Mereka bilang padaku: Kau pancarkan cahaya pada manusia dengan tradisimu seperti malam yang diterangi Bulan! Aku jawab, “Hentikan olokanmu dan cemoohmu; tanpa kemujuran apalah artinya tahu?—orang malang nian! Jika mereka bawa aku ke pegadaian beserta tradisi dalam tas, beserta wadah tinta menulis dan jilid-jilid bacaan, Untuk bekal sehari pun mereka tak pernah bisa menggadaiku; seperti di Hari Kiamat menarik uang atas unjukan:” Betapa buruk, memang, berjalan dengan orang miskin, dengan eksistensi fakirnya dan kondisi rendahan: Di musim panas dia tidak temukan bekal; Di musim dingin periuk api jadi satu-satunya kesenangan: Anjing jalanan bergigit dan bergonggong terhasut olehnya, Dan setiap gembel menyambut dengan gonggong dan gigitan: Jika dia angkat suara dan mengeluh teraniaya, Tak seorangpun iba atau hirau, betapapun dia sungguhan; Dan ketika duka dan naas seperti ini harus dia gempur Rumah paling bahagianya adalah di dalam kubur.Saat mendengar sajak ini Khalifah berkata kepada Ja’afar, “Lihat pria malang ini, perhatikan sajaknya, itu pasti mengacu pada kebutuhannya.” Lantas dia menyapanya dan bertanya, “Wahai Syekh, apa pekerjaanmu?” dan pria malang itu menjawab, “Wahai tuanku, aku nelayan yang mempunyai keluarga untuk dinafkahi dan aku sudah bekerja dari tengah hari sampai sekarang, tapi belum satupun yang Allah jatahkan padaku sebagai rezeki untuk memberi makan keluarga. Aku bahkan tak bisa menggadaikan diri untuk membelikan makan malam dan aku benci dan jijik dengan hidupku dan aku mendamba kematian.” Berkata Khalifah, “Katakan, maukah kau kembali bersama kami ke tepi sungai Tigris dan melempar jaringmu berdasarkan keberuntunganku, dan apapun yang kau dapat akan kubeli seharga seratus keping emas?” Pria itu girang mendengar kata-kata ini dan berkata, “Kutanggung resikonya! Aku akan pergi lagi dengan kalian.” Kembali ke sungai bersama mereka, dia melempar dan menunggu sebentar. Kemudian dia menarik tali dan menyeret jaring ke darat dan di dalamnya tampak sebuah peti digembok dan berat. Khalifah memeriksa dan mengangkatnya, dan ternyata itu berat sekali. Jadi dia memberikan dua ratus dinar kepada si nelayan dan menyuruhnya segera membereskan urusan. Sementara Masrur, dibantu Khalifah, menggotong peti ke istana dan menaruhnya, lalu menyalakan lilin. Ja’afar dan Masrur membongkarnya dan menemukan sekeranjang daun palem yang diikat dengan wol merah. Ini mereka gunting dan di dalamnya mereka melihat sehelai permadani yang kemudian diangkat. Di bawahnya terdapat mantila wanita dilipat empat, yang mereka tarik keluar. Dan di dasar peti mereka menemukan seorang wanita muda, halus seperti batang perak, terbunuh dan terpotong menjadi sembilan belas bagian.
| Judul asli | : | The Tale of the Three Apples<i=1llOWqyPyANUu4vd0Y8X194D7TcUMXK7y 184KB>The Tale of the Three Apples |
| Tahun | : | 1706 |
| Pengarang | : | Anonim |
| Seri | : | 1001 Malam |
| Penerbit | : | Relift Media, Juni 2017 |
| Genre | : | Kriminal |
| Kategori | : | Fiksi, Cerpen |
Unduh
Khalifah & Tiga Apel.pdf
Koleksi Sastra Klasik (2017)