkan setiap masalah. Tak ada buku Kristen, misalnya, yang menjelaskan asal-usul lambang salib; alasannya sederhana, lambang tersebut bermula lebih lampau daripada Kristen; jadi penyelidikan kita harus condong ke arah lain.
Nah ada satu golongan tulisan yang kepadanya para penafsir belum pernah menujukan perhatian mereka; yakni ritual, yang beberapa fungsinya dilaksanakan setiap hari di tengah-tengah kita tanpa membawa makna sedikitpun. Dan bagaimana kita menerangkan kejahilan ini?
Sebagian besar cendekiawan kita yang mempelajari permasalahan agama adalah kaum Protestan. Reformasi tentu saja sudah, jika tidak diberangus, banyak mengurangi upacara-upacara pemujaan dan beberapa dogma yang tanpanya upacara-upacara tidak ada artinya. Kaum Protestan jahil tentang atau sengaja acuh tak acuh terhadap ibadah-ibadah Gereja Katolik; dan begitu mereka meluncur ke jalan sains, mereka sama sekali lupa bahwa hampir semua babak Gereja Yunani atau Romawi bermula dari permulaan Kristen.
Kita tahu komunitas-komunitas Katolik terdiri dari, di satu sisi, pemuja, yang ambil bagian dalam pelayanan keagamaan tanpa susah-susah memikirkan asal-usul, sejarah, atau makna elemen-elemennya; dan, di sisi lain, bukan pemuja, yang memuaskan diri dengan menaruh perhatian sepintas dan abstrak pada persoalan keagamaan hari ini; sementara pendeta melaksanakan secara mekanis tugas-tugas pekerjaannya, sesuai dengan ajaran yang dia peroleh dan dengan tradisi Gereja-nya. Faktanya, kaum pendeta kita hampir belum menghasilkan satupun teolog sejak masa ketika prinsip-prinsip ultramontanisme mengakhiri teologi. Dianggap bahwa studi kritis terhadap agama-agama mengindikasikan ketidakpercayaan; padahal studi itu cuma menginginkan kebebasan berpikir yang tanpanya setiap penyelidikan ilmiah mendarat di titik di mana dogma terancam disalahpahami. Tapi siapa yang lebih pas untuk sains agama dibanding pendeta, yang fungsi-fungsinya menempatkan mereka di tengah-tengah kitab-kitab dan simbol-simbol dan ritus-ritus, yang elemen-elemennya masuk ke dalam fungsi harian mereka?
Sudah pasti fungsi-fungsi kependetaan ini menempatkan mereka, sehubungan dengan sains, dalam posisi luar biasa sulit. Kita semua cukup yakin dewasa ini bahwa hampir keseluruhan Kristen bermuasal dari timur; tapi kaum pendeta takkan pernah melangkahi batas-batas lingkaran Kristen dan memasuki wilayah di mana dogma, ritus, dan simbol memiliki asal-muasal Asiatik-nya. Tentu saja, dengan berhati-hati berpantang dari pencaritahuan, mereka menangkis keberatan-keberatan yang selalu menghampiri cendekiawan, dan yang dianggap (meskipun secara tak adil) sebagai ketidakimanan, jika muncul dalam diri pendeta. Jadi, kerjasama dari sebuah lembaga kependetaan yang tak pernah mencari keterangan dari rekaman apapun di luar rekaman yang terkandung dalam Perjanjian Baru dan Lama atau tafsir para Bapa akan kecil sekali nilainya; bahkan seorang pendeta arkeologis hanya akan melakukan untuk purbakala Kristen apa yang para Brahmana lakukan untuk Vêda. Alih-alih memberikan definisi persis dan asal-muasal aslinya, dia tidak akan bisa menemukan keagenan apapun dalam simbol-simbol kecuali keagenan Kristen, yang mengindikasikan pemikiran Kristen pula, yang dibawakan oleh penjelasan-penjelasan bergambar. Paling banter, dia mungkin mengakui presedensi kuil dan sinagog dalam sejarah ritus-ritus Kristen; tapi pandangannya akan berakhir pada titik itu. Bahkan, selama arkeologi Kristen bersikukuh merintangi tinjauan setengah jalan ke belakang, ia akan tetap menjadi nomenklatur fakta-fakta tanpa nyawa yang diusulkan oleh sebuah penjelasan bikinan, sembarang, dan kadang kekanakan—sebuah impotensi dalam memecahkan pertanyaan-pertanyaan serius, yang akan harus ia langkaui karena ketidakmampuan belaka. Apa itu Kristus? Apa itu Maria? Apa itu misteri-misteri inkarnasi, kenaikan, transfigurasi, dan pembaruan api? Apa itu Majus? Apa itu Bapak, Putera, dan Roh Kudus? Terhadap semua pertanyaan ini arkeologi Kristen harus membisu.
