
Kepedihan adalah tak terelakkan, tapi bukan faktor tertinggi dalam ziarah fana kita. Dan keagungan intelektual atau spiritual yang sangat tidak cocok dengan keburukan peluang menambah jumlah kepedihan dalam keadaan kita yang kusut.
Horace Greeley suatu kali ditanya bagaimana dia menentukan keberhasilan kuliah-kuliahnya? Dia menjawab, “Kupikir aku berhasil ketika lebih banyak orang tetap di dalam dibanding yang pergi.” Uji keunggulan itu—lebih banyak orang tetap di dalam dibanding yang pergi—mencemooh orang pesimis rerata. Apakah hidup layak dihidupi?—itu semua tergantung pada si liver (orang hidup). Jika si orang hidup mempertahankan liver-nya tetap dalam kondisi wajar, dia sudah sewajarnya pasti mempertahankan tempatnya sampai ajal alami datang, ketika pidato penutup kehidupan turun ke dalam kebisuan tak putus-putus. Persis krisis perubahan bernama kematian inilah yang orang-orang ukhrawi tidak mau terima tanpa berontak. Mereka menganggap tak ada nilainya kerja keras mulia dari hari-hari kerja eksistensi kita, jika tidak ada kekekalan Sabbat yang dibesar-besarkan sesudah alam kubur. Jika kabut hitam membutakan mata mereka terhadap semua sinar mentari dan sinar bintang, mereka akan menolak untuk dihibur oleh masa depan umat manusia. Mereka tidak dalam posisi untuk membagi janji korespondensi manusia, ketika lagu harapan dari jiwa manusia diterjemahkan ke dalam realisasi-realisasi Golden Year-nya pujangga. Pesimisme ketidakfaedahan nubuatik dalam urusan resep post-mortem adalah tidak elok.
Pesimisme spekulasi berbudaya—pemusatan simpati-simpati halus ke dalam ratapan atas mandulnya kemajuan, niscayanya keburukan, dan luas nan dramatisnya dukacita enigma-dunia—tidak terlalu membosankan dan tidak terlalu kotor. Akhir dari seluruh urusan ini lantas serasa bahwa manusia tak lain hanyalah tuhan maha putus asa yang jatuh [dari derajat tinggi]. Suara-suara orang mati senantiasa bertambah banyak, dan memori-memori musik menghilang dan nikmat-nikmat manis hari-hari yang lalu bertumpuk sampai semua hasrat serasa lenyap dalam pembinasaan. Semua ini bagaikan bayang-bayang nasib di atas jiwa manusia, tapi kegoyahan semua itu tertukar dengan pesimisme sebagai sebuah teori kehidupan yang beralasan.
Orang pesimis murni dan sederhana dicitrakan secara populer sebagai seorang berhati dengki—mungkin berbakat—muram, dengan maksud-maksud mencelakakan terhadap nyamannya kewarasan orang Filistin yang makmur. Orang Filistin memuja laissez faire (“biarkan terjadi”) dalam privasi mewah. Dia ingin “dibiarkan sendiri”—tidak ingin pencernaannya dirusak oleh cerita tentang sedaftar penyakit-penyakit mematikan. Roh Filistin bergantung pada fiksi ringan dan asyik—terutama dalam antusiasme makan malam mewah. Di masa sentosa usai makan malam layak, Filistin semakin tidak percaya pada filsuf, dan menganggap bias filosofis condong kepada ketidakpatutan yang nyata—mencuri sendok mungkin, atau kawin lari dengan nyonya rumah, apapun yang orang Filistin rerata akan anggap sebagai bencana lebih besar.
Pesimisme pada awalnya bukan penyakit pemberontakan, melainkan insiden alami pengaruh intelektual dan pengaruh emosi. Secara individu, itu mungkin—belum tentu—mood atau tingkah yang tak dikehendaki. Rasa patah arang dari kesuraman dan kehampaan hidup merupakan peninggalan penderitaan fisik—selain peninggalan keingkaran teologis yang dengannya delirium-delirium bersinggungan, merusak rasa bersahaja kegembiraan dan kewarasan di muka bumi. Tak sepantasnya kebaikan kehidupan ini kalah bobot oleh kemabukan kota samawi yang dibayangkan.
Pergantian jahat menyerang kehidupan modern kita, dan filosofi Hindu-Jermanik dengan tepat mendiagnosa gejala-gejala keburukan, dan mengurangi tekanan kelesuan dalam berapapun kadar makna kepedihan dipahami sebagaimana mestinya. Penyelamatan adalah pemahaman. Pemimpin buta dari kaum buta adalah para pesukaria optimistik dari pancaran susulan Ibranik. Mereka tidak memiliki pemahaman, mengapa—alih-alih menebus jiwa manusia—mereka menjamuri jiwa manusia. Gelombang simpati intelektual yang menghantam otak sensitif misantrop Dantzig dari meditasi Oriental terpencil sedang bersusah-payah mencari pembaharuan spekulatif. Demokrasi spiritual Yesus adalah kekuatan yang asing dan miskin. Kita telah mencintai dan sepenuhnya kehilangan jiwa tertinggi dan begitu sederhana yang memancar di Nazareth sembilan belas abad ke belakang dengan mistikisme tak ada habisnya dan mimpi-mimpi tak ada batasnya. Semangat duka dari dua hal ini akan mempengaruhi organisme-jiwa ras-ras Latin, dalam abad-abad dan peradaban-peradaban yang akan datang. Tapi meski sang visioner yang menderita tercukur dari pengabsahan-pengabsahan kerajaannya dan karenanya hanya seperti kenangan fabel, persepsi seram evolusi telah untuk sementara menciptakan satu dukacita lain, satu bayangan lain dari roh tersebut. Kita meratapi apa yang tersimpan dalam makam yang surut—mata kita tidak terbiasa dengan penerangan baru. Manusia abadi ada di perpisahan jalan-jalan—antara Kristus dan sains, dan tidak berdamai dengan salah satunya. Oleh karenanya berada dalam duka-dunia aroma Goethean. Parfum-parfum yang lebih angkuh berlimpah-ruah—dengan mereka, rehat tidaklah perlu.
Judul asli | : | Pessimism: The Way Out (1894) |
Pengarang | : | Amos Waters |
Penerbit | : | Relift Media, Juni 2022 |
Genre | : | Filsafat |
Kategori | : | Non-Fiksi, Esai |