Aku sedang memikirkan Vyéra Nikoláevna, aku sedang memikirkan apa yang akan dia katakan setelah membaca “Faust”, aku sedang memikirkan air matanya, aku sedang mengingat bagaimana dia mendengarkan.
Aku tiba di sini tiga hari yang lalu, sobat. Sesuai janjiku, aku mengangkat pena untuk menulis surat padamu. Hujan gerimis terus turun sejak pagi, aku tak bisa pergi keluar. Selain itu, aku ingin bercengkerama denganmu. Di sinilah aku sekarang, di sarang lamaku lagi, yang telah kutinggalkan selama sembilan tahun. Sebetulnya, kalau dipikir-pikir, aku sudah menjadi orang lain sama sekali. Ya, betul-betul orang lain. Kau ingat cermin kecil gelap milik buyutku dengan gulungan-gulungan aneh di sudut-sudutnya, di ruang kumpul? Kau selalu merenungkan apa yang disaksikannya seratus tahun lalu. Begitu tiba di sini aku langsung mendatanginya, dan merasa malu. Tiba-tiba aku melihat betapa aku sudah berumur dan berubah belakangan ini. Namun, aku bukan satu-satunya yang menua. Rumah mungilku, yang sudah lama lapuk, nyaris tidak berdiri tegak sekarang, sudah melendut dan terbenam ke dalam tanah. Pengurus rumah, Vasilievna-ku yang baik hati (kau belum lupa dengannya, aku yakin: dia biasa menyuguhimu selé yang enak), sudah kering-kerontang dan bungkuk. Melihatku datang dia tak mampu berteriak, dia tidak mencucurkan air mata, hanya mendengkur dan terbatuk, duduk lelah di atas kursi, dan melambai pasrah. Terénty masih awas, tegak seperti dulu, kakinya bengkok bila berjalan, masih berbalutkan celana nankin kuning yang sama, dan masih beralaskan sepatu kulit kambing berdecit yang sama, dengan tempurung kaki tinggi dan simpul pita yang menggugah perasaan lebih dari satu kali. Tapi ya ampun! Betapa longgarnya celana itu sekarang di kaki kurusnya! Betapa putih rambutnya. Dan wajahnya mengerut jadi seukuran tinjumu. Saat mengobrol denganku, saat dia mulai mengatur-atur dan menyuruh-nyuruh di kamar sebelah, aku merasa dia menggelikan, tapi aku kasihan padanya. Semua giginya telah hilang, dia merengut dengan suara siulan dan desisan.
Di sisi lain, taman telah tumbuh menawan. Semak-semak kecil lilak, akasia, dan
honeysuckle (kau dan aku yang menanam semuanya, masih ingat?) tumbuh menjadi belukar tebal yang indah; pohon-pohon
birch dan
maple menyebar dan meninggi; gang-gang
linden jadi sangat bagus. Aku suka gang-gang itu, aku suka rona hijau kelabunya yang halus, dan wangi udara di bawah busur-busurnya; aku suka totol-totol cahaya pada tanah yang gelap—aku tak punya pasir, kau tahu itu. Anak pohon ék kesayanganku telah menjadi pohon ék muda. Kemarin, di tengah hari, aku duduk lebih dari satu jam di bawah naungannya, di sebuah bangku. Aku merasa sangat tenteram. Di sekelilingku rumput-rumput berséri hijau; di atas menghampar cahaya keemasan, silau dan lembut, bahkan menembus naungan...dan betapa banyak burung yang kudengar! Kau belum lupa, aku yakin, burung adalah kegemaranku! Perkutut-perkutut mendekut tiada henti, terkadang seekor kepodang bersiul,
chaffinch bernyanyi merdu, murai-murai marah dan mengoceh, tekukur menyahut dari jauh; tiba-tiba, seperti orang gila, seekor burung pelatuk mengeluarkan jeritan menusuk. Aku mendengarkan, mendengarkan seluruh hiruk-pikuk lembut ini, tak mau beranjak, dan di hatiku ada sesuatu, tapi bukan kemalasan, bukan pula keharuan.
Taman bukan satu-satunya yang tumbuh. Anak-anak lelaki yang tegap dan kekar, anak-anak melarat yang tak lagi kukenali, berseliweran di depan mataku. Dan kesayanganmu, Timósha, telah menjadi Timofyéi yang sulit dilukiskan. Dulu kau khawatir akan kesehatannya, dan memprediksinya sakit paru-paru, tapi seharusnya kau lihat sekarang tangannya yang besar dan merah, menjulur dari mantel nankin, juga otot-ototnya yang bulat tebal, menonjol di seluruh tubuhnya! Tengkuk lehernya seperti tengkuk banteng, kepalanya diliputi keriting bundar pirang—bagai Farnese Hercules! Namun wajahnya tak mengalami banyak perubahan dibanding anak-anak lain. Bahkan ukurannya tak bertambah, dan senyum riangnya yang “menganga”, begitu kau biasa menyebutnya, tetap sama seperti dulu. Aku mengambilnya sebagai pelayanku, aku sudah membuang pelayanku, Petersburg, di Moskow. Dia terlalu gemar mempermalukanku, dan membuatku merasakan superioritasnya dalam pemakaian huruf besar.