Buddha, melalui penderitaan dan dukacita, mengaku telah menemukan injil Jalan menuju pembebasan dari kehidupan Diri. Kristus datang dari Bapak, menurut visi para Peramal, untuk membawakan injil keputeraan yang dipulihkan.
Selain negeri-negeri lain, negeri besar India telah memikul beban malapetaka yang didatangkan di dunia kita ini, dan di alam semesta Tuhan yang indah; dan ia telah menyadari secara mendalam bahwa manusia memiliki suatu andil buruk dalam tragedi ini. Ajaran keagamaannya merupakan ekspresi perasaannya akan fakta ini, dan akan kerinduannya untuk mempersatukan kembali masing-masing bagian terpisah dengan Kesatuan aslinya. Untuk tujuan ini, panorama mengerikan hadir di kota semisal Benares—pencucian, sesajen dan amal ibadah, iring-iringan ziarah dari kuil ke kuil. Untuk tujuan ini, puasa dan pengetatan, renunsiasi, eksperimen penyelamatan. Dan untuk tujuan ini, ide-ide dan mimpi-mimpi lama berumur ribuan tahun, dan misi orang-orang seperti Gautama. Sejarah Penderitaan India adalah, sudah sepantasnya dipahami, yang paling mulia yang pernah dunia kenal, kecuali satu saja. Kesalahan-kesalahan besar yang ke dalamnya ia telah jatuh tidak mendapatkan apa-apa dari keagungan cerita ini; mereka menambah banyak pada kesedihan-kesedihannya. Ia telah bermimpi bahwa manusia harus mencari Tuhan, dan belum pernah bervisi bahwa Tuhan mencari manusia. Ia tidak mengembangkan ide Tuhan personal, Tuhan yang hidup, berbicara, mengasihi; dan panteisme yang ke dalamnya ia telah hanyut, bagi kita tampak seperti, sebagus-bagusnya, hal buruk, dan sejelek-jeleknya, hal jahat. Kehidupan telah gagal memperoleh signifikansi moral apapun. Tapi hati besar India pada dasarnya benar. Kekeliruan-kekeliruannya bukanlah, sebagaimana sudah begitu sering ditegaskan, kekeliruan esensi fitrahnya; kekeliruan-kekeliruannya hanyalah solusi terbaik yang bisa ditemukan oleh akal dan hatinya yang tak punya bantuan, solusi untuk persoalan dukacita dunia. Yang terbesar di antara Master-masternya adalah Gautama sang Buddha, yang ternyata, dalam satu aspek ajarannya, terlalu besar untuk ia (India) terima, dan dalam satu aspek lain, terlalu sempit; dan dia (Buddha) ditolak, tapi bukan sebelum dia menggoreskan tanda tak terhapus pada pemikiran India, dan bukan sebelum ia mengirim pengaruh Buddha ke seluruh dunia.
Gautama, dikenal sebagai Buddha, dilahirkan di Kapila Wastu, di sungai Rohini, sekitar seratus mil dari Benares, kurang-lebih 550 tahun sebelum Kristus. Dia berasal dari keluarga ningrat. Dongeng-dongeng luar biasa, kebanyakan adalah legenda relatif anyar, dituturkan terkait kelahiran, masa kecil, dan masa mudanya; tidak banyak yang betul-betul diketahui. Dia berkarakter ksatria dan mulia, dan sejak dini menampakkan temperamen yang sangat peka; pemandangan penderitaan memberatinya; dan karena dia anak tunggal, ayahnya membesarkannya dalam pingitan paling ketat, melindunginya sejauh mungkin dari persinggungan dengan aspek-aspek gelap kehidupan.
Dia menikah dini dan bahagia, dan sepuluh tahun kemudian seorang anak laki-laki terlahir. Sekitar waktu inilah pengetahuan dukacita dunia menghampirinya. Diceritakan bagaimana dia berkendara ke luar gerbang istana, dan menjumpai contoh-contoh penderitaan, penuaan, dan kematian. Dia menuntut penjelasan, dan kusir kereta tempur menjelaskan kepada tuannya bahwa semua ini adalah nasib umum umat manusia. Gautama kembali ke istana; tapi sejak hari itu tak mampu menjalani kehidupan lama. Keresahan tumbuh pada dirinya, dan akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan rumah, mengenakan pakaian Pencari, dan belajar dari orang-orang yang sudah mempelajari persoalan keburukan dalam hidup manusia, pelajaran tentang makna dan obat dari persoalan-persoalan itu.
Sudah sewajarnya, dia pertama-tama pergi kepada guru-guru agama, para Brahman, untuk belajar dari mereka bagaimana keburukan diatasi dengan pelayanan dan ritual keagamaan. Yang patut dicatat adalah bahwa waktu yang dihabiskan dalam studi ini singkat, dan bahwa sedikit sekali yang diceritakan tentang itu. Kejamnya pengurbanan-pengurbanan membuatnya jijik, dan dia tidak bisa menemukan hubungan apapun antara simbolisme ibadah yang rumit dan kebutuhan mendalam dari fitrah dirinya yang terbangunkan.
“Sabar dalam penderitaan adalah lencana semua suku kami” adalah rangkuman sejarah bangsa Semitik Israel yang kecil, gagal, dan terpencil. Tapi ia telah dibuat besar—di luar kemauannya sendiri—oleh fakta bahwa ia menaungi serangkaian unik orang-orang patriotik yang terdorong oleh cita-cita dan ambisi kecil sengsara dari bangsa mereka untuk mengangkat suara dalam pembantahan, atau peringatan sungguh-sungguh, atau amarah panas, masing-masing sesuai masa dan caranya. Tidak ada sesuatu dalam karakter atau kondisi kebangsaan untuk menjamin itu, tapi dalam pesan yang dinyatakan oleh orang-orang ini, dengan gilirannya masing-masing, terdapat kekuatan dan signifikansi yang melihat ke depan, yang kita deskripsikan sebagai “visi”. Bertolak belakang dengan para pencari Arya, bangsa Semit ini merupakan para peramal. Mereka telah menemukan Tuhan; inilah rahasia mereka. Mereka percaya Tuhan telah berbicara, dan masih harus berbicara kepada manusia secara lebih jelas lagi; mereka hidup dalam harapan mendengar suara Tuhan itu, dan mereka berjerih-payah dan menderita agar manusia bersiap untuk mengenali Suara itu kalau sampai ia berbicara. Dalam pemikiran mereka, kasus ras manusia adalah buruk. Bukan karena manusia menderita, tapi karena manusia berdosa, ini adalah tragedi. Sebab jika hubungan manusia dengan Yang Gaib adalah hubungan personal, maka penderitaan seketika menjadi akibat dari sebuah sebab moral. “Ah, bangsa yang berdosa... Mereka sudah meninggalkan Tuhan.” Makanya “seluruh kepala sakit, dan seluruh hati redup”. Meski demikian, perkataan Peramal adalah perkataan harapan. Harapan bahkan merupakan nada mereka. Tuhan dari visi mereka adalah Tuhan Yang harus, menurut sifat-Nya, membetulkan semua kesalahan, mengakhiri semua keburukan, dan mengucapkan perkataan yang mengungkapkan jalan kembali kepada Diri-Nya sebagai satu-satunya ketenangan hakiki manusia. Harapan bertambah kuat dalam semua jiwa keagamaan ketika pemenuhannya terasa terlambat, dan setiap ibu muda yang khidmat bermimpi bahwa anak yang dikandungnya bakal menjadi Pembawa pesan terakhir dari Yahweh. Empat ratus tahun kebisuan mungkin akan mengakhiri Harapan, tapi ternyata itu hidup terus; sebuah Harapan kebangsaan dan kotor di masyarakat umum, sebuah Harapan sedunia yang tinggi di hati segelintir orang bisu yang menunggu, yang mempelajari tulisan-tulisan para Peramal tua itu, dan memandang dunia luas dalam kegelapannya, dan percaya bahwa Cahaya tak hanya akan datang, tapi juga bahwa menerangi semua bangsa-bangsa melalui Cahaya itu akan menjadi kejayaan hakiki Israel. “Dapatkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?” Banyak pertanyaan demikian pasti telah dilontarkan, bahkan oleh mereka yang memiliki wawasan spiritual paling murni selama kehidupan amal Yesus yang singkat. Tidak ada ideal martabat atau kebesaran manusiawi yang tidak Dia ingkari tanpa ampun.
“Sabar dalam penderitaan adalah lencana semua suku kami” adalah rangkuman sejarah bangsa Semitik Israel yang kecil, gagal, dan terpencil. Tapi ia telah dibuat besar—di luar kemauannya sendiri—oleh fakta bahwa ia menaungi serangkaian unik orang-orang patriotik yang terdorong oleh cita-cita dan ambisi kecil sengsara dari bangsa mereka untuk mengangkat suara dalam pembantahan, atau peringatan sungguh-sungguh, atau amarah panas, masing-masing sesuai masa dan caranya. Tidak ada sesuatu dalam karakter atau kondisi kebangsaan untuk menjamin itu, tapi dalam pesan yang dinyatakan oleh orang-orang ini, dengan gilirannya masing-masing, terdapat kekuatan dan signifikansi yang melihat ke depan, yang kita deskripsikan sebagai “visi”. Bertolak belakang dengan para pencari Arya, bangsa Semit ini merupakan para peramal. Mereka telah menemukan Tuhan; inilah rahasia mereka. Mereka percaya Tuhan telah berbicara, dan masih harus berbicara kepada manusia secara lebih jelas lagi; mereka hidup dalam harapan mendengar suara Tuhan itu, dan mereka berjerih-payah dan menderita agar manusia bersiap untuk mengenali Suara itu kalau sampai ia berbicara. Dalam pemikiran mereka, kasus ras manusia adalah buruk. Bukan karena manusia menderita, tapi karena manusia berdosa, ini adalah tragedi. Sebab jika hubungan manusia dengan Yang Gaib adalah hubungan personal, maka penderitaan seketika menjadi akibat dari sebuah sebab moral. “Ah, bangsa yang berdosa... Mereka sudah meninggalkan Tuhan.” Makanya “seluruh kepala sakit, dan seluruh hati redup”. Meski demikian, perkataan Peramal adalah perkataan harapan. Harapan bahkan merupakan nada mereka. Tuhan dari visi mereka adalah Tuhan Yang harus, menurut sifat-Nya, membetulkan semua kesalahan, mengakhiri semua keburukan, dan mengucapkan perkataan yang mengungkapkan jalan kembali kepada Diri-Nya sebagai satu-satunya ketenangan hakiki manusia. Harapan bertambah kuat dalam semua jiwa keagamaan ketika pemenuhannya terasa terlambat, dan setiap ibu muda yang khidmat bermimpi bahwa anak yang dikandungnya bakal menjadi Pembawa pesan terakhir dari Yahweh. Empat ratus tahun kebisuan mungkin akan mengakhiri Harapan, tapi ternyata itu hidup terus; sebuah Harapan kebangsaan dan kotor di masyarakat umum, sebuah Harapan sedunia yang tinggi di hati segelintir orang bisu yang menunggu, yang mempelajari tulisan-tulisan para Peramal tua itu, dan memandang dunia luas dalam kegelapannya, dan percaya bahwa Cahaya tak hanya akan datang, tapi juga bahwa menerangi semua bangsa-bangsa melalui Cahaya itu akan menjadi kejayaan hakiki Israel. “Dapatkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?” Banyak pertanyaan demikian pasti telah dilontarkan, bahkan oleh mereka yang memiliki wawasan spiritual paling murni selama kehidupan amal Yesus yang singkat. Tidak ada ideal martabat atau kebesaran manusiawi yang tidak Dia ingkari tanpa ampun.
Judul asli | : | India and Gautama, Israel and Jesus, The Buddha and the Christ<i=1vipdU2drZsdjgLS2OPYace4u-ikUPVoA 376KB>India and Gautama, Israel and Jesus, The Buddha and the Christ (1905) |
Pengarang | : | Annie H. Small |
Penerbit | : | Relift Media, Agustus 2022 |
Genre | : | Religi |
Kategori | : | Nonfiksi, Esai |