Dalam perang nasional, negara mesti diduduki dan ditundukkan, tempat-tempat berbenteng mesti dikepung dan diperciut, dan tentara mesti dihancurkan; sedangkan dalam perang opini, menundukkan negara tidak terlalu penting.
Kendati perang opini, perang nasional, dan perang sipil kadang saling tertukar, mereka cukup berbeda untuk menuntut perhatian terpisah.
Perang opini bisa dalam negeri, dalam negeri maupun luar negeri, dan, terakhir (yang mana jarang), itu bisa luar negeri atau luar tanpa bersifat dalam negeri atau sipil.
Perang opini antara dua negara termasuk pula ke golongan perang intervensi, sebab itu konsekuensi dari doktrin-doktrin yang satu pihak ingin sebarluaskan di antara para tetangganya, atau dari dogma-dogma yang ia ingin remukkan—dua-duanya berujung pada intervensi. Walaupun berakar dari dogma-dogma agama atau politik, perang ini paling disayangkan, sebab, seperti perang nasional, itu merekrut hasrat-hasrat terburuk, dan menjadi pendendam, kejam, dan gawat.
Perang-perang Islamisme, Perang-perang Salib, Perang Tiga Puluh Tahun, perang-perang Liga, menghadirkan karakteristik yang hampir sama. Seringkali agama adalah dalih untuk memperoleh kekuasaan politik, dan perang tidak betul-betul termasuk dogma. Para suksesor Muhammad lebih peduli memperluas kekaisaran mereka dibanding mendakwahkan al-Qur’an, dan Philip II, sefanatik-fanatiknya dia, tidak menyokong Liga di Prancis untuk tujuan memajukan Gereja Romawi. Kita sependapat dengan M. Ancelot bahwa Louis IX, ketika dia pergi melancarkan perang salib di Mesir, lebih memikirkan perniagaan Hindia dibanding menguasai Makam Kudus.
Dogma kadang bukan sekadar dalih, tapi sekutu kuat, sebab itu membangkitkan semangat rakyat, dan juga menciptakan sebuah kubu. Sebagai contoh, Swedia dalam Perang Tiga Puluh Tahun, dan Philip II di Prancis, mendapatkan sekutu-sekutu dalam negeri yang lebih kuat daripada tentara mereka. Namun, seperti pada Perang-perang Salib dan perang-perang Islamisme, bisa saja dogma yang menjadi alasan untuk berperang justru menjumpai musuh-musuh sengit, alih-alih teman, di negara yang diserbu, dan kemudian pertempuran menjadi ngeri.
Peluang dukungan dan tentangan dalam perang opini politik hampir seimbang. Bisa diingat bagaimana pada 1792 perhimpunan-perhimpunan kaum fanatik menganggap mungkin untuk menyebarluaskan deklarasi HAM terkenal itu ke seluruh Eropa, dan bagaimana pemerintah-pemerintah menjadi sepantasnya gusar dan buru-buru mengangkat senjata barangkali dengan maksud semata-mata mendorong balik lava gunung berapi ini ke kawahnya dan memadamkannya di sana. Cara itu tidak beruntung, sebab perang dan agresi adalah langkah tidak tepat untuk menahan keburukan yang seluruhnya terdapat dalam nafsu-nafsu manusia, yang terangsang dalam sawan temporer, dengan durasi lebih pendek tapi lebih keras. Waktu adalah obat sejati untuk semua nafsu buruk dan untuk semua doktrin anarkis. Sebuah bangsa beradab dapat memikul kuk massa yang terfaksi-faksi dan tak tertahan untuk jangka pendek; tapi badai-badai ini segera berlalu, nalar kembali berkuasa. Mencoba menahan gerombolan seperti itu melalui kekuatan asing sama dengan mencoba menahan ledakan sebuah tambang ketika mesiunya sudah disulut; jauh lebih baik menunggu ledakan dan kemudian mengisi kawahnya ketimbang berusaha mencegahnya dan mati dalam upaya tersebut.
Judul asli | : |
Wars of Opinion Des Guerres d’Opinions<i=1IsEFgrDMe4QGi9Sd637mPGylsXdqX_Ko 478KB>Wars of Opinion<br/> Des Guerres d’Opinions (1837) |
Pengarang | : | Antoine-Henri Jomini |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2022 |
Genre | : | Perang |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |