Skip to content
Arya vs Semit – Relift Media

Arya vs Semit Bacaan non-fiksi sains

author _John William Jackson_; date _1869_ genre _Sains_; category _Makalah_; type _Nonfiksi_ Kekaisaran para Khalifah timbul seperti hembusan nafas, menyerap bukan hanya kaum-kaum Semit Asia dan Afrika, tapi juga orang-orang Arya Iranik, seraya, pada suatu kali, juga mengancam serius orang-orang Arya Eropa dengan penundukan pamungkas. Dalam makalah sebelumnya kita sudah berusaha men­definisikan relasi keluarga besar Turania dengan ras Kaukasia cabang Arya. Sekarang kita bermaksud meng­upayakan hal serupa terkait kaum Semit, yang anteseden historisnya dan spesialisasi rasialnya dipahami secara tidak sempurna sampai belakangan ini oleh para cendekiawan ataupun antropolog. Bahkan, kaum Semit sudah diremehkan oleh rival-rival Arya-nya. Hanya melalui bangsa Ibrani kita jadi tahu kita sudah banyak mengabaikan pengetahuan Mesir dan kemegahan imperial Asyur; sementara perniagaan Fenisia, kekuasaan Kartago, dan penaklukan Sarasen telah diasingkan dengan tidak sepantasnya ke latar belakang seja­rah, demi membuka jalan untuk liputan layak yang diberikan secara universal kepada tarikh budaya Yunani dan kebesaran Romawi. Sampai baru-baru ini, ini tidak bisa dihindari. Ke­sarjanaan Eropa dahulu, dan sampai taraf luas masih, adalah murni klasik. Ini tentu saja menyiratkan bahwa kita sudah terbiasa memandang bangsa-bangsa kuno Timur melalui kacamata Hellenik—sebuah prosedur yang sangat meragu­kan, jika kita bertujuan mengganti prasangka-prasangka kita dengan kebenaran, bukan mengkonfirmasi prasangka-pra­sangka kita. Namun hari-hari pedantri berat sebelah ini kini segera berakhir. Arkeologi, dan studi bahasa-bahasa Timur, telah lumayan memperbesar ide-ide kita. Kita sekarang tahu bukan saja terdapat kekaisaran-kekaisaran kolosal sebelum kekaisaran Romawi, tapi juga sebuah peradaban sebelum peradaban Hellas. Babilon dan Niniwe, Thebes dan Memphis, sudah menjadi lebih dari sekadar gaung sayup dan tradisi samar. Kita tahu terdapat siklus besar untuk apa yang secara tidak tepat diistilahkan sebagai peradaban monumental, yang rekaman-rekaman tertulisnya sudah musnah sama se­kali, dan yang sedang, meski demikian, direhabilitasi perla­han-lahan melalui penyelidikan puing-puingnya dan penaf­siran prasasti-prasastinya. Nilai penting studi-studi arkeo­logis demikian memang tidak bisa ditaksir terlalu tinggi. Dengan cara itu kita sudah mengungkap sejarah sebuah keluarga besar manusia, yang tarikhnya sudah punah tanpa bisa dipulihkan, atau paling banter terlestarikan hanya dalam bentuk ulasan-ulasan tak langsung yang terpisah-pisah di dalam kronik-kronik berprasangka dari para musuh atau suksesor mereka. Nyatanya, perang-perang terbesar yang kata sejarah ter­jadi di dalam area Kaukasia adalah peperangan antara bang­sa-bangsa Semit dan bangsa-bangsa Arya. Tanpa menyebut-nyebut fisiognomi-fisiognomi Persia yang masih terlestari­kan pada tembok pusara-pusara kerajaan di Thebaid (yang mengindikasikan relasi prasejarah, damai maupun perang, antara bangsa-bangsa Arya timur dan para penghuni awal di tanah Misraim), pada permulaan sejarah tertulis kita me­nemukan fakta besar keamblasan Babilonia di bawah supre­masi Persia, ketika momok Asia barat itu beralih dari tangan Semit ke tangan Arya. Kemudian kita menemukan penak­lukan Mesir oleh Kambisus, di mana seluruh area peradaban Semit ditundukkan oleh supremasi Persia. Dan selagi peris­tiwa-peristiwa ini berlangsung, kita membaca tentang ke­naikan bertahap kekuasaan Kartago, yang jelas-jelas dihasil­kan oleh perpindahan kekayaan dan populasi Semit ke arah barat, barangkali untuk melarikan diri dari tekanan penak­lukan Arya yang lebih dekat di timur sana. Dan dengan cara itu, sekali lagi bangsa Semit bergulat dengan bangsa Arya untuk memperebutkan supremasi peradaban, dan di bawah Hannibal mereka nyaris mencapainya. Apakah kita mema­hami signifikansi utuh dari kekuasaan Mesir dan Kartago, ekstensi-ekstensi kolonial kuat peradaban Asia di area Afrika itu? Sudahkah kita menimbang sebagaimana mestinya makna rasialnya, dan bukti yang diberikannya bahwa Afrika adalah apanase Asia, sebagaimana Amerika adalah apanase Eropa? Tapi jangan dikira konflik rasial besar ini berakhir dengan jatuhnya Kartago. Itu dimulai kembali pada skala lebih akbar lagi dalam Perang-perang Salib, ketika Kristiani Arya dari Barat menyerang Muslim Sarasen dari Timur. Itu juga mun­cul kembali dalam invasi Moor atas Spanyol dan penaklukan Arab atas India. Menggunakan dinasti Seljuk dan dinasti Osmanli—dengan kata lain kaum Turania barat—sebagai instrumennya, agama bulan sabit Semit membawa mualaf-mualaf barbar ini menuju supremasi Asia barat dan akhirnya menuju penaklukan Konstantinopel. Dengan anteseden-anteseden tersebut, yang membentang tiga ribu tahun penuh dan dalam arti tertentu mendahului sejarah, kita boleh yakin konflik rasial besar ini belum berakhir—malah hampir tak pernah berhenti. Penaklukan India oleh Inggris, dan pemberontakan mengerikan itu—yang dimaksudkan untuk memulihkan keturunan lunglai Mogul Agung ke sing­gasana imperial para leluhur masyhurnya—tiada lain adalah insiden-insiden terbaru dari kelanjutannya; sementara ke­merosotan Turki yang tak terelakkan dan ambisi Rusia yang tak terpuaskan mungkin cukup untuk menunjukkan bahwa bahan-bahan untuk pemulaiannya kembali tidak kurang. Bahkan, jika Semit merepresentasikan manusia Selatan, dengan keagungan moralnya dan misi teologisnya, dan se­baliknya Arya merepresentasikan manusia Utara, dengan ekspansi intelektualnya dan bakat sastra, sains, dan seninya, maka, sebagai perwujudan rasial dari iman (Semit) dan nalar (Arya), mereka menampilkan aspek dwikutub dari fitrah superior manusia, yang keselarasannya adalah efek dan eks­presi antagonisme seimbang. Pertentangan mereka takkan bisa berhenti, sebab itu berakar dari alam, dan hanyalah manifestasi dari interaksi resah yang mencirikan semua wujud alam. Jika pandangan di atas tepat, maka kita akan menemukan Arya dan Semit di medan perang fisik dan juga moral, yang satu adalah lawan dan sekaligus pelengkap bagi yang lain. Ini dapat dirangkum dengan ringkas tapi jelas dengan mengata­kan bahwa filsafat adalah vokasi Arya, dan agama adalah misi Semit. Akan tetapi, pernyataan tersebut memerlukan suatu uraian detil untuk konfirmasinya. Maka, mari kita interogasi sejarah, dan simak tanggapannya. Tiga agama besar manusia Kaukasia adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam, semuanya berasal-usul Semit; semen­tara, di sisi lain, sains kita, sastra kita, dan seni kita sebagian besar bersilsilah Arya. Bahkan, saking nyatanya kecende­rungan-kecenderungan rasial ini, agama Arya senantiasa condong berbentuk Panteisme filosofis, yang membuahkan penuhanan dan penyembahan alam, seperti di kalangan kaum Hindu kuno dan orang-orang Eropa modern; semen­tara, sebaliknya, sains Semit senantiasa mudah tenggelam ke dalam takhayul, seperti dalam astrologi bangsa Khaldea dan alkemi bangsa Sarasen. Dengan kata lain, ini menunjukkan bahwa—dipengaruhi oleh prinsip-prinsip moral utamanya—Semit mempercayai dan menyembah, sedangkan Arya (di­pandu oleh kemampuan intelektual unggulnya) menyelidiki fakta dan menarik kesimpulan. Oleh karenanya, untuk men­definisikan mereka, kita dapat mengatakan bahwa yang satu adalah pendeta dan yang satu adalah filsuf; bahwa yang per­tama menspiritualkan dan meninggikan umat manusia, se­mentara yang kedua menerangi dan memperluasnya. Dua-duanya diperlukan; yang satu untuk mengkoreksi keberle­bihan yang lain; jika dibiarkan dengan kecenderungan-kecenderungannya yang tak terbatas, Semit akan merosot menjadi bigot yang eksklusif, dan Arya akan tenggelam men­jadi materialis yang utilitarian.
Judul asli : The Aryan and the Semite<i=1SyPVdgQvI6fX31fysNKCrAOuMXRL7B3Q 534KB>The Aryan and the Semite
Pengarang :
Penerbit : Relift Media, November 2022
Genre :
Kategori : ,

Unduh