Terantai di dalam kereta seorang wanita berdosa. Begitu kita bakar kereta ini, dagingnya akan terpanggang, tulang-tulangnya akan jadi arang: dia akan mati menderita. Takkan pernah lagi kau mendapat model yang begitu sempurna untuk tabir itu.
Aku yakin belum pernah ada orang seperti Pangeran Horikawa agung, dan aku ragu akan pernah ada. Dalam sebuah mimpi menjelang kelahiran Yang Mulia Pangeran, Baginda Ratu melihat Dewa Pelindung Barat bersenjata megah—atau begitu kata orang. Bagaimanapun, Yang Mulia Pangeran tampak memiliki kualitas bawaan yang membedakannya dari manusia biasa. Dan karena ini, capaian-capaiannya tak pernah berhenti membuat kami berdecak kagum. Kau tinggal memandang sepintas mansionnya di distrik Horikawa ibukota, untuk merasakan kegagahan pengkonsepannya. Entah bagaimana bilangnya, kemegahannya, ukuran heroiknya di luar jangkauan akal medioker kita. Sebagian mempertanyakan kearifan Yang Mulia Pangeran mengerjakan proyek seperti itu, menyamakan Yang Mulia dengan Kaisar Pertama China, yang warganya dipaksa membangun Tembok Besar, atau dengan Kaisar Yang dari Sui, yang menyuruh rakyatnya mendirikan istana-istana megah. Tapi para pengkritik seperti ini dapat disamakan dengan orang-orang buta dalam pepatah yang mendeskripsikan gajah hanya berdasarkan bagian yang mereka pegang. Tak pernah Yang Mulia Pangeran ada niat mencari kemuliaan dan kejayaan untuk dirinya semata. Dia adalah orang berbudi luhur yang membagi kegembiraannya dengan dunia luas, boleh dibilang, dan memikirkan warganya yang paling rendah sekalipun.
Tentu saja, inilah kenapa dia tidak cedera akibat bentrokannya dengan arak-arakan tengah malam para goblin yang kerap terlihat di persimpangan sepi Nijo-Omiya di Ibukota. Ini pula kenapa, ketika rumor menyebut hantu Toru, sang Minister of the Left, gentayangan setiap malam di lokasi mansionnya yang hancur dekat sungai di Higashi-Sanjo (kau pasti hafal: tempat di mana menteri ini mereproduksi pemandangan laut terkenal Shiogama di tamannya), cuma perlu teguran sederhana dari Yang Mulia Pangeran untuk membuat arwah itu menghilang. Di hadapan keagungan segemilang itu, tak heran semua penduduk Ibukota—tua-muda, pria-wanita—memuja-muja Yang Mulia Pangeran sebagai reinkarnasi Buddha. Konon suatu kali Yang Mulia Pangeran sedang pulang dari perjamuan mekarnya bunga prem di Istana ketika lembu jantan penarik keretanya lepas dan melukai seorang pak tua yang kebetulan lewat. Pak tua itu berlutut dan menggenggamkan kedua tangannya dalam doa syukur lantaran sudah tersangkut tanduk-tanduk lembu milik Yang Mulia Pangeran!
Begitu banyak cerita tentang Yang Mulia Pangeran telah diwariskan turun-temurun. Baginda Raja sendiri pernah menghadiahinya tiga puluh ekor kuda putih murni di acara perjamuan Tahun Baru. Kali lain, ketika pembangunan Jembatan Nagara tampak berlawanan dengan kehendak dewa lokal, Yang Mulia Pangeran mempersembahkan seorang bocah pengiring kesayangan sebagai korban manusia untuk dikubur di kaki sebuah pilar. Terus ada waktu ketika, untuk memotong kutil dari pahanya, dia memanggil biksu China yang telah membawa ilmu bedah ke negara kita. Oh, daftar kisah-kisah ini tak ada ujungnya! Tapi, untuk kengerian, tak satupun dari mereka dapat menandingi cerita soal tabir berlukiskan adegan-adegan neraka yang kini menjadi pusaka sebuah keluarga terpandang. Bahkan Yang Mulia Pangeran, yang biasanya tidak mudah terganggu, ketakutan oleh apa yang terjadi, sementara kami yang melayaninya—well, tak perlu dikatakan, kami syok setengah mati. Aku sendiri telah mengabdi sebagai salah satu pelayan Yang Mulia Pangeran selama dua puluh tahun, tapi apa yang kusaksikan waktu itu lebih seram dari apapun yang pernah—atau telah—kualami.
Namun, dalam rangka menceritakan tabir neraka tersebut, pertama-tama aku harus menceritakan si pelukis yang membuatnya. Namanya Yoshihide.
Judul asli | : |
Hell Screen 地獄変<i=1KFoWryJSiKiSDaOUx-iqaaze0mPwkoYU 361KB>Hell Screen<br/> 地獄変 (1918) |
Pengarang | : | Ryūnosuke Akutagawa |
Penerbit | : | Relift Media, September 2018 |
Genre | : | Misteri |
Kategori | : | Fiksi, Novelet |