Maka ini sama dengan pembangunan sebuah sains utuh, yakni arkeologi keagamaan komparatif; tanpa bantuannya, masing-masing arkeologi khusus berbenturan dengan permasalahan yang tak bisa dipecahkan. Tapi ketika terpancang, ia masuk sebagai bagian integral ke dalam sains agama-agama.
Dalam studi Kristen, dan dalam semua agama lain, terdapat hal-hal selain persoalan tafsiran. Jika penelusuran dogma-dogma melalui semua ragam ekspresi yang mereka dapatkan sebelum kedatangan Kristus adalah penting untuk sejarah Kristen, maka ada sekumpulan ritus dan simbol yang sejarahnya mesti pula ditulis, dan yang asal-muasalnya mesti diusut. Hampir semua elemen pemujaan Kristen mendahului Yesus. Jika kita pergi ke luar era kita dan membaca Alkitab, kita akan lihat bahwa sedikit sekali dari isinya tergolong pada Yudaisme; kita juga akan lihat bahwa di manapun terdapat analogi, elemen Kristen menyimpang dari elemen Musa, dan umumnya pergi ke arah berlawanan, kalau tidak mereka pasti berasimilasi. Dari ini kita menyimpulkan bahwa kita tidak boleh berharap menemukan asal-muasal ritus dan simbol Kristen di kalangan Yahudi, tapi di tempat lain, di sebuah peradaban antisemit.
Nah, jika kita mengecualikan agama lokal Mesir kuno, hanya terdapat, selain orang-orang Semit, orang-orang Arya. Namun, penyelidikan ritus dan simbol tidak menghubungkan Kristen dengan Persia secara khusus, seperti yang bakal dilakukan oleh beberapa cendekiawan; kitab Zoroaster memberikan penjelasan yang tidak cukup tentang keduanya; penjelasan tersebut, “kunci sains” tersebut, seperti kata evangelis, hanya akan ditemukan di India. Sekali sains telah tiba pada titik itu, dengan sendirinya akan terhampar sebuah cakrawala yang sama sekali baru, bertaburkan orang India, orang Persia, dan orang Kristen; sedangkan bangsa Yahudi, yang direduksi ke ukuran alaminya, tidak akan memperlihatkan apa-apa selain bintik yang nyaris tak kelihatan di cakrawala tersebut. Selain orang India dan orang Persia, tidak tampak Buddha, atau Zoroaster, atau bahkan Vêda, kecuali sebuah doktrin purba Arya yang darinya Vêda dan Zoroaster, dan Kristen sesudah mereka, lahir seluruhnya. Ini adalah fakta besar yang harus kita tampakkan.
Judul asli | : |
The Principles Unity of Religion, Unity of Rites Principe d’Unité des Religions, Unité des Rites<i=1iRYZcTwlz5Qcg1uPWbYN7KGf9Mhajstf 707KB>The Principles Unity of Religion, Unity of Rites<br/> Principe d’Unité des Religions, Unité des Rites (1872) |
Pengarang | : | Émile-Louis Burnouf |
Penerbit | : | Relift Media, November 2022 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |