Kegilaan ini menuntunnya untuk menghina Yesus Kristus, untuk mencetak bahwa “Injil adalah kitab keji, asal-asalan, tak bertuhan, yang moralnya adalah mengajari anak-anak untuk mengingkari ibu dan saudara-saudara mereka, dst.”
Setelah Surat-surat Dari Pedesaan, muncul Surat-surat Dari Pegunungan. Kini giliran sentimen kota:
Kita merasa kasihan pada orang gila; tapi ketika kegilaan menjadi amukan, kita mengikatnya. Toleransi, yang merupakan sebuah kebajikan, bakal menjadi keburukan.
Kami kasihan pada Jean-Jacques Rousseau, bekas warga kota kami, selama dia membatasi diri di Paris pada profesi sial seorang pelawak yang menerima olokan-olokan di Opera, dan yang dilacurkan merangkak di Teater Komedi. Sebetulnya, kehinaan-kehinaan ini menimpa kami sedikit-banyak; adalah menyedihkan bagi seorang warga Jenewa yang tiba di Paris mendapati dirinya dipermalukan oleh aib seorang kompatriot. Beberapa dari kami memperingatkannya, dan tidak mengoreksinya. Kami memaafkan novel-novelnya, yang di dalamnya kesusilaan dan kesopanan sama-sama tidak dikecualikan seperti halnya akal sehat; kota kami tadinya dikenal semata-mata dengan moral murni dan kerja keras yang menarik orang-orang asing ke Akademi kami; untuk pertama kalinya salah satu warga kami membuatnya dikenal dengan buku-buku yang menggelisahkan moral, yang dipandang rendah oleh orang-orang jujur, dan yang dikutuk oleh orang-orang saleh.
Ketika dia mencampuradukkan nir-agama dengan novel-novelnya, para hakim kami terpaksa meniru para hakim Paris dan Berne, yang sebagian memvonisnya dan yang lain mengusirnya. Tapi dewan Jenewa, yang masih mendengarkan rasa belas kasih dalam peradilannya, membiarkan pintu terbuka bagi pertobatan seorang penjahat tersesat yang pulang ke kampung halamannya dan berhak mendapat pengampunannya di sana.
Hari ini, bukankah kesabaran habis ketika dia berani mempublikasikan sebuah fitnah baru di mana dia menghina habis-habisan agama Kristen, reformasi yang dia akui, semua pendeta Injil suci, dan semua lembaga Negara? Kegilaan tidak bisa lagi menjadi dalih ketika itu menyebabkan kejahatan dilakukan.
Mungkin saja dia sekarang bilang: “Kenali penyakit otakku melalui semua inkonsistensi dan kontradiksiku,” tapi tetaplah fakta bahwa kegilaan ini menuntunnya untuk menghina Yesus Kristus, untuk mencetak bahwa “Injil adalah kitab keji, asal-asalan, tak bertuhan, yang moralnya adalah mengajari anak-anak untuk mengingkari ibu dan saudara-saudara mereka, dst.” Aku tidak akan mengulangi perkataan lain; itu membuat orang merinding. Dia pikir dirinya sedang menyamarkan kengerian perkataan-perkataan itu dengan mencatut seorang lawan; tapi dia tidak menjawab lawan khayali ini. Belum pernah ada orang yang cukup terbuang untuk membuat keberatan-keberatan keji ini dan untuk memelintir dengan begitu fasik makna alami dan ilahi perumpamaan-perumpamaan Juru Selamat kita. Mari bayangkan, tambahnya, sebuah jiwa celaka menganalisa Injil dengan cara ini. Siapa yang pernah menganalisanya dengan cara ini? Di mana jiwa celaka ini? La Mettrie, dalam L’Homme Machine-nya, mengaku mengenal seorang ateis berbahaya yang argumen-argumennya dia wartakan tanpa menyangkal mereka. Cukup jelas siapa ateis ini; tentu saja tidak boleh menyebar racun-racun tersebut tanpa menyajikan antidotnya.
Judul asli | : |
Sentiment of the Citizens Sentiment des Citoyens<i=12j4oGgtwkXyEXjfPTlsQU8oUuDKWFsk2 235KB>Sentiment of the Citizens<br/> Sentiment des Citoyens (1764) |
Pengarang | : | Voltaire |
Penerbit | : | Relift Media, April 2022 |
Genre | : | Sosial |
Kategori | : | Nonfiksi, Pamflet